"Patah hati boleh, bodoh jangan."
Suara itu....
Ayna menoleh ke arah samping. Sebelum mengangkat kepala dia memperhatikan kedua kaki tak jauh berhenti di samping. Dari bawah terlihat rapih, tapi masa iya orang itu?
Perlahan kepala Ayna terangkat. Ternyata dugaan Ayna tidak salah, orang yang baru saja betbicara adalah Varrel. Sama seperti cuaca, wajah pria itu terlihat sangat dingin membuat Ayna meringis. Lihatlah, tidak melakukan kesalahan saja Ayna ngeri jika bosnya dalam mode dingin.
"Apartemenmu dekat dari sini, kenapa lebih memilih hujan-hujanan? Selain itu, kamu saya izinkan tidak masuk bukan untuk mencari penyakit baru!"
Tak!
Satu sentilan pelan mendarat di kening Ayna. Tidak ingin saling bertatapan Ayna kembali mengalihkan panjangannya ke jalan. Hujan sangat lebat, sepertinya tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Baru melamun beberapa detik, Ayna kembali dikagetkan saat pria di sampingnya mengulurkan jas.
"Baju kamu basah semua, pakai ini," kata Varrel mengulurkan jas hitamnya tepat di wajah Ayna.
"Ini masih jam kerja, pasti habis ini Bapak ke kantor. Jadi, ngga usah, saya ngga butuh," tolak Ayna.
Mendapat penolakan Varrel berdecak kesal. Ternyata semua wanita sama saja di mata Varrel. Tanpa meminta persetujuan Varrel membalut tubuh basah Ayna menggunakan jas hitamnya. Tidak sepenuhnya menghangatkan memang, tetapi setidaknya terbantu.
Ayna kembali mendongakan kepalanya menatap Varrel. "Terima kasih, Pak."
"Lekas pulang sebelum sakit sungguhan. Saya pamit dulu karna ada urusan mendadak. Maaf tidak bisa antar." Setelah mengatakan itu Varrel pergi dari hadapan Ayna menuju mobilnya.
Tidak ada penahanan apapun, Ayna membiarkan saja pria itu pergi. Walaupun tidak menjawab, Ayna terus memandangi punggung Varrel yang dibalut kemeja putih. Pria itu terlihat berlari kecil sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.
Tin!
Ayna sedikit merunduk ketika klakson terdengar. Tidak lama mobil hitam itu pergi, berbaur dengan mobil-mobil lainnya. Seperginya Varrel Ayna menghembuskan napas. Tubuhnya semakin menggigil, dia pun mengeratkan jas hitam milik Varrel ke tubuh basahnya.
Sekitar sepuluh menit berdiam diri di halte Ayna memutuskan kembali ke apartemen. Bukan lagi menggigil, tetapi kepalanya sudah pusing. Hujan sudah reda menyisahkan gerimis kecil yang belum hilang sepenuhnya.
"Mati gara-gara putus lucu gak, sih?!" gerutu Ayna sambil menyusuri jalan.
***
"Beli apa?"
"Dua menit yang lalu gue baru nanya lo, Kar, astaga, kenapa dibalikin?!" Kesal, satu toyoran mendarat di kening Karina. Sang pelaku hanya terkekeh, sedangkan Agatha sudah ingin mencabik-cabik wajah sahabatnya itu.
Keduanya memang baru saja menyelesaikan pekerjaan, dan saat ini sudah memasuki waktu pulang. Akan tetapi, mereka berniat langsung mengunjungi Ayna di apartemennya. Mereka tahu kalau saat ini sahabatnya itu masih dalam situasi terpuruk. Putus cinta memang hal bisa, tetapi untuk yang sudah menginjak tahunan sangatlah berat.
Karina menoel lengan Agatha meminta jawaban.
“Beli cake sama matcha aja gimana? Makanan dia ‘kan kayak gitu, apalagi dia lagi pata hati pasti butuh yang manis-manis,” jawab Agatha apa adanya. Jujur saja otaknya sedang tidak bisa berfikir karena sejak pagi dia sudah disuguhi banyaknya pekerjaan.
Mendengar saran dari Agatha, Karina hanya mengangguk. Hari sudah mau malam, yang terpenting bawa tentengan sebagai formalitas. Tidak ada lagi percakapan karena keduanya sedang asik mempoles wajah agar terlihat fresh sebelum meninggalkan kantor.
“Saya ganggu?”
Suara berat tiba-tiba itu membuat kedua wanita yang sedang merias wajah tersentak kaget. Dengan kompak keduanya menoleh mencari di mana sumber suara. Mendapati sosok pria di dekat jendela keduanya refleks berdiri tegak.
“Pak Varrel? Ada yang bisa kami bantu, Pak?” tanya Agatha mewakili Karina.
Varrel tersenyum. Tangannya terulur memberikan parcel berisi buah serta dua paper bag berwarna biru ke arah Agatha. “Kebetulan tadi saya dengar kalau kalian mau menemui Ayna. Kalau boleh dan tidak keberatan, saya mau titip ini untuk dia. Saya masih ada kerjaan, jadi belum menemukan waktu free menjenguk dia.”
Kedua wanita dengan rambut terurai itu saling tatap satu sama lain. Sepertinya mereka sedang mencerna pendengarannya. Baru Karina ingin buka suara, tetapi Varrel sudah lebih dulu memerikan paksa barangnya ke Agatha. Tanpa menunggu jawaban kedua karyawannya Varrel bergegas pergi menuju lift.
“Siapapun kasih tau kalau telinga gue salah dengar,” kata Karina pelan. Tatapannya masih tertuju ke depan, arah di mana Varrel berdiri di depan lift lalu masuk ke dalam.
Walaupun sempat merasa ragu tetapi otak Agatha memilih waras. Dia meyakini kalau orang yang baru saja berbicara dan memberikan buah serta paper bag adalah Varrel—bosnya. Agatha menyenggol lengan Karina seraya berkata, “sayangnya itu benar, Kar. Udah gue bilang, kalau ada udang di balik batu.”
Karina menoleh menatap lekat Agatha. Udang di balik batu? Sesaat Karina berfikir, sampai akirnya dia heboh sendiri. Saking hebohnya dia sampai menarik rambut Agatha. Agatha yang kesal memukul lengan Karina lalu sedikit menjauh dari jangkauan sahabatnya.
“Apa kita comblangin mereka ata, Ta? Gue ga tega liat Ayna patah hati gara-gara Wildan. Yang lebih parahnya Allysa,” ujar Karina sembari memasukan bedak serta lipstiknya ke dalam tas.
“Spek pak Varrel mana mau sama yang modelan Ayna? Kecuali itu cewek berubah jadi anggun plus kalem, baru gue yakin pak Varrel tertarik,” jawab Agatha santai. Bukan ingin menjelekkan, hanya saja Agatha sangat tahu kalau Ayna memang mempunyai sifat ekstrovert, sedangkan bosnya sangat introvert.
Bukankah perbandingan yang jauh?
Setelah mempoles wajah, keduanya berbegas pergi meninggalkan ruangan. Hari sudah hampir malam, sangat bisa dipastikan kalau mereka akan terjebak macetnya Jakarta mengingat perjalanan menuju apartemen Ayna melewati jalur-jalur padat.
Selagi menunggu Agatha mengambil mobil Karina menunggu sambil memainkan ponselnya. Selama berkutik dengan pekerjaan dia musuhan dengan ponsel makanya baru ini dia leluasa. Saat sedang melihat story teman-temannya, Karina melihat semua isi status dari Ayna. Tidak ada story kebahagiaan, isinya galau seperti keadaannya saat ini.
Tin!
Suara klakson mobil membuat fokus Karina buyar. Buru-buru dia masuk ke dalam mobil sebelum terkena semprotan dari Agatha. Selama di perjalanan keduanya terus membahas soal Ayna bahkan niat Karina ingin mendekatkan Ayna dengan Varrel kembali dibahas. Agatha yang sedang menyetir hanya mendengari. Bagi Agatha, mau dengan siapapun Ayna, yang terpenting sahabatnya itu bahagia.
Kemacetan yang sejak awal sudah diprediksi membuat keduanya sampai apartemen Ayna pukul delapan malam. Setelah dua jam bergelut di jalan, kini keduanya sudah sampai dan memarkirkan mobil. Baru Karina ingin masuk ke dalam lobi, tangannya tiba-tiba ditarik oleh Agatha.
“Lo apaan, sih, Ta? Gue pegel banget sumpah, pengen duduk!” omel Karina menghentakkan kaki.
Agatha memeberi kode menunjuk ke sisi kanan menggunakan dagunya. “Lo liat di sana, Kar.”
Kedua mata Karina memicing menatap kea rah yang Agatha tunjuk. Beberapa saat mencari, mata Karina menangkap dua sosok orang yang familiar. “Itu bukannya Wildan sama Allysa? Iya, anjir, itu mereka! Gila, kayaknya ga pada punya otak. Kok bisa-bisanya ketemu di wilayahnya Ayna? Ga bisa dibiarin!”
Karina menghempas tangan Agatha, lalu berlari kecil menuju taman di mana Wildan dan Allysa berada. Tanpa aba-aba permisi, Karina yang kebetulan membawa minuman, langsung menyiram keduanya sampai mereka terkejut kaget.
“Kenapa? Ga senang lo berdua? Dua penghianat sedang berkumpul rupanya. Rencana apa yang lagi kalian susun di sini?” Karina berdecak pinggang, menatap kedua orang di depannya secara bergantian.
“Karina!” geram Allysa. Bukan perkara perkataan, melainkan rasa lengket karena kopi yang Karina siram ke wajahnya.
Tawa Karina terdengar. Agatha yang baru saja datang menyusul memilih diam. Biarkan saja biarkan saja sabahatnya itu yang mewakilkan.
“Cocok untuk penggoda dan penghianat.”
***