Langkah kaki Ayna terhenti tepat di depan pintu loby. Tubuh lelahnya mematung, tidak mengeluarkan reaksi apapun. Bahkan saat satpam kantor menegur Ayna tetap bungkam. Angin malam berhembus menampar wajah terkejut Ayna.
"Kita harus bicara, Na, harus. Aku ga mau ini terus berlanjut, aku ga mau kita bicara pakai kepala panas. Kita bicara sekarang ya? Sekalian makan malam."
Suasana sekeliling yang sepi semakin hening saat mulut Ayna terus bungkam. Suara itu sangat tidak asing di telinga Ayna, begitupula wajahnya. Ayna berusaha menepis, namun genggaman pria itu jauh lebih kuat.
"Aku bisa jelasin semuanya, Ayna. Kamu mau dengarin penjelasanku, 'kan?"
"Engga," jawab Ayna simple dan to the point.
Sesaat keduanya terdiam. Tatapan Ayna mengarah ke arah kendaraan yang berlalu-lalang, sedangkan pria di depannya menatap lekat Ayna. Tidak ada lagi keceriaan, kehangatan, bahkan peluk sambutan setelah seharian tidak bertemu. Jantung Ayna berdetak kencang, rasanya dia ingin segera pergi lalu pulang ke apartemen.
"Lepasin, Dan, sakit," pinta Ayna dengan suara pelan. Cekalan yang sejak tadi lepas di pergelangan tangannya memang menimbulkan rasa nyeri. Apalagi Ayna terus mencoba menarik.
"Aku akan antar kamu pulang, tapi kita sambil bicara ya? Na, jangan egois kayak gini, jangan kayak anak kecil."
Apa katanya?
Anak kecil?
Ayna refleks tertawa mendengarnya. Tatapan yang sejak tadi berusaha dia alihkan, kini dengan tajam Ayna menatap pria di depannya. Tatapan keduanya beradu. Baru saling bertatap saja Ayna merasa matanya panas, tetapi dia berusaha menahan agar tidak ada air mata menetes. Karena Ayna tidak mau terlihat lemah di mata lelaki.
"Bahkan egois lebih baik daripada melakukan penghianatan, Wildan Rizky Firmansyah! Kekanak-kanakan katamu? Lalu selingkuh itu apa?!" Setelah lama menahan diri, semua rasa ganjal di dalam hati Ayna satu per satu keluar.
"Aku minta maaf, Na, tapi aku bisa jelasin semuanya, kit–"
"Dengan permintaan maaf kamu aja udah menjawab semua, Wildan. Kamu benar-benar selingkuhin aku? Aku pernah ada salah apa sama kamu, Dan? Sefatal apa kesalahan aku?" potong Ayna. Tanpa perintah air mata Ayna sudah mengalir di pipi mulusnya. Sangat sakit, intinya sakit. Itu yang Ayna rasakan saat ini.
Wildan tanpa sadar meremas kuat kedua pergelangan tangan Ayna sampai wanita itu meringis kesakitan. Rasa sesal kini hinggap di hati Wildan, apalagi saat melihat Ayna menangis karena dirinya.
"Aku capek, aku mau pulang, tolong lepas!" bentak Ayna sambil berusana menarik kedua tangannya. Kokohnya genggaman itu membuat Ayna frustasi, suara tangisannya mulai muncul di tengah keheningan malam.
"Aku akan lepas, tapi aku antar kamu pul–"
"Tuhan menciptakan telinga untuk mendengar. Lepaskan tangan anda, Ayna pulang dengan saya." Tanpa banyak bicara pria yang baru ke luar dari dalam kantor menarik kasar tangan Wildan lalu menghempasnya. Setelah itu dia meraih tangan Ayna membawanya pergi.
Kekagetan bukan hanya milik Wildan, tetapi Ayna juga merasakan hal sama. Akan tetapi saat ini dia memilih diam tanpa menghentikan langkahnya. Masih dengan sisa isakan tangisnya Ayna masuk ke dalam mobil saat pria itu membukakan pintu penumpang. Ayna masuk, duduk manis di dalam.
Setelah masuk Ayna menatap pria di luar sana yang berlari kecil memutari mobil sebelum masuk dan duduk di bangku kemudi. Tatapan Ayna beralih melihat Wildan yang masih berdiri di tempat.
Selama diperjalanan tidak ada percakapan, bahkan tidak ada yang memulai obrolan. Ayna bersandar, memalingkan wajahnya ke jendela. Air matanya kembali menetes, namun tidak ada suara isakan. Ternyata menangis tanpa suara jauh lebih menyesakkan hati.
"Keluarkan saja kalau mau menangis, jangan ditahan."
Ayna tidak menggubris perkataan itu, otaknya sedang berkelana jauh. Hari ini Ayna memang telat pulang karena ada beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan. Selain itu dia sempat ikut meeting dengan bosnya.
"Menangis itu bukan pertanda lemah. Jadi, keluarkan saja tidak perlu sungkan."
Kali ini Ayna menoleh, menatap pria di sampingnya. "Makasih untuk tumpangannya, pak Varrel. Nanti di halte depan gapapa saya diturunkan saja."
Sekilas Varrel menoleh ke arah Ayna membuat tatapan keduanya beradu beberapa detik. Sebagai respon Varrel hanya tersenyum simpul. Entah apa arti senyum itu Ayna tidak mau memikirkan. Yang jelas Ayna yakin pria di sampingnya akan menurunkannya di halte. Mau bagaimanapun bosnya sudah menolong dari Wildan saja Ayna bersyukur.
