Bagiku, kau seperti Kuil Putih. begitu indah menawan, dan begitu suci.

1301 Words
Lika berjalan di lobi dengan senyum cerahnya. Dari kejauhan, dia melihat Jay. Mengenakan kemeja biru ringan berlengan pendek, tak seperti biasanya, kali ini Jay memakai Jeans. Lika ternganga, dengan semangat dia mengeluarkan catatan : Waktu : 09.15 Pagi. Tempat : Chiang Rai Hotel Kegiatan : Otw White Tample Outfit : ... Lika menghentikan tulisannya, lalu kembali menatap Jay dari kejauhan. Jay tampak beberapa kali memeriksa jam tangan, dan mondar-mandir di sekitar pintu keluar. Outfit : New Style, Kemeja biru bermotif daun, dengan celana Jeans Item tambahan : Jam tangan dengan tali kulit berwarna hitam, dan sepatu olahraga. Setelah mengambil fokus yang pas, klik, Lika memotret. Dia berlonjak gembira dengan hasil jepretannya. "Gila, blasteran Thailand, Indonesia ditambah Surga emang beda. Wah, bisa ya manusia secakep ini?" Lika menurunkan kameranya, lalu berlari menghampiri Jay. "Arun (selamat) ..." "Hyud! (berhenti!) gak ada selamat pagi, selamat pagian. Dari mana Lu? capek nih Gua nungguin dari tadi!" "Sorry, sedang persiapan lahir dan batin, hehehe" Lika cengengesan lalu menyelipkan rambut ke balik telinganya. "Emank Lu mau ngapain? gila nih manusia. Udah, cepetan!" "Tunggu, tunggu. Khun gak pake topi?" Lika mengacak-acak isi tasnya mencari topi untuk Jay. "Gak perlu. Di kuil orang semuanya fokus berdoa, Lu gak liat gaya Gua begini? gak bakal ketahuan." Lika menatap Jay dari ujung rambut hingga kaki, lalu berpikir sejenak. Melihat itu Jay menjadi gugup. "G-gak bakal ketahuan kan?" ucap Jay mulai melihat sekeliling. "Tenang, ada Lika, jangan gugup dan berbaur aja kayak warga biasa," ucap Lika dengan senyum cerahnya. Jay berdehem, lalu melangkah pergi keluar dengan percaya diri. "Miss Lika, this is your bicycles," Seorang petugas hotel membawakan dua buah sepeda untuk Lika. "Ini apaan? kenapa ada sepeda segala?" Jay kebingungan. "Kuil kan deket tuh, pake sepeda paling cuman lima belas menit, sekalian olahraga biar sehat." Lika mendorong sebuah sepeda dan memberikan kepada Jay. Lalu dia mengambil sepeda satunya. "Khop khun kha Phi," ucapnya pada petugas hotel. "Yuk berangkat," Lika bersiap mengayuh. "Tunggu dulu! kenapa harus pake sepeda?" "Ya biar sehat, ayuk ah." "Tunggu dulu!" *** Lika mengayuh sepeda sekuat tenaga, bebannya menjadi lebih besar, karena harus membonceng Jay yang duduk di belakang sambil tersenyum. "Lu capek?" "G-gak kok, gak capek," nafas Lika terengah, Jay terkekeh kecil melihat ekspresi Lika. "Bagus, kayuh lagi yang kenceng, panas ni." "Udah segede gini kok gak bisa naik sepeda sih?" Lika bercucuran keringat, namun dia tak menyerah, dia harus bertahan sebentar lagi untuk tiba di kuil. "Lu gila? ngapain Gua butuh sepeda? Gua punya supir pribadi." "Oh iya, Sultan mah bebas," ucap Lika membuat Jay tersenyum senang. "Wah! akhirnya sampai juga." Lika turun dari sepeda, sambil sempoyongan, dia mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya, karena merasa panas. Jay mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, secara reflek, lalu mengelap dahi Lika yang berkeringat. "Lu kenapa bisa ke ... ri ..." Jay terdiam, Lika pun membatu, mata mereka beradu, waktu seolah terhenti. Beberapa detik kemudian, Jay lalu melempar sapu tangan ke wajah Lika. "Kenape keringet Lu banyak banget! lap noh, jorok banget sih!" Jay berlalu meninggalkan Lika. "Akh, apaan sih, bukannya terimakasih, udah diboncengin juga, ughh, untung ganteng." Lika berlari mengejar Jay yang sudah masuk ke gerbang kuil. Hampir satu jam mereka berkeliling, Lika menenteng minuman dingin, lalu memberikan kepada Jay. "Lu ada kelainan ya?" Jay menatap Lika, merasa heran karena wanita itu selalu mengeluh, tapi tetap saja berkeliaran tanpa henti, sambil memasang senyuman cerah di wajahnya. "Kelainan apa? mana ada." "Suka-suka Lu de, tapi Lu jangan ngomong capek, capek, di depan Gua. Gedeg Gua dengernya, bukannya duduk diam tapi masih keliaran juga." Lika nyengir kuda, lalu duduk sambil menyedot minumannya, "Khun, lama banget di dalam kuil doahin apa?" Lika terlihat penasaran. "Bukan urusan Lu, kepo banget," jawab Jay ketus. "Iya de iya, gak nanya lagi." "Trus Lu ngapain gak masuk kuil? dari semalam ngebet banget pengen ke sini, tapi masuk aja kagak. Gak berdoa Lu?" "Aku? gak perlu, doa aku udah terkabul," Lika menatap Jay sambil tersenyum lembut. "Jangan ngeliat Gua kayak gitu, Gua tabok nih," Jay mengangkat botol minumnya yang sudah kosong. Lika hanya cengengesan lalu kembali menyedot minumannya. "Lu gak mau doahin yang lain? apa kek." "Kalau minta lebih banyak lagi, itu namanya serakah. Serakah itu gak baik, yang penting aku udah bisa jalan-jalan ama Khun Suppasit, gak butuh yang lain lagi." "Diem de Lu, bikin naik darah aja denger Lu ngomong." Jay membuang mukanya, meskipun tipis, sekilas tampak dia tersenyum, lalu sedetik kemudian, dia merubah ekspresi seperti biasa lagi. *** Dua manusia yang merupakan idola dan fans, dengan perpaduan yang tidak sinkron itu, kini berdiri di taman hotel. Mereka menghabiskan seharian di kuil, lalu mengunjungi setiap sudut Chiang Rai hingga langit cerah di atas sana, berubah menjadi gelap dengan cara yang romantis. Lika menatap Jay yang dari tadi menengadahkan kepalanya ke langit. Seolah Jay adalah langit baginya, bahkan sekarangpun dua berpikir bahwa Jay tidak nyata. "Perubahan warna itu menakjubkan ya, gak masuk akal, langit yang awalnya cerah tiba-tiba perlahan menggelap, lalu tiba-tiba menjadi hitam," ucap Jay masih menatap langit dengan serius. "Chai (benar), menakjubkan banget, Tuhan memang canggih," Lika masih terpana menatap wajah Jay dari samping, dia sama sekali tak memperhatikan langit, yang dia tahu laki-laki di sebelahnya ini, adalah salah satu bukti kecanggihan Tuhan. "Dan, stalker berdiri di sebelah Gua. Bukannya lebih gak masuk akal lagi?" Jay tiba-tiba menoleh ke arah Lika. Lika terbatuk sambil memukul-mukul dadanya. "Lu ... gak capek ngeliatin Gua? bukannya apa-apa, Gua nanya karena penasaran, apa isi kepala kalian sampe rela kejar-kejaran, panas-panasan, trus beli apapun yang berhubungan dengan idola?" "Isi kepala kita? ya kalianlah, hek hek hek," Jay menarik nafas, menatap jengkel ke arah Lika, "Hehehe, maksudnya itu kesenengan kita, ya mau gimana lagi, namanya juga bucin, salah kalian sih kenapa harus ganteng banget, kan kita jadi lupa diri." "Dasar gila," Jay menggelengkan kepalanya. "Akun fansbase lebih banyak lagi pengorbanannya, nah tau kan "Isteri Sahnya Khun Suppasit" admin akun itu sebenarnya ..." "Jangan ngomongin dia. Anjir, itu akun paling ngeselin. Awas aja, dia bakal Gua tuntut." "What! kenapa dituntut segala?" "Ngeresahin tau gak! pokoknya jangan ngomongin tuh akun, gedeg Gua." "Anjir, padahal mau bilang, Gua adminnya, mampus dah Gua bakal dilaporin, mending tutup mulut." Lika memukul-mukul mulutnya kesal. Setelah beberapa menit semua terdiam, hanya terdengar suara angin dan jangkrik yang bersahutan. "Khun," - "Stalker," Tiba-tiba keduanya bicara bersamaan, Jay menarik nafas panjang, sementara Lika menggaruk-garuk kepalanya. "Besok ..." Mereka masih bicara serentak. "Lu ngomong duluan dah, besok mau apa?" "Khun aja, silahkan, silahkan," "Dasar Stalker, dia pasti mau ngajakin keluar lagi, untung Gua baik hati, ke kebun teh aja kali ya, kayaknya dia suka jalan berat," Jay tersenyum senang. "Khun, mau bilang apa?" "Besok ..." Jay diam sejenak, "Lu duluan dah," Jay menyilangkan tangannya, "Yok kita denger dia mau kemana." "Besok Aku harus pulang ke Indonesia, soalnya udah gak bisa nginap di hotel lagi, cuti juga udah habis, hehehe," "Sialan! jadi Gua ditinggal? aishh, masak Gua minta dia jangan pergi sih? malu-maluin banget." "Khun ..." Lika melambai-lambaikan tangannya ke wajah Jay. "Oh, diimaak (Bagus), Gua mau bilang, besok gak usah ngekorin Gua, risih Gua jalan ama Lu." Lika cemberut, lalu menundukkan pandangannya. "Ya udah, Gua masuk dulu, ngantuk." Jay segera beranjak meninggalkan Lika, Lika menghela nafas, lalu tersenyum, "Yup, terima kenyataan! jangan berharap lebih, itu namanya serakah," ucapnya lalu beranjak dari tempatnya berdiri menuju ke kamarnya. *** Keesokan harinya, Jay berlari ke Lobi mencari keberadaan Lika, setelah bosan mencari, dia lalu bertanya ke resepsionis. Dari resepsionis Jay mendapatkan surat yang di titipkan Lika, surat penggemar ke idolanya, dilengkapi foto Jay dengan gaya asing, mengenakan hoodie dan topi. "Bagiku, Kau seperti Kuil Putih. Begitu indah menawan dan begitu suci. Terimakasih telah memberi kesempatan langka untukku." Khop Khun Kha, Chan Rak Khun." Surat tulisan tangan itu diakhiri dengan tanda hati. "Dia lulusan apasih? jelek banget tulisannya," Jay terlihat kesal, namun menyimpan surat itu ke saku stelannya. "Good, akhirnya Gua terbebas dari Stalker." TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD