"Hai, mbak Adisty."
"Hai juga, mbak Ayna. Oh, iya, Mbak, ada apa ya aku diminta temuin pak Varrel?"
Ayna menatap wanita cantik di sampingnya. Entahlah, setiap berdiri di samping Adisty atau Brand Ambassador Cantika Clinic Ayna selalu insecure. Pasalnya wanita-wanita pilihan itu sangat cantik tanpa bisa dibantah.
"Aku kurang tau, Mbak, karna pak Varrel hanya menyuruh hubungi Mbaknya. Kalau gitu mari saya antar ke ruangan beliau," ajak Ayna mempersilahkan Adisy berjalan.
Kedua wanita itu berjalan bersamaan menuju ruangan Varrel. Selama di jalan menuju ruangan tatapan para karyawan terus tertuju pada Adisty. Ayna menghela napas, dalam hati dia mengutuk semua mata lelaki. Rasa-rasanya mata mereka memang tidak boleh lihat yang bening sedikit.
"Wahh, kak Adisty! Selamat siang, Kak."
"Hai, Ngga, siang."
Apa lagi ini?
Langkah Ayna sontak terhenti saat Rangga dengan santainya menghadang jalan. Tanpa berbelas kasihan Ayna menendang betis pria itu sampai dia mengaduh kesakitan. Ayna acuh, tangannya terulur meraih pergelangan tangan Adisty. Karena kalau meladeni Rangga tidak akan ada habisnya.
Adisty yang melihat itu hanya tertawa kecil. Baginya interaksi kecil antara Rangga dan Ayna sangatlah lucu. Sepertinya kehidupan di kantor seperti ini sangat enak.
"Maafin kelakuan Rangga ya, Mbak. Biasa, dia kalau habis makan siang suka eror otaknya," kata Ayna tanpa menghentikan langkahnya.
Tidak menjawab, Adisty hanya menggelengkan kepala. Kini keduanya sudah sampai di depan ruangan Varrel. Ayna mengetuk, lalu keduanya masuk ke dalam.
"Selamat siang, Pak, ini mbak Adisty sudah datang," ujar Ayna saat dia sudah berdiri di depan Varrel yang masuk sibuk menatap laptop. Dalam benak Ayna terus bertanya-tanya. Apa mata pria itu tidak lelah setiap hari melihat laptop?
Varrel mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. "Silahkan duduk, Adisty. Terima kasih banyak Ayna, kamu bisa kembali bekerja."
Setelah mendapat perintah ke luar Ayna pun langsung pergi. Tepat saat dia menutup pintu, tiba-tiba Rangga datang mengagetkan. Ingin rasanya Ayna mengumpat dan teriak, tetapi dia takut kalau Varrel ke luar. Maka dari itu untuk menyalurkan kekesalan Ayna menjambak rambut Rangga. Puas dengan aksinya wanita itu berlari menuju pantry.
"Aduhh, Ayna sialan!" geram Rangga. Pupus sudah harapannya ingin foto bersama dengan Adisty. Semua memang gara-gara Ayna!
***
Selesai mengantar Adisty ke ruang Varrel, dilanjut bertengkar kecil dengan Rangg, Ayna memilih ke pantry untuk membuat minuman. Demi apapun kepalanya sangat pening, fokusnya mulai buyar, hatinya ikut tidak karuan. Fikiran Ayna kembali tertuju pada Wildan.
Sepertinya memang benar dia harus bicara empat mata. Akan tetapi Ayna belum siap mendengar semua pengakuan yang akan pria itu buat. Sambil terus berfikir keras Ayna membuat teh lalu membawanya ke dalam ruangan.
Niat hati ingin fokus dengan pekerjaan, tapi apa daya Ayna benar-benar tidak bisa fokus. Maka dari itu Ayna memilih menghempas punggungnya ke sanggahan kursi sambil menikmati teh hangat buatannya.
Ting!
Ting!
Chat from : Bunda
Bunda : 'Angkat telepon bunda, Dek.'
Bunda : 'Kamu masih di kantor? Pulang jam berapa? Kalau engga bunda jemput nanti, kita bicara sekalian.'
Dua pesan baru yang ternyata dari sang bunda. Ah, Ayna baru ingat. Sebelumnya dia pernah bicara ingin membahas pertunangannya dengan Wildan. Itu keinginan bulan kemarin, lalu sekarang Ayna harus bicara apa?
Ting!