"Pasti akan saya turunkan," kata Varrel santai.
***
Ekapektasi Ayna malam ini terhadap Varrel seakan dibanting. Bagaimana tidak, alih-alih menurunkan di halte, tetapi kini mobilnya masuk dan terparkir di salah satu tempat makan. Ayna bingung menatap pria di depannya.
"Saya lapar, Ay. Mau temani saya makan malam tidak? Saya yakin kamu belum makan juga karna sepanjang hari kamu bersama saya," ujar Varrel tersenyum ke arah Ayna. Tidak memperdulikan tatapan sang sekretaris Varrel membuka jas abu-abu yang sejak pagi membalut tubuhnya.
Jas abu-abu itu Varrel lempar ke belakang, lalu dia turun terlebih dahulu. Selagi menunggu Ayna ke luar Varrel bersandar di pintu sambil bersedekap d**a. Perutnya memang sangat lapar karena siang pun dia melewati jam makan siang saking sibuknya. Lebih dari itu Varrel tidak ada niat meninggalkan Ayna di halte. Jadi, apa salahnya mampir makan sebelum pulang?
Sekitar tiga menit menunggu, Ayna turun dari mobil. Suara bantingan pintu membuat senyum Varrel mengembang. Itu pertanda jika wanita di dalam mobilnya sudah keluar.
"Bapak ngajak saya?" tanya Ayna menunjuk dirinya sendiri.
"Memang di dalam mobil ada siapa lagi, Ay? Saya curiga kamu benar-benar bisa lihat hantu."
Lagi-lagi hantu.
Ayna berdecak lalu menjawab, "Bapak jangan bahas setan terus, saya itu di apartemen tinggal sendirian."
Tawa renyah Varrel terdengar di telinga Ayna. Tidak ingin memperpanjang obrolan unfaedah Varrel pun meraih pergelangan tangan Ayna mengajaknya masuk. Tidak bisa menolak, Ayna manut dan pasrah tangannya ditarik. Lagi-lagi Ayna melihat sisi lain Varrel diluar kantor yang berbeda.
Walaupun ada beberapa meja di depan yang kosong Varrel memilih meja paling belakang karena dia tidak terlalu suka keramaian. Keduanya duduk, pelayan datang menghampiri memberi buku menu. Varrel dengan excited menerima, sedangkan Ayna masih diam memperhatikan pria di sampingnya.
Terlihat sangat kelaparan.
"Ikan gurame satu, cumi chrispy, sama ayam bakar. Untuk minumnya saya mau es jeruk saja," ujar Varrel menyebutkan menu pilihannya. "Kalau kamu mau pesan apa, Ay?" Buku menu Varrel berikan kepada Ayna.
"Saya engga laper, Pak."
Kening mulus Varrel menyerit. "Kamu yakin? Tapi saya ajak kamu ke sini bukan buat liatin saya makan, Ay. Pesan buruan."
Perlahan Ayna menghela napas. Masih dengan rasa malasnya Ayna membuka buku menu di depannya. Banyak makanan menarik, sayang moodnya sedang kabur. Tanpa berlama-lama memilih jari telunjuk Ayna menunjuk nasi goreng seafood. Pelayan itu buru-buru mencatat sesuai tunjukan jari Ayna.
"Untuk minumnya mau apa, Mbak?"
"Lemon tea aja."
Pelayan itu mengangguk, lalu pamit. Setelah pelayan pergi keduanya kembali terdiam karena Ayna sendiri bingung mau bicara apa. Masa iya membahas pekerjaan? Otaknya sudah mumet.
"Saya itu pendengar yang baik kalau kamu mau tau, Ay," celetuk Varrel.
"Bapak aneh ya ternyata?"
Varrel kembali menyeritkan keningnya. Apa katanya tadi? Aneh? Dikatain aneh? Sungguh sangat berani memang. Sebelah alis Varrel terangkat. "Apa yang aneh dari saya? Justru saya baru tau kamu punya dua kepribadian."
"Selama ini Bapak itu dikenal judes, dingin, irit bicara, apalagi senyum ketawa. Semua emang benar, saya alamin pas baru jadi sekretaris Bapak. Tapi lama-lama ... yang punya dua kepribadian itu Bapak, bukan saya," ujar Ayna menjelaskan yang ada di dalam hati sejak kemarin-kemarin.
Pria di depan Ayna kembali tertawa. Kali ini tawanya cukup geli membuat bahu kekar pria itu terguncang kecil. Ayna tentu tercengang. Memang ... kata-katanya ada yang lucu?
"Itulah orang-orang, selalu menilai dari cover. Selebihnya, saya juga harus memposisikan diri di kantor. Bukankah tidak lucu kalau saya tiba-tiba ngelawak?" Varrel mengangkat sebelah alisnya menatap Ayna.
Benar juga.
Tidak salah.
Ayna mengulum bibirnya tanda tidak tahu mau menjawab apa lagi. Beruntung pelayan sudah lebih dulu datang membawakan peaanan keduanya. Pesanan yang sangat kontras.
"Jadi, ada masalah apa sama calon tunanganmu? Ternyata benar ya, orang mau lamaran selalu ada saja halangan," kata Varrel sambil memakan cumi chrispy miliknya.
"Selingkuh."
Uhuk..uhuk..uhuk!
***