Daleman

579 Words
"Aku mau minta maaf! maafin aku, Ka. Buka pintunya!" "Enak aja mau minta maaf, gak semudah itu Jaelani," Lika kembali masuk ke kamarnya, lalu merebahkan diri, "Bodo, Gua masih marah. Gak boleh luluh gitu aja." Lika menatap foto Jay, lalu mengambil bingkai foto tersebut dan memeluknya "Tapi kamu ucul banget sih Yank. Kan aku jadi makin gak tega." Lika terdiam begitu lama. Beberapa menit kemudian, mata Lika sayu, dan akhirnya tertidur. Dum! sebuah petir besar membangunkan Lika. Dia tersentak kaget, lalu segera bangkit menatap jam dinding. "Jam satu malam? hujan lebat kayaknya," Lika berbaring kembali, dan menutup matanya. Namun, tiba-tiba dia terbelalak, "Ya ampon, Khun Jay gimana?" Lika bergegas bangkit dan berlari ke ruang tamu. Hampir saja dia menabrak dinding. Lika mengintip dari jendela, kilat datang silih berganti, disambut petir beberapa kali. Karena hujan yang sangat deras, Lika tak bisa melihat dengan jelas keluar sana. "Pasti udah pulang de dia. Masa hujan-hujan nangkring depan pagar juga," Lika duduk di sofa lalu menatap ke pintu depan, "Harusnya udah pulang kan yak, bener kan?" Lika mengacak-acak rambutnya lalu menjatuhkan dirinya ke sofa, "Argg! bikin kerjaan aja, sih!" Lika akhirnya keluar, membawa payungnya dengan susah payah untuk memeriksa Jay. "Kalo gak pulang, beneran guvluk pake banget nih Khun Jay. Yaelah, ujan-ujan gini nyari perkara aja," omel Lika sambil jalan menuju pagar rumahnya. Sementara itu, di tengah dinginnya udara, dan lebatnya hujan. Seseorang berjongkok sambil menyandarkan dirinya ke pagar. Dia tampak menggigil, wajah dan telapak tangannya pucat karena kedinginan. Orang itu tak lain tak bukan adalah Jay. Jatuh cinta bisa membuat orang bodoh. Rasa bersalah bisa membuat orang kesal. Terlambat menyadari sesuatu bisa membuat orang menyesal. Lalu, jatuh cinta dan merasa bersalah karena terlambat menyadarinya? maka akan menjadi pesakitan seperti Jay saat ini. Dia seperti orang bodoh yang menyalahkan diri sendiri karena terlalu menyesal, hingga tak mempedulikan apapun termasuk kewarasan dan kesehatan dirinya sendiri. "G-Gua ... gak bakal pergi. Dia pasti datang," gumam Jay sambil menggigil. Beberapa menit kemudian, seseorang memayunginya. Jay mendongak ke atas, lalu kemudian tersenyum, "Hai ..." ucapnya dengan lega. "Khun Jay udah gila ya!? ngapain masih disini! udah tau hujan lebat gini." Lika berteriak. Namun, suaranya hanya terdengar samar di tengah derasnya hujan. "Aku minta maaf," ucap Jay. Masuih terus berjongkok. Kakinya terasa kaku, dia tak mampu menggerakkannya. Lika ikut berjongkok lalu memukul d**a Jay dengan pelan, "Kenapa Sultan akuh jadi begini, sih? huwaaa, nyebelin banget." Lika menangis. Jay tersenyum lalu menangkupkan tangannya ke wajah Lika. Air mata Lika yang hangat terasa di tangannya yang begitu dingin. "Boleh masuk, gak? dingin banget," ucap Jay kemudian. Lika cemberut lalu membantu Jay untuk berdiri. "Akh!" Jay meringis, dia membungkuk sebentar, merasakan nadi-nadinya yang hampir saja membeku. "Khun Jay gak papa? ke rumah sakit yok?" Lika terlihat cemas. "Aku gak papa. Minum air hangat juga bakal baikan." Lika memapah Jay masuk kerumahnya. Sesampainya di dalam rumah, Lika langsung mengambil termos yang berisi air panas, Handuk bersih dan memilih beberapa pakaian yang paling besar. "Khun Jay, air hangat udah aku siapin di kamar mandi. Ini pakaian, pasti muat dah sama Khun Jay soalnya aku emank sering pake baju kebesaran." Lika menyodorkan kaus dan celana trening kepada Jay. Jay menatap kaus berwarna hitam tersebut, lalu mengembangkannya. "Kamu emank punya banyak barang kayak gini, ya?" Jay terkekeh. Bagaimana tidak, seperti hoodie yang pernah dia pakai, kaus di depannya pun memiliki foto dirinya yang terpampang disana. "I-Itu ..." "Ya udah. Aku mandi dulu, tapi ... dalemannya gimana?" "A-Apa! d-daleman!?" TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD