Terima Kasih

1059 Words
Tiga hari kemudian, pada akhirnya Ayna sedikit menurunkan ego. Walaupun awalnya dia ragu, tetapi berkat nasihat Varrel serta kedua sahabatnya Ayna menuruti kemauan Wildan untuk bertemu. Sekitar lima menit Ayna menunggu, sengaja memang dia memilih datang terlebih dahulu. Wajah boleh terlihat santai, akan tetapi jantung Ayna berdegup sangat kencang. Beberapa pertanyaan sudah dia siapkan di dalam otak. Lebih dari itu, Ayna sudah menyiapkan diri untuk mendengar apapun yang akan kekasihnya itu katakan. 'Masalah ada untuk dihadapi, bukan dihindarkan.' Kata-kata simple namun penuh makna dari Varrel itu masih sangat Ayna ingat jelas. Dan ... ini lah hasilnya. Sekilas Ayna melirik ke arah pintu, namun belum ada tanda-tanda kedatangan Wildan. Apa iya pria itu ingkar janji? Ayna menghela napas, kepalanya kembali menunduk dengan tangan memainkan sedotan di atas gelas berisi lemon tea. Saat sedang hanyut dengan isi fikiran Ayna dibuat kaget merasakan pundaknya disentuh. Refleks kepala Ayna terangkat menatap orang yang baru saja memegang bahunya. Tepat di samping Ayna kini berdiri seorang pria tak asing di matanya. Pria yang selama satu minggu ini memporak-porandakan kehidupan serta mentalnya. "Maaf kalau aku ngangetin kamu, Na." Ayna hanya mengangguk sebagai respon. Pertemuan keduanya kali ini sangat berbeda. Tidak ada binar kebahagiaan, keceriaan, penuh kasih sayang. Yang ada hanya rasa canggung dari keduanya. Ayna yang tidak tahu mau bicara apa masih menutup mulutnya rapat-rapat. "Aku boleh duduk, Na?" tanya Wildan. Sebetulnya bisa saja dia langsung duduk. Akan tetapi Wildan memilih basa-basi agar suasana tidak terlalu canggung. Respon yang tak kundung didapat membuat Wildan akhirnya duduk. Ditatapnya Ayna dengan lekat. Saat tangannya terulur ingin menyentuh kedua tangan Ayna wanita itu dengan cepat menarik. Ayna menatap balik, membuat keduanya saling tatap dengan isi otak masing-masing. "Jadi apa penjelasan kamu, Dan? Aku kasih kamu waktu buat bicara. Tapi aku mohon cerita yang sejujur-jujurnya, jangan ada yang ditutupin lagi. Sama satu lagi, Dan. Malam itu, kamu sama kak Allysa sedang apa di hotel? Hotel, Dan, bukan kafe atau restoran." Setelah sekian lama terdiam, Ayna buka suara. Ayna juga tidak ingin membuang-buang waktu lebih lama. Sesaat Wildan terdiam, lalu pria itu menjawab, "aku minta maaf, Na. Aku benar-benar minta maaf. Tapi aku sama Allysa ga lakuin apapun, hati aku cuma buat kamu." "Udah berapa lama, Dan?" tanya Ayna menghiraukan permintaan maaf Wildan. Bagi Ayna, kata maaf saat ini tidak lagi berguna. "Berapa lama kalian berkhianat begini? Aku salah apa sih sama kamu, Dan? Kenapa kalau kamu bosen ga bilang?" sambungnya dengan suara bergetar. Tangan Wildan kembali terulur meraih kedua tangan Ayna. Digenggamnya dengan erat tangan hangat itu. "Aku benar-benar minta maaf, Ayna. Aku khilaf, aku akuin itu. Aku ga ada maksud sakitin kamu, ak–" "Kita udahin aja semuanya, Dan. Bagiku selingkuh itu kesalahan fatal yang ga bisa aku terima terlepas apapun penjelasan kamu. Terima kasih buat delapan tahunnya, kita selesai." *** Cuaca hari ini cukup teduh sejak tadi pagi. Bahkan saat ini gerimis kecil mulai turun ke bumi. Akan tetapi hal itu tidak membuat Ayna beranjak dari duduknya. Setelah mendengar pernyataan Wildan memang Ayna tidak pulang. Dia memilih berhenti di taman tak jauh dari apartemen. Kedua kakinya sangat lemas seakan tidak bisa menopang dirinya. 