Suara notifikasi kembali terdengar. Ayna melirik tanpa mengubah posisi. Diambilnya benda pipih itu saat matanya mengkap kalau pesan tersebut dari Wildan.
Chat from : My Hubby.
My Hubby : 'Ayna, kita harus ketemu.'
My Hubby : 'Kita bicara pakai kepala dingin, ya? Nanti sore mau aku jemput?'
Read.
Hanya membaca. Tidak tahu mau membalas apa, Ayna meletakkan ponselnya kembali. Satu tetes air mata jatuh tanpa perintah. Kali ini Ayna tidak menghiraukan, dia membiarkan air matanya jatuh demi melegakan hati.
"Kalau udah begini aku harus percaya sama siapa lagi, Dan? Kenapa semua hal menyakitkan harus aku terus yang rasain? Mati-matian kita pertahanin hubungan, semudah itu kamu menghancurkan," guman Ayna.
Tidak jauh berbeda dengan Ayna, tepat di ambang pintu Agatha dan juga Karina menyaksikan sang sahabat menangis sendirian. Awalnya Agatha ingin menghampiri, tetapi Karina melarang. Wanita itu berdalih biarkan Ayna sendiri dahulu.
"Setelah perceraian orang tuanya, ini kali kedua gue liat Ayna hancur plus nangis yang benar-benar ga bisa kita hibur, Kar," ujar Agatha sambil terus memperhatikan Ayna di dalam sana.
Perlahan Karina menghembuskan napasnya. Apa yang Agatha katakan menang benar, tidak ada yang salah. Walaupun sejak tadi wanita itu tersenyum, tatapan mata tidak bisa berbohong. Ayna sedang difase lemah hati.
"Wildan emang kurang ajar kalau kata gue." Agatha kembali berujar. "Yang lebih kurang ajar sama kakaknya," sambungnya.
Tanpa keduanya sadari sejak tadi Varrel tengah memperhatikan dalam diam. Dia juga mendengar semua yang Agatha katakan. Ternyata memang benar dugaannya, Ayna sedang tidak baik-baik saja. Niat hati ingin meminta dokumen soal Adisty dia urungkan.
Varrel mundur, lalu pergi dari tempatnya.
Satu tangan Karina menepuk pundak Agatha seraya bertanya, "lo ngerasa ada orang gak sih, Ta?"
"Lo jangan bahas-bahas hantu deh, Kar!" sahut Agatha. Dari yang awalnya memperhatikan Ayna, kini Agatha menatap sekeliling. Tidak ada orang, hanya beberapa karyawan berlalu-lalang.
Kedua wanita itu terdiam sesaat, pandangannya saling beradu. Hasrat untuk menghampiri Ayna seketika musnah karena detik berikutnya mereka berdua lari kembali ke meja masing-masing. Persetan hantu atau bukan, yang terpenting menjauh dulu! Mereka juga tidak ingin menganggu Ayna.
Kembali ke dalam ruangan, Varrel duduk di kursi sambil memainkan ponsel. Di hadapannya masih ada Adisty, tetapi Varrel tetap sibuk mengetik sesuatu.
"Jadi begini, Adisty. Sesuai kontrak, kamu masih jadi bagian Cantika Clinic sampai enam bulan ke depan. Kalau saya tidak salah, besok kamu akan ada shooting iklan. Saya lupa, karna jadwal ada di Ayna. Tadi saya ke ruangannya dia tidak ada."
"Siap, Pak, besok saya akan datang. Kalau perlu nanti saya yang temui mbak Ayna saja," usul Adisty.
"Ah, tidak usah, biar saya saja. Nanti kalau sudah ada jadwal talent akan dikabari," tolak Varrel halus yang langsung diangguki oleh Adisty.
Beberapa pembahasan kembali mereka bahas. Bahasa Varrel yang santai serta to the point membuat Adisty sangat mudah menangkap. Sekitar setengah jam berlalu, pembahasan baru selesai.
"Terima kasih kerjasamanya, Adisty. Kalau ada masalah apapun jangan sungkan bicara ya. Kamu boleh pulang sekarang, nanti jadwal akan menyusul," kata Varrel menutup laptopnya.
Adisty mengangguk patuh, dia pun pamit undur diri. Seperginya Adisty, Varrel menghempas punggungnya ke sanggahan kursi empuk miliknya. Tubuhnya cukup pegal, maka dari itu dia memilih istirahat sebentar. Sambil mengistirahatkan tubuh, Varrel kembali teringat pada Ayna.
Apa ... keadaan Ayna saat ini karena dirinya?
***