"Iya, Aku bakal pulang secepatnya."
"Ada Mawes di kantor, dia bisa atasin semua."
"Aku cuman liburan sebentar, bosan ngantor terus."
"Iya Ayah, kalo udah selesai, Aku bakal balik. Hmm, bye."
Jay berjalan sambil menghela nafas panjang. Hanya dua puluh menit Ayahnya mengomel, namun dia sudah sakit kepala. Khun Thivat agak jengkel, karena Jay berlibur secara diam-diam tanpa memberitahu keluarga. Satu menit menuju lobi hotel. Dari kejauhan, Jay melihat Lika melompat-lompat sambil melambaikan tangan ke arahnya. Jay menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari orang-orang yang ada di hotel.
"Arun sawad Khun Suppasit (selamat pagi Tuan Suppasit)." Lika tersenyum ceria, dia tak menyadari. Karena ulahnya, Jay menderita insomnia tadi malam.
"Dasar stalker sialan." Jay mengutuk dalam hati. "Jalan." Ucap Jay, sembari melewati Lika.
"Eits, eits, tunggu dulu." Lika tiba-tiba menarik Jay. Jay kebingungan, tapi mau tidak mau dia terpaksa mengikuti Lika.
"What! Gua harus pake ini? Lu gila?" Jay terbelalak tatkala Lika menyodorkan hoodie dengan foto wajahnya terpampang di bagian depan.
"Nah, ini nih yang bikin kamu always ketahuan setiap mau kemana-mana. Terlalu mencolok tau gak, Coba liat di luar, emank ada human Chiang Rai keluar make jas rapi begini? warna merah lagi, hot sih..."
"Woy, mikir apaan Lu? hat hot hat hot."
"Gak ada." Lika menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu kembali menyodorkan hoodie. "Cepetan pake, ntar keburu siang."
"Aish, ni cewe. Stalker, ngomong pake bahasa campur aduk gak jelas, m***m, maksa lagi. Amit-amit dah." Batin Jay jengkel.
"Cepetan pake, mau liburannya nyaman gak? percaya sama Aku."
"Lu pikir ini gak mencolok? liat nih muka Gua terpampang gede begini."
"Justru itu. Mana ada CEO make barang yang ada foto mukanya sendiri. Jamin dah, gak bakal ketahuan."
Jay terpaksa pergi ke toilet mengganti bajunya. Setelah beberapa menit, Lika terperangah menatap Jay yang keluar kamar mandi, dengan memakai hoodie.
"Wah, make hoodie aja, cakepnya gak luntur." Lika menikmati pemandangan indah di depannya sejenak. "Nah, cocok kan."
"Bacot Lu, yok berangkat."
"Bentar, bentar." Lika mengambil topi pet hitam dari dalam tas, lalu memakaikan topi tersebut pada kepala Jay. "Nah, perfect. yuk berangkat."
Jay berjalan cepat di depan Lika, Lika dengan wajah ceria sedikit berlari mengejar ketertinggalannya.
"Hari ini kita ke kuil ya, White Tample." Lika melangkah dua kali lebih cepat untuk mensejajarkan dirinya dengan Jay.
"No, Gua mau ke Mae Fah Luang Garden." Mereka telah sampai di pinggir jalan.
"Padahal harusnya White Tample." Batin Lika, agak kecewa.
"Ngapain Lu bengong, panggilin taksi!"
"Siap!" Lika kembali tersenyum sambil berlari ke arah jalan, "Gak papa, kita bisa ke kuil abis dari taman, kemana aja dah yang penting di samping si ganteng."
"Ini apaan!" Jay mundur beberapa langkah sambil menutup kupingnya, tatkala melihat kendaraan yang dicari Lika hampir sepuluh menit lamanya.
"Taksi, hehehe." Lika nyengir kuda, ingin sekali Jay menjitak kepala wanita itu.
"Gua suruh nyari taksi beneran, bukan Tuk Tuk!" Jay menghela nafas kesal, melihat kendaraan khas Thailand yang mirip bajaj tersebut tak berhenti berbunyi.
"Ya ampun, mana seru kalo gak naik kendaraan tradisional, yuk buruan."
"Aish, t-tunggu dulu..."
Lika menarik Jay dengan paksa, sebelum laki-laki itu melarikan diri. Kini dia duduk di samping Jay, sambil membuka catatan di gawainya.
Lokasi : Chiang Rai - Di dalam Tuk Tuk yang romantis
Waktu : 08.35 Pagi
Kegiatan : Otw Mae Fah Luang Garden
Outfit : Hoodie abu-abu, celana merah.
Item tambahan : Topi pet
Lika melirik Jay sejenak, lalu kembali mengetik. "Sultan duduk di samping Gua, walau dia nyata di sana, tapi rasanya seperti mimpi."
Lika senyum-senyum tak jelas, sementara Jay terbatuk dan sibuk mengibas-ngibaskan tangannya karena terkena debu jalananan.
***
Sesampainya di Mae Fah Luang Garden, Lika berlarian kesana-kemari dengan gembira. Taman luas dengan berbagai macam bunga indah tersebut, membuatnya terpesona. Jay menatap Lika sambil menggelengkan kepala. Setelah berkeliling hampir dua jam, Lika melihat Jay agak tak nyaman dan kelelahan. Dengan tanpa sadar Lika menggandeng Jay, lalu menarik Jay ke sebuah bangku taman.
"Jangan pegang-pegang bisa gak sih! nyari kesempatan ya Lu?" Jay kesal, dia mendorong Lika lalu mengibas-ngibas lengannya.
"Khothot (maaf), Gak sengaja, hehehe."
"Dimarahin malah nyengir, emang gila nih cewe satu." Jay duduk, menarik lengan hoodienya ke atas, karena kepanasan. Lika dengan segera mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Kipas angin portable yang bisa dibawa kemana-mana. Lika mengarahkan kipas angin tersebut ke wajah Jay.
"I-ini apa?" meskipun melihat wajah Lika membuat Jay kesal, tapi perlakuan Lika membuatnya sedikit tersentuh.
"Kipas angin. Belum pernah lihat ya? kipas angin mini?"
"Ya udah pernahlah, ngasal aja Lu kalau ngomong." Jay membuang muka, namun beberapa detik kemudian dia melirik kipas angin imut berwarna biru di tangan Lika. Ya, dia memang tak pernah melihat benda itu sebelumnya, karena dia tak pernah pergi keluar dan berpanas-panasan sampai harus membawa kipas angin portable segala.
Lika menarik tangan Jay lalu memberikan kipas angin tersebut, Jay terpaksa mengambilnya, agak canggung mendekatkan kipas angin itu ke wajahnya yang agak meruam karena panas. Jay tersenyum sejenak. Namun, dia segera merubah ekspresi wajah, ketika Lika melihat kearahnya.
"Nih, biar gak kepanasan." Lika mengembangkan payung yang baru dia ambil dari tasnya.
"Ya Ampun, itu tas apa kantong Doraemon sih? banyak banget isinya."
Jay menatap Lika lekat. Senyum Lika tak pernah luntur, dia berdiri memayungi Jay sambil bersenandung kecil.
"Hem, ngapain Lu berdiri di sana?"
"Disuruh duduk? Khop khun kha (Terimakasih)." Lika kemudian duduk dengan riang di samping Jay.
"Siapa yang suruh Lu duduk?" Jay melihat kesekitar. "Itu, beliin Gua es krim. Panas tau gak!"
"Wait." Lika berdiri, menyerahkan payung ke tangan kiri Jay, lalu berlarian dengan semangat.
"Gak ada capeknya tu manusia." Gumam Jay, sambil memperhatikan Lika yang menjauh.
Tiga menit berlalu, Lika masih mondar-mandir di sekitar penjual es krim. Dia berdiri dan melamun sejenak, beberapa saat kemudian, Lika mendekati penjual es krim, berusaha untuk ramah, dengan ragu diapun mulai berbicara.
"Mm... Khothot na kha Phi, k-khun cheu arai kha? (Maaf Bang, namanya siapa?)."
"Ngapain beli es krim pake tanya nama segala?" Lika kaget, spontan dia berbalik. Laki-laki dengan tinggi sempurna itu begitu dekat dengannya. Sangat dekat hingga membuat Lika ternganga tanpa sadar. Lika mendongak karena Jay 25 cm lebih tinggi darinya. Tapi lehernya sama sekali tak terasa sakit. Dia terus saja terngaga sambil tersenyum, menatap wajah dengan pahatan sempurna itu. "Minggir." Suara Jay membuat Lika tersadar, dengan cepat dia menggeser dirinya ke samping. "Nih, pegang." Jay memberikan payung serta kipas angin ke tangan Lika.
