Jay berguling-guling di tempat tidurnya. Sudah pukul 4 pagi. Dia sama sekali tak bisa memejamkan mata. Berkali-kali dia memeriksa gawainya yang sepi tanpa pesan atau telepon masuk sama sekali. Jay men klik nomer Lika, lalu berpikir sejenak.
"Gua telepon tidak? tapi buat apa Gua nelponin dia? gak ada pembahasan penting."
Jay mengurungkan niatnya. Beberapa detik kemudian, dia kembali menatap gawai yang tadi telah dia geletakkan, "Apa Gua kirim pesan aja?" Jay kemudian membuka kotak pesan, dan bersiap mengetik. Namun, setelah beberapa saat, dia kembali mengurungkan niat.
"Ngapain juga Gua ngirimin dia pesan?" Jay menghempaskan diri ke matras empuknya, "Biarin aja, nanti juga dia nelpon sendiri."
Itulah yang dilakukan Jay sepanjang malam hingga subuh. Dia tak tidur sama sekali, hanya karena ragu harus menghubungi Lika atau tidak. Namun, akhirnya dia memilih tak menghubungi Lika. Waktu begadang yang dia habiskan, sangat tak berfaedah sama sekali.
Sementara itu, di rumahnya. Setelah pulang dari menemui Jay, Lika makan begitu banyak gorengan, karena dia frustasi. Tepat pukul 11 malam, dia tepar. Ketiduran dengan gorengan masih digenggaman tangannya. Maklum saja, dia tipe orang yang langsung tumbang ketika perutnya kenyang.
***
pukul 9 pagi. Juliana setidaknya begitulah nama yang tertera di ID Card gadis itu. Tapi, nama lengkap nan rupawan itu sangat langka terdengar di kantor. Karena rekan-rekan memanggilnya Ijul. Juliana? itu hanya nama pajangan. Dia adalah salah satu staf accounting perusahaan. Saat ini dia sedang mencari Mawes untuk memberikan laporan keuangan minggu lalu. Dia agak kesal, karena ruangan mawes berada di lantai tujuh, dan kebetulan lift mengalami kerusakan sementara, membuatnya harus mendaki berpuluh-puluh anak tangga.
"Sialan! si Cupu ruangannya kenapa jauh banget sih? ngeselin banget," Ijul terengah-engah, keringatnya bercucuran, hingga membuat jilbab berwarna cream yang dia pakai menjadi basah dan lembab di bagian kening dan pelipis, "Aih, panas banget!"
"Panas banget, ah ... tapi enak!"
Terdengar suara dari ruangan Mawes. Ijul yang tengah mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya seketika terhenti. Dengan pelan dia mempertajam indra pendengarannya.
Slurp ... "Ah, mantap."
Terdengar suara yang mencurigakan lagi. Dari nada suaranya yang agak parau namun sedikit melengking, Ijul tau bahwa itu adalah Mawes.
"Si cupu ngapain? jangan-jangan ..." Ijul terbelalak sesaat, "Buset, jangan-jangan dia m***m di kantor!" Ijul memperbaiki jilbabnya, lalu menempelkan telinga ke pintu ruangan.
"Ah ... nikmatnya ..."
"Huah, gak tahan nih ... Mawes, mending buka aja kancing atas baju Lu."
Terdengar suara satu orang laki-laki lagi. Juli mengepalkan tangannya, "Pak Pras? ngapain dia standbay disini bukannya di ruang supir? Astagfirullah ... sungguh gak berprikekantoran."
"Wuah! Pak Pras ... sakit ... sakit ..."
"T-tunggu bentar Wes ..."
"Anjir nih mereka berdua," ceklek! "Woy, kalian dasar gak bermoral!"
Hening sejenak, Mawes, Pak Pras, dan Ijul saling pandang, dan tak bergerak. Tampak Mawes sedang duduk di kursi, sementara Pak Pras berjongkok di depan mawes, memegang tisu. Dari gayanya, Ijul bisa tahu bahwa Pak Pras ingin mengusap s**********n Mawes dengan tisu itu.
"Huwaa!!" Ijul menjerit.
"Huwaa!!" Mawes dan Pak Pras ikut menjerit.
"Khun Jay!" Ijul segera berlari ke ruangan Jay yang terletak tak jauh dari ruangan Mawes. Mawespun berlari mengikutinya sambil kesakitan dan terpincang-pincang.
"Khun Jay ... Mawes ama Pak Pras ngehomo!" teriak Ijul begitu masuk ke ruangan Jay.
"Gak Tuan, Ijul salah paham!" balas Mawes yang baru saja sampai dengan tergopoh-gopoh.
"Apanya yang salah paham? Gua liat sendiri!"
"Liat nih, celana Gua ketumpahan kuah mie makanya Pak Pras ambil tisu mau nolongin Gua."
"Elu suruh Gua liat t*t*d Lu? Astagfirullah gak ada akhlak!"
"Bukan gitu ... Ya Allah Jul. Lu maen tuduh aja."
"Bodo! Khun Jay ..." Ijul yang dari tadi ribut tiba-tiba terdiam, "K-Khun Jay ..."
"Tuan?" Mawes ikut terdiam, perlahan Mawes mendekat. Tampak Jay tergeletak di atas sofa. Stelannya acak-acakan, mulutnya terbuka, dan dia hanya memakai sebelah sepatu.
"Khun Jay kenapa?"
Ijul terlihat cemas, Mawes mendekat untuk memeriksa apakah Jay bernafas.
"Tuan ..."
Ngok ... brrr ... ngok ... nyam, nyam, terdengar suara dengkuran dari mulut Jay. Mawes dan Ijul menarik nafas lega. Entah kenapa Jay tiba-tiba tertidur di kantor. Dia tak pernah sekalipun melakukan hal ini, karena tak ingin citra Sultannya luntur.
"Ya ampun ... Gua kira Tuan kenapa-napa." Mawes segera menjauh dari Jay.
"Khun Jay gak kenapa-napa? gak mati?" Ijul mendekat lalu mengulurkan tangan untuk memeriksa Jay.
"Sttt ... Dia lagi tidur. Lu mau di lempar dari lantai tujuh? yok cepetan cabut."
Mawes berjalan keluar sambil mengangkang. Ijul yang masih kebingungan, segera mengikuti Mawes. Sesampainya di ruangan Mawes, tampak Pak Pras tertawa cekikikan.
"Seneng ya Bapak ngeliat Gua susah?" omel Mawes, sambil berusaha untuk duduk.
"Kalian tadi ngapain? dasar!" Ijul melempar laporan ke meja Mawes lalu melipat tangannya.
"Itu si Mawes ketumpahan kuah mie. Kita kan tadi lagi makan mie rebus pedas,"
Ijul menurunkan tangannya, "Beneran? kalian gak ngehomo?"
"Sembarangan Lu! Lu gak liat nih Gua ude kepanasan gini?"
Ijul diam sejenak, beberapa detik kemudian dia akhirnya tertawa terbahak-bahak. "Pftt ... Ya Allah Mawes, Gua kira ... hahaha."
"Udah, turun sana ke ruangan Elu," Mawes masih mengomel sambil mengipas-ngipas selangkangannya.
"Bapak ke ruang supir dulu ya, periksa ke dokter gih nanti kenapa-napa," ucap Pak Pras, sambil berlalu keluar.
"Pak, Gua ikut ..." Ijul juga pergi meninggalkan Mawes, yang tak bisa bicara apa-apa, karena sedang merasakan penderitaan di bagian bawahnya.
***
Lika membuka laptopnya dan mencari jadwal pekerjaan Jay hari ini. Sebagai Bucin yang professional, dia harus punya keahlian lebih, dan meretas adalah keahlian yang sangat di syukuri dan dia banggakan. Jamy saat ini tidak ada di kantor. Jadi ini adalah kesempatan baginya untuk melakukan kewajiban Bucin, tanpa harus mendengar omelan Jamy.
"Makan siang di Sweet Home Cafe? ketemu siapa ya?"
Tanpa pikir panjang, Lika langsung menyambar camera. Sweet Home Cafe, hanya lima belas menit dari kantornya, tempat dia dan Jamy sering makan siang bersama.
Sesampainya di cafe yang dituju, Lika segera duduk di pojok, memesan satu gelas Es Jeruk. Dia tak bisa memesan makanan, karena keuangannya di level mengenaskan. Dengan tenang dia membuka buku catatan yang selama ini tak pernah lupa dia bawa.
Tempat : Sweet Home Cafe
Kegiatan : Makan siang
Lika terhenti sejenak, "Makan siang bareng siapa yak?"
Beberapa menit kemudian, hidung Lika mengendus sesuatu, "Wah, ini parfumnya Khun Supp!" Lika tersenyum gembira, dengan mengikuti aroma parfum itu, dia akhirnya dapat melihat Jay. Lika kembali membuka catatannya.
Outfit : Stelan abu-abu bergaris, sepatu kulit baru.
Item Tambahan : Jam tangan keluaran terbaru, tali coklat.
Lika tersenyum, lalu mulai mengambil fokus kamera. Ketika dia bersiap untuk memotret, tiba-tiba seseorang datang membuatnya terbelalak.
"T-tunggu dulu, kenapa ..."
"Selamat siang Khun Jay,"
Seorang laki-laki bergaya santai. Mengenakan T-shirt berwarna putih dan celana abu-abu serta sepatu ket berwarna senada dengan T-shirt nya.
"Selamat siang, Jamy Baskara?" Jay tersenyum tak kalah santai. Dengan elegan dia mempersilahkan Jamy untuk duduk.
"Sialan, kenape tu si kacang polong ada di mari?" Lika mengomel sambil berusaha menyembunyikan wajahnya.
"Bisa kita bicara santai? kayaknya kita seumuran." ucap Jay, Jamy mengangguk tanda mengiyakan.
"Kalau gitu Gua gak bakal sungkan. Lu udah baca proyek kerjasama kita? asal tahu aja, Gua sebenarnya gak tertarik untuk proyek ini," ucap Jay sambil memasang wajah sombongnya.
"No problem, Gua juga terpaksa, karena Khun Thivat dan Bokap Gua temenan." Jamy mendongakkan wajahnya, ikut memasang wajah yang menyebalkan.
Lika yang melihat tak jauh dari mereka, merasakan adanya ketegangan, "Ini mereka lagi perang tatap atau gimana? Jamy kenapa sih? songong banget mukanya, ngapain coba ngeliat Khun Supp kayak gitu."
"Makanya, Gua bakal pertimbangin dulu. Gua gak bisa nerima cuman karena ayah kita temenan."
"Gua juga masih mempertimbangkan, Gua gak bakal nerima kerjasama yang absurd dan gak nguntungin Gua." Jamy menatap Jay tajam, "Sok banget, yang mau kerjasama ama Lu siapa? Bapak Lu noh yang maksa-maksa."
Jay balas menatap Jamy lebih tajam, "Nih orang, tampangnya aja udah ngeselin, mana bisa Gua kerjasama ama dia."
"Oh iya, ini hadiah dari Ayah Gua untuk Bokap Lu." Jay menyerahkan sebuah kantong kecil kepada Jamy, dengan senyum ramah yang dipaksakan.
Jamy menerimanya, "Gua juga punya hadiah dari Bokap, buat Bapak Lu." Jamy memeriksa kantongnya, "Loh, kemana ... eh buset, ketinggalan di kantor," Jamy kemudian mengambil gawai, "Kayaknya ketinggalan di kantor Gua, tunggu bentar. Gua suruh orang ngantar, deket kok dari sini."
Jamy segera menghubungi seseorang. Namun, tiba-tiba tak jauh dari mereka sebuah nada dering yang memekakkan telinga berbunyi. Jamy sangat kenal nada dering tersebut. Dia segera melihat ke samping.
"Woy, Lu ngapain ngintilin Gua kemari!" Jamy berteriak setelah tahu bahwa Lika ada disana.
"Stalker?!" Jay reflek berdiri dari kursinya, menatap Lika tak percaya.
Lika melambaikan tangannya, membungkuk beberapa kali, lalu nyengir kuda. "Mampus, ketahuan."
TBC