Hari ini aku berkuliah seperti biasa. Mata kuliah hari ini adalah pattern, sebuah mata kuliah yang membahas mengenai pola-pola dalam grammar bahasa Inggris, termasuk pola bahasa sastra di dalamnya. Dosen pengajarku adalah Mr. Musleh. Beliau berperawakan tinggi, kurus dengan kulit sedikit gelap. Wajahnya tegas dengan garis rahang yang menonjol. Walau begitu, mahasiswanya tidak takut padanya. Kacamata tebal miliknya telah membuat kesan garang karena sudut matanya yang runcing memudar.
Hari ini Mr.Mus—bagaimana biasa dia disapa—terlihat berbeda. Beliau menerangkan mata kuliah sembari berdiri—tidak sekadar duduk sembari membaca buku—sehingga membuat para mahasiswa terheran-heran. Mr Musleh sudah menyiapkan bahan ajar dalam bentuk ppt dan beberapa pertanyaan quiz. Kelas yang biasanya terlihat pasif dan mati, kini lebih hidup dan aktif. Mungkin beliau mendengarkan beberapa keluhan dan masukan yang kami berikan sehingga melakukan perubahan dalam caranya mengajar. Memang tidak full dua jam mata kuliah beliau berdiri, sesekali masih duduk dan membaca buku. Namun, perubahan ini sangat disambut baik. Setidaknya, beliau berani melakukan perubahan dan melangkah maju.
“Gimana tadi? Bisa jawab quiz?” Fafi, temanku, memberikan pertanyaan begitu kelas sudah bubar dan hanya tinggal beberapa mahasiswa saja di kelas.
Aku mengangguk kecil, “Bisa, dong,” jawabku rada sombong. “Kamu gimana?”
Fafi mengangkat satu jempolnya, “Bisa banget,” jawabnya lantas terkikik.
Aku memberinya satu jempol dan dia sudah memasang wajah menyebalkan. rasanya, aku ingin menarik jempol yang aku berikan. Namun, mengingat kami adalah teman baik, aku memutuskan untuk berbaik hati dengannya.
Selesai kuliah, Fafi mengajakku makan di kantin. Gado-gado adalah menu andalan yang biasa kami beli, ditemani dengan segelas teh hangat, memberikan nuansa menyenangkan. Kami jadi teringat masa-masa awal kuliah, saat mengejar S1 dulu. Berbagai hal, senang-sedih, kecewa-semangat, sudah kami rasakan. Walau S2 terasa santai dan tidak masuk setiap hari, tetap saja, suasana kampus, sangat mudah untuk dirindukan.
“Bagaimana kabar brondongmu?” tanya Fafi, saat kami sudah di kantin dan pesanan kami sudah jadi, sedang disantap malah.
“Baik, kenapa? Kamu ingin melihatnya?” godaku membuat Fafi terlihat semakin antusias.
“Sudah boleh ketemu, nih?” tanyanya dengan sengaja menyipitkan mata.
Aku tergelak, “Entahlah. Dia masih canggung jika hubungan ini dipublikasikan.”
Fafi menghela napas kecewa. “Lagian, kenapa kamu bisa bersama anak kecil begitu? Kamu nggak kepikiran tentang gap usia kalian yang cukup jauh itu? Kamu belum gila kan? Menikah dengannya, bisa dibilang mustahil, Nay.” Ocehan Fafi kembali membuatku hanya tersenyum kecut.
“Aku tidak bilang akan menikah dengannya,” elakku membuat Fafi mengerutkan kening.
“Lalu, untuk apa kalian pacarana? Ingat, Nay. Menjalin hubungan di usia kita sekarang, sudah bukan jamannya so sweet-sweet.an. Ini saatnya membina hubungan yang serius untuk dibawa ke pernikahan,” katanya menasehati. “Kamu yakin, bocah sepertinya serius denganmu?”
Aku tidak segera menyahut, sejujurnya, aku tidak terlalu tahu. Aku hanya tahu kalau D mencintaiku, selebihnya, aku tidak pernah tahu. Untuk hal-hal rumit seperti mau dibawa kemana hubungan kami, itu sesuatu yang tidak pernah kami pikirkan atau mungkin tidak ingin dipikirkan. Selama bersamanya, aku bahagia. Itu saja. Terdengar klise, tetapi itu faktanya.
“Lantas, selain aku, apa ada yang tahu tentang hubungan kalian?” Fafi mengajukan pertanyaan lain.
Aku mengangguk membuat Fafi membulatkan mata, kaget luar biasa. “Siapa?” tanyanya kepo.
“Elvira, adikku,” jawabku membuat Fari meringis.
“Itu sama aja bohong. Itu artinya, kalian backstreet kan? Kamu yakin dia mencintaimu? Kesannya, dari semua ceritamu, kamu yang sangat mencintainya,” terang Fafi membuat terdiam, sedang berusaha mencerna pendapatnya.
“Kami saling mencintaiku, kok,” bantahku membuat Fafi menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Jika memang dia mencintaimu, kenapa hubungan kalian harus dirahasiakan? Kamu kira, kalian adalah agen mata-mata yang pacarana harus disembunyikan agar tidak ketahuan?” ocehnya setengah menyindir.
“Bukan begitu, hanya saja, tidak semua orang bisa menerima hubungan kami,” kataku mencoba beralasan.
“Dan sebagian yang lain, mungkin bisa kan? Kenapa harus mengacu pada yang tidak setuju? Apa kalian sama-sama tidak yakin kalau hubungan kalian layak dipertahankan?” Fafi memang sangat cerdas, tidak heran jika setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti senjata pamungkas yang membuatku susah untuk melawan ataupun bergerak. Bahkan, bernapas saja sepertinya sangat menyesakkan.
Sejujurnya, perbedaan usia kami sudah tidak menjadi masalah, jika memang untuk kami berdua. Namun, untuk orang lain, keluarga kami misalkan, hal ini akan menjadi penghalang besar yang membuat kami tidak akan bisa bersama. Walaupun kami saling mencintai, hubungan tanpa restu orang tua seperti senjata terkuat yang bisa kami gunakan untuk melawan dunia. Sayangnya, kami belum mendapatkan hal itu. Pecundang memang, tetapi aku tidak malu mengakui kalau saat ini, aku dan D sama-sama takut untuk membuka rahasia kami ini. Kami takut kalau kebersamaan kami akan berakhir cepat saat tabir ini tersingkap.
Semua akan terasa berbeda seandainya, D yang lebih tua dibandingkan aku. Namun, aku tidak bisa mengeluhkan hal itu sekarang. Setiap orang memiliki garis hidup masing-masing. Jika aku dan D memiliki tahun kelahiran yang berbeda, mungkin, kami berdua tidak akan pernah bertemu ataupun bersama. Semua kenangan indah kami tidak akan pernah ada. Aku tidak mau itu terjadi.
“Kamu sangat berisiko dengan memacari anak kecil itu, kamu tahu kan? Di usia kita sekarang, yang orang tua kita tanyakan adalah pernikahan, pekerjaan dan keuangan. Selama tiga hal itu belum kamu dapatkan, mereka menganggap, kita tidak akan pernah bahagia,” ucap Fafi lagi membuyarkan semua lamunanku. “Aku mengerti kamu sedang jatuh cinta, tetapi apa kamu yakin, dia seseorang yang layak kamu tunggu dan perjuangkan? Usia kita akan terus bertambah, Nay. Kamu harus melihat orang-orang di sekitarmu, bukan sebatas perasaan cintamu saja.”
Aku menghela napas panjang. Sejujurnya, aku sudah berupaya untuk menghindari topik semacam ini. Lagipula aku sudah pernah meninggalkan D dengan alasan tersebut. Namun, pada akhirnya, kami bertemu dan bersama lagi. Aku sangat lemah saat bersamanya. Logikaku seperti tidak mau berjalan. Otakku membeku dan hatiku mengaturku melakukan apa yang seharusnya tidak boleh aku lakukan.
“Aku tidak memaksamu bertindak sekarang, bagaimanapun itu hidupmu. Namun, sebagai sahabatmu, aku hanya tidak mau kamu terluka.” Fafi menambahkan.
Aku meletakkan sendok makanku, mendadak perutku kenyang.
“Aku membuatmu kehilangan selera makan?” Fafi sepertinya terlalu peka sebagai seorang wanita.
Aku menggeleng pelan, mencoba berbohong meskipun belum tentu berhasil.
“Aku harus pergi, ada sesuatu yang harus aku lakukan. Sampai jumpa.” Aku pergi membayar, sekaligus dengan pesanan Fafi, sesekali ingin mentraktirnya, setelahnya aku pergi menuju parkiran, ingin pulang.
Kepalaku pusing. Kepercayaan diri yang aku bangun dengan susah payah mendadak hancur dalam beberapa menit. Aku tahu kalau Fafi tidak berniat buruk, tetapi menerima kenyataan selalu tidak pernah mudah. Lagipula, apa yang dikatakannya, lebih mudah untuk diucapkan dibandingkan dengan dilakukan. Aku tidak tahu apa yang salah dari mencintai seseorang yang lebih muda, apakah memang kami tidak boleh bersama, waktu yang salah atau cinta ini yang salah? Entahlah. Hidup menjadi manusia terlalu rumit dan sulit untuk dilakukan. Mungkin, jika kehidupan selanjutnya memang ada. Aku akan memilih untuk menjadi batu saja.
“Kenapa pulang-pulang wajahmu ditekuk?” Elvira menatapku dengan penasaran. Sungguh disambut dengan wajah kepo miliknya semakin membuatku mual. Perutku sakit. Sepertinya maagku kambuh.
Aku tidak menyahut, malas menanggapi Elvira. Aku masuk ke kamar dan merebahkan diri di sana dengan mata terpejam. Aku hanya ingin tidur. Fisik dan psikisku lelah. Padahal, aku bahkan belum memulai perang. Jika dipikir-pikir, aku ini memang sangat lemah. ‘
Aku membuka mata saat sebuah pesan datang. Dari D. Aku membukanya dan tersenyum. Dia mengatakan bahwa dia merindukanku. Seharian, di kelas, dia mendadak khawatir dan memikirkanku.
“Apa terjadi sesuatu?” tanya D di pesan yang ditulisnya.
Aku hanya mengatakan padanya kalau aku baik-baik saja, hanya sedikit stress karena baru selesai ujian. D memberikan semangat dan menyuruhku untuk istirahat. Gemas, aku menelponnya.
“Ada apa?” tanyanya begitu telpon tersambung.
“Tidak apa, hanya kangen,” jawabku.
“I love you.” Dia memberikan pernyataan cinta yang terdengar sangat melegakan.
Aku bahkan nyaris menangis.
“I love you too.” Aku mengatakannya dengan suara nyaris serak membuat D sedikit curiga.
“Kamu nangis? Ada apa? Ada masalah? Cerita, dong.” D mulai bawel. Aku harus menghentikannya. Bagaimanapun, dia tidak boleh mengkhawatirkanku. Dia masih akan ada jadwal bimbingan dan lomba yang harus dia ikuti Minggu depan. Aku tidak mau merusak konsentrasinya.
“Aku hanya sakit tenggorokan,” kilahku berbohong.
“Yaudah, istirahat ya. Jangan lupa makan dan minum obat,” pesannya.
Aku hanya mengiyakan perintahnya lantas telpon dimatikan. Setelahnya aku menangis. Padahal, aku tidak tahu alasan mengapa aku menangis. Mungkin, aku hanya ingin mencoba menunda kenyataan yang sudah pasti terjadi.
Aku tidak akan menyerah. Aku terus mengatakannya berulang kali, memaksakan tekad dan hatiku untuk kuat. Sayangnya, hidup tidak pernah mudah. Ini sulit, tetapi bukan tidak mungkin. Jadi, aku sudah memutuskan untuk melangkah maju sampai hari di mana, kami tidak bisa lagi melangkah maju bersama. Aku mencintaimu, D. sangat. Tolong, jangan menghilang dan mengkhianatiku. Selama bersamamu, aku tidak akan takut untuk melangkah maju. Akan aku buktikan pada semua orang kalau aku tidak pernah salah mencintaimu.