"Phi khrab, Neung ice cream khrab (Bang, es krimnya satu)." Jay mengeluarkan dompet dari saku celananya.
"Soong, Soong! (dua, dua!) Aku juga mau." Lika berlonjak sambil mengacungkan dua jarinya, Jay menatap Lika sejenak.
"Soong khrab (Dua)." Ucap Jay lagi kepada penjual es krim. Lika tersenyum puas menjinjit-jinjitkan kakinya tak sabar.
"Thorai khrab? (Berapa?)."
"Hoksip saam bath khrab ( 63 Bath)." Jawab penjual tersebut. Jay kemudian membayar dan membawa es krim di kedua tangannya.
"Ngapain Lu masih megangin payung ama kipas? simpen de, risih gua ngliatnya."
"Tapi kan panas."
"Lu gax liat Gua pake topi? trus ni es krim Lu, mau Gua buang?"
"Oh iya, wait, wait." Lika melipat payungnya, dan memasukkan payung beserta kipas angin ke dalam tas. Jay menyodorkan es krim dengan wajah jutek. Lika menyambutnya dengan wajah ceria.
"Habis dari sini... kita ke White Tample?" Lika, sangat ingin ke kuil putih bersama Jay. Karena mungkin ini kesempatan terakhirnya, Lika ingin melakukan kunjungan ziarah bersama sang idola sekaligus. Betapa bahagianya dia berpikir bahwa Jay akan ikut bersamanya ke kuil.
"Mai (tidak). Gua mau ke Singha Park." Ucap Jay lalu berjalan cepat meninggalkan Lika. Lika mengecek jam tangannya, sambil berlari mengejar Jay.
"Ke Singha Park nya sebentar aja kan? abis itu kita bisa ke White Tample Kan? atau kita ke kuil putih dulu, baru ke Singha Park, gimana?" Jay terus saja berjalan, tak mempedulikan Lika yang mengoceh.
"Khun Supp, denger gak sih?" Lika sekali lagi harus mengejar Jay. Karena kakinya yang pendek, membuat langkahnya lebih pendek, tak sebanding dengan tungkai Jay yang panjang. "Tunggu, Khun Supp, Eh... Aaaa!" Jay terhenti, lalu menoleh ke belakang. Tampak Lika hampir menangis, karena es krim yang sejak tadi di pegangnya jatuh ke sepatunya, tanpa sempat dia makan. "No! My Ice Cream, Huwaaa!!"
Jay menutup mulutnya, perlahan dia mulai terkekeh, lalu beberapa detik kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Es krim yang terbalik di sepatu Lika, dan ekspresi Lika, merupakan hal terlucu yang pernah dia lihat selama ini. Lika berjalan pincang seolah kakinya habis mengalami kecelakaan berat. Jay sekali lagi terkekeh. Saat dia bermaksud hendak menutup mulut, tanpa sadar es krim di tanganya mendarat ke mulutnya, membuat mulutnya belepotan. Ya, dia lupa, bahwa dia sedang memegang es krim. Jay terdiam, Lika akhirnya tertawa puas, sambil memegangi perutnya. Jay mendengus, lalu mengambil sapu tangan untuk menyeka mulutnya.
"Habis maskeran Mas?" Goda Lika sambil perlahan mendekat.
"Lu pincang habis ngapain, habis kecelakaan?" Balas Jay. Lalu kembali tertawa terbahak-bahak. Lika menatap wajah idolanya itu. Selama menjadi pemburu foto-foto Jay, baru kali ini dia melihat Jay tertawa selepas ini. Dengan segera dia mengambil camera dan memotret.
"Lu ngapain? motoin Gua sembarangan, itu ilegal tau gak! mau Gua laporin kepolisi?"
"Ternyata, wajah Khun Suppasit lebih indah saat tertawa," ucap Lika. Jay tertegun sejenak, dengan canggung dia mengusap wajahnya, lalu berbalik membelakangi Lika.
"Gua gak tau, ini nyata atau hanya mimpi. Tapi, jika ini mimpi, Gua gak mau terbangun sekarang," batin Lika, sambil tersenyum menatap punggung bidang itu.
TBC