'Aku khilaf, Ayna.' Kata-kata itu terus berputar di dalam otak Ayna saat ini. Ternyata ketakutan Ayna benar adanya, Wildan benar-benar mengakui jika dia bermain di belakangnya. Ayna juga baru teringat jika dia memutuskan hubungan secara sepihak. Entah ini keputusan benar atau tidak, tetapi Ayna memang memegang prinsip kalau perselingkuhan tidak bisa dimaafkan. Puluhan kenangan terputar. Kebahagiaan, tangisan, semua sudah pernah Ayna lalui bersama Wildan selama delapan tahun. Delapan tahun yang rusak dalam hitungan detik. Semua kenangan manis itu tidak akan bisa Ayna lupakan sampai kapanpun. Rasa trauma akan perceraian kedua orangtuanya seketika mencuat. Jadi, manusia mana yang harus Ayna percaya? "Kenapa sih? Kenapa harus begini sialan!" umpat Ayna. Air matanya terus menetes tanpa bisa ditahan. Beruntung taman sedang sepi, jadi tidak ada yang melihat kerapuhan Ayna saat ini. Tiba-tiba hujan mengguyur deras. Ayna memejamkan mata sejenak. Tidak ada niat tubuhnya beranjak saking lemasnya. Maka dari itu, Ayna membiarkan hujan menyamarkan tangisan pilunya. Isak tangis Ayna beradu dengan suara hujan. Mungkin kalau ada orang lain yang melihat, mereka akan menggosipi. Tetapi Ayna tidak perduli pandangan orang. "Ayna." Suara hujan memang kencang, akan tetapi telinga Ayna masih bisa mendengar ada yang memanggil namanya. Ayna menoleh, mengangkat wajah untuk melihat siapa yang ada di dekatnya. Mendapati yang datang adalah Allysa membuat hatinya kembali bergemuruh tidak karuan. "Puas lo sekarang?" tanya Ayna tanpa basa basi. Sepertinya hari ini dia sangat combo bertemu dua orang yang berhasil menyakiti hatinya. "Atau kurang? Apa lagi abis ini, Kak?" sambungnya masih terus menatap Allysa. Ayna bangkit dari duduk membuat posisi keduanya berdiri sejajar. Air mata yang sudah dibalut air hujan tidak Ayna hiraukan lagi. Tatapan penuh kecewa masih Ayna layangkan pada sosok wanita di depannya. Ternyata selama ini permainan sang kakak sangat apik dan rapih. Bagaimana tidak, hari-hari sebelumnya mereka masih bercanda serta banyak cerita. "Sejak kapan, Kak? Sejak kapan lo nyaman jadi orang ketiga diantara gue sama Wildan? Apa di muka bumi ini ga ada lagi pria lain? Ga ada? Kenapa harus Wildan?!" bentak Ayna. Bentakan Ayna disusul suara gemuruh petir. Ah, apakah semesta berada dipihak Ayna saat ini? Merasa tidak mendapat jawaban Ayna maju selangkah mengikis jaraknya dengan Allysa. Allysa masih terdiam membiarkan sang adik mengutarakan semua yang ada di dalam hatinya. Sebisa mungkin dia menahan diri agar tidak terpancing. "Atau lo yang terlalu murahan?" Plak! Satu tamparan mendarat sempurna di pipi mulus Ayna. Ayna yang mendapat perlakuan mendadak seperti itu tentu saja kaget. Tangan pucatnya terulur menyentu pipi yang kini terasa perih kebas. "Jaga kata-kata lo, Na! Gue ke sini niat minta maaf, bukan ribut ga jelas!" Mendengar itu Ayna tertawa. Apa katanya? Minta maaf? Cih! "Apa gunanya kata maaf lo, Kak? Sama sekali ga berguna! Gue ga nyangka orang yang selama ini gue anggap baik, jadi pengganti bunda dan ayah, nyatanya salah ya? Bahkan lo juga yang semangat bahas pertunangan gue sama Wildan. Lo ... munafik!" Setelah menumpahkan segala unek-unek di dalam hati Ayna pergi meninggalkan Allysa di taman. Entah ke mana kakinya melangkah, yang terpenting menjauh dahulu dari sang kakak. Sejak bertemu Wildan Ayna berusaha menguatkan diri. Tetapi sekali rapuh tetaplah rapuh. Hujan yang semakin deras membuat Ayna memilih menepi di halte. Sengaja dia tidak langsung ke apartemen karena tahu Allysa akan datang. Tubuh Ayna bergetar karena sekujur tubuhnya basah kuyup. "Patah hati boleh, bodoh jangan." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD