Menangis semalaman memang bukan hal baru bagi Ayna. Jangankan menangis semalam, tiga hari berturut-turut bahkan lebih pernah dia lakukan saat tahu kedua orang tuanya bercerai mendadak tanpa sepengetahuan.
Akan tetapi Ayna tidak menyangka kalau dia harus mengulang siklus menyakitkan itu hari ini. Jika dulu pelakunya orang tua, sekarang kekasihnya. Kekasih yang Ayna yakini akan terus ada mendampingi bahkan menyembuhkan luka batin akibat perceraian.
Rasa sesak yang Ayna rasakan membuat wanita itu berubah posisi menjadi duduk. Sejak diantar pulang Varrel, sesampainya di dalam kamar, Ayna sudah tidak mampu menahan air mata. Tangisannya pecah, hatinya sakit, otaknya tidak lagi bisa berfikir.
Malan ini harusnya dia sedang dinner merayakan anniversary, tapi siapa sangka akan berubah menjadi malam kelam penuh tangisan? Yang semakin membuat Ayna sakit adalah, mengetahui wanita yang bersama Wildan itu adalah Allysa–kakak kandungnya. Orang yang baru kemarin datang dan menginap di sini.
Penghianatan model apa ini?
Lelah menangis Ayna beringsut turun dari atas kasur. Sejak oulang tadi bahkan dia tidak sempat mengganti pakaian serta menghapus make up. Tidak memperdulikan pakaian Ayna berjalan lunglai menuju dapur. Ditatapnya seisi dapur, lalu Ayna kembali menghela napas. Hidupnya sangat sepi, Ayna merindukan kehangatan rumah. Rumah di mana ada ayah dan ibunya.
Kaki Ayna kembali melangkah menuju kulkas. Diambilnya dua minuman kaleng, kotak bolu, tak lupa snack. Kedua tangan yang penuh tak membuat Ayna kesusahan. Dengan santainya dia menutup pintu kulkas menggunakan kaki.
Cairan dari hidung kembali Ayna sedot, lepas itu dia duduk di ruang televisi.
"Apa ada acara lucu setelah kejadian lucu malam ini?" kata Ayna sambil menyalahkan televisi. Suara wanita itu terdengar sumbang dan serak. Entahlah besok dia akan menjadi apa.
Prinsip Ayna, lakukan saja untuk hari ini. Urusan besok biarlah diselesaikan besok.
Beberapa saat memilih serial drama, tetapi tidak ada yang cocok. Alhasil Ayna memilih asal. Satu kaleng minuman soda Ayna buka, diminumnya sampai setengah. Bingung mau makan bolu atau snack, Ayna memilih menghempas punggungnya ke sanggahan sofa.
Ting!
Ting!
Ayna menoleh ke arah depan, lalu melirik jam. Sudah pukul dua pagi, siapa yang bertamu jam segini? Ada dua kemungkinan di dalam otak Ayna. Antara rampok dan Allysa. Rasanya tidak mungkin rampok, karena pengamanan di apartemen ini sangat kuat.
Ting!
Lagi, suara bel terdengar. Ayna berusaha acuh, dia mengambil snack bola-bola cokelat lalu memakannya sambil menatap televisi.
Dreet..dreet..dreet.
"Siapa sih?!" Ayna berdecak kesal. Jika tadi suara bel, kini ponselnya yang bergetar. Sepagi buta ini siapa yang berani menganggu?!
Ayna merampas ponsel miliknya tanpa melihat nama yang tertera. Ayna sangat yakin kalau itu Allysa, dan bisa saja orang di depan sana benar-benar kakaknya.
"Lo tau bacot gak, Kak? Gue muak sama lo, gue gak mau ngomong sama lo sekarang! Simpan semua energi lo, karna nanti penjelasan lo berdua akan gue tagih! Kal–"
'Maaf kalau saya ganggu waktu istirahat kamu, Ay.'
Satu tangan Ayna membekap mulut, mata sipitnya melotot sempurna. Suara itu ... itu bukan suara Allysa, tetapi Varrel! Buru-buru Ayna menarik ponsel, menatap nama yang tertera. Tidak, matanya tidak salah baca!
"P–pak Varrel? Astaga, Pak, maaf saya ga bermaksud. Bapak ada apa hubungi saya? Apa ada kerjaan yang harus saya cek saat ini juga?"
'Tidak ada, Ay. Lekas ke luar, Ay.'
"Keluar? Keluar mana, Pak?"
'Ke luar jendela lalu kamu lompat dari lantai enam belas!'
"Bapak suka bercanda. Jadi almarhummah dong saya besok."
Suara tawa renyah di ujung sana membuat Ayna mencabik kesal. Apa kata-katanya ada yang lucu? Sama sekali tidak ada!
'Buka pintu, lekas ke luar.'
"Bapak di depan apartemen saya?"
'Lekas buka, Ayna, ini perintah!'
Tut.
"Dih?" Kening Ayna menyerit, kali ini dia benar-benar bingung dengan kelakuan kulkas seribu pintu itu.
Masih dengan rasa malasnya Ayna terpaksa bangkit berjalan menuju pintu. Awas saja kalau ternyata terkena prank, Ayna tidak akan segan-segan mengutuk bosnya itu. Pintu terbuka. Tepat di depan Ayna berdiri seorang pria khas ojek online.
"Selamat malam, mbak Ayna. Maaf kalau saya ganggu waktu tidurnya. Saya mau mengantarkan makanan." Tangan pria itu terulur memberikan sekotak pizza kepada Ayna.
Kerutan di kening Ayna semakin menjadi-jadi. Sejak kapan dia memesan pizza? Jangankan memesan pizza, ganti baju saja dia sangat enggan karena lebih dulu menangis.
"Saya ga pesan apa-apa, Pak. Mungkin Bapaknya sal–"
"Mbak Ayna Khallisa Aurellia?"
Ayna mengangguk polos.
"Berarti benar. Diterima ya, Mbak, saya mau pulang soalnya." Tanpa menunggu persetujuan kotak pizza itu kini sudah berpindah tangan kepada Ayna.
Setelah memastikan pria itu pergi Ayna masuk menuju ruang televisi. Tidak ada tanda-tanda surat apapun, apa yang mengirim orang iseng?
Ting!
Ayna meraih ponselnya, membaca nama yang tertera.
Chat from : Pak Varrel Fahlevy.
Pak Varrel Fahlevy : 'Itu pizza buat kamu, semoga suka. Anggap sebagai permintaan maaf kalau acara kamu malam ini jadi batal. Hope you like it. Selamat malam.'
Read.
Pizza itu dari Varrel.
***
Pagi ini Ayna diselimuti keraguan. Ragu antara masuk kantor atau tidak. Bagaimana tidak ragu, saat bangun tidur Ayna mendapati kedua matanya sangat bengkak after menangis semalaman. Selain itu tubuhnya pun terasa tidak enak karena kurang tidur. Tapi kalau tidak masuk, Ayna juga tidak mungkin izin dadakan tanpa mempersiapkan segala urusan bosnya.
Alhasil, mau tidak mau Ayna turun dari taksi. Dari depan dia memandang bangunan super megah nan mewah. Tidak terasa memang dia hampir tujuh bulan menjadi bagian CV Allian's Group. Awalnya dulu Ayna ingin resign karena merasa tidak cocok bekerja dengan Varrel, tapi saat dia melihat beberapa orang melamar kerja dan tertolak, Ayna mengurungkan niatnya itu.
"Ayna!"
Tepukan dan sapaan mengejutkan itu refleks membuat Ayna menutup mata. Jantungnya berdebar kencang saking kagetnya. Tampa belas kasihan Ayna memukuli brutal pria di sampingnya sampai pria itu mengaduh kesakitan.
"Na, sakit, Na, aduh!"
"Rangga sialan!" teriak Ayna sambil terus memukuli pria bernama Rangga itu.
Rangga berlari-lari kecil menghindari pukulan demi pukulan yang Ayna layangkan. Karena kalau terus diam ditempat bisa-bisa tubuhnya memar! Satu tangan Rangga terulur menahan kening Ayna.
"Ya Tuhan, hari masih pagi, lo ketempelan di mana, Ayna?! Saha maneh?!"
"Aaaa, Rangga, rambut gue!"
Tubuh Rangga kembali menghindar, kali ini dia melompat. Tubuhnya dengan Ayna sudah cukup berjarak, tetapi Rangga tetap waspada akan serangan tiba-tiba. Setelah pertengkaran kecil itu Rangga baru sadar. Ditatapnya kembali wajah Ayna yang nampak beda pagi ini.
"Lo kenapa, Na? Mata lo bengkak, habis dipukul orang?" tanya Rangga. Walaupun kelakuan Ayna sangat menyebalkan, tetapi raut khawatir tidak bisa Rangga tepis.
"Dicium gajah! Puas lo?!" Setelah mengatakan itu Ayna bergegas masuk ke dalam loby kantor. Astaga, moodnya masih benar-benar kacau.
Kedua mata Rangga menerjap menatap punggung Ayna yang menjauh.
Aneh.
Gadis aneh.
***