Hari ini, aku memiliki janji temu dengan D. Kami mau selalu berusaha melakukan kencan minimal dua kali dalam seminggu. Alay memang, tapi kalau tujuannya agar kami tetap langgeng, aku rasa itu diperbolehkan. Kalaupun ada yang tidak mendukung, aku tidak peduli. Lagian kami berdua yang pacaran dan tidak butuh izin dari siapapun untuk itu. Kami tidak butuh pendapat orang lain, karena kami sudah jadi orang, belum jadi Jin atau Setan.
Aku sudah bersiap dengan pakaian yang rapi dan juga sebuah bekal di tangan. Kami berencana untuk piknik bersama untuk kencan hari ini. Kencan kali ini cukup spesial karena kami juga akan merayakan keberhasilannya memenangkan lomba Matematika yang dia ikuti dan menangkan tempo hari. Karena itu, aku memasakkan makanan kesukaannya seperti telur dadar gulung dengan saos kecap, nasi goreng sosis dan juga tidak lupa jus melon kesukaannya. Aku membuatnya dengan sepenuh hati, berharap ia akan menyukainya.
Tiba-tiba sebuah pesan mendarat di handphoneku. Rupanya dari dirinya.
Ai, aku ada latihan mendadak. Maaf, kencannya ditunda dulu ya. Hari ini batal. Aku kepalkan tinjuku kuat-kuat. Aku kesal—kecewa lebih tepatnya. Aku banting keras makanan yang berada di tanganku.
Brakkk.
Kotak bekalku pecah, terlempar dengan sempurna sehingga menghamburkan semua isi di dalamnya tanpa terkecuali. Aku tatap kotak bekal malang itu dengan napas terengah, marah dan mendadak ulu hatiku terasa sakit. Rasanya ingin mengumpat tetapi batal terlaksana, tertelan kembali seolah hatiku menyadari bahwa emosi tidak akan membuat semuanya menjadi lebih baik dari ini.
Aku menghembuskan napas perlahanlahan, mencoba menenangkan detak jantungku yang tidak beraturan.
Setelah merasa cukup tenang, aku kembali memunguti kotak bekalku. Juga, membereskan isinya yang berhamburan di lantai. Bisa gawat kalau ibuku tahu, pasti dimarahi. Walau usiaku sudah cukup dewasa, orang tua, khususnya Ibu, tidak boleh dilawan. Nanti durhaka, kualatnya parah. Bahkan, bisa jadi tragis. Aku tidak mau itu terjadi.
“Kak, kok tumpah? Jatuh?”
Pertanyaan itu meluncur dari mulut Elvira, adik perempuanku satu-satunya.
“Iya, kesandung tadi,” jawabku berbohong.
“Ceroboh, deh,” ledek Elvira.
“Diem deh, Bon. Bantuin napa,” keluhku. Elvira yang biasa aku panggil Bon itu hanya menjulurkan lidahnya.
“Ogah, ah,” sahutnya. “Tapi kok Kakak sudah rapi? Mau kemana?”
“Nggak kemana-mana,” jawabku.
“Kok pakai baju rapi dan bagus?” tanyanya heran.
“Iya, bentar lagi mau keluar,” jawabku.
“Kencan?’ tebak Elvira.
Aku menggeleng.
“Nggak, mau beli-beli,” bantahku.
“Boleh ikut?” tanya Elvira.
“Boleh aja, tapi jangan minta dibeli-belikan,” jawabku mengajukan syarat.
“Pelit amat, deh. Ya, beli-beliin, dong. s**u kotak gitu,” tawarnya.
“s**u kotak aja kan? Kakak lagi bokek, nih,” kataku.
“Siap,” sahut Elvira senang. “Elvira ganti baju dulu, Kak.”
“Oke.”
Adik perempuanku itu pun segera berlari masuk ke kamarnya. Elvira sudah lima belas tahun, kelas X di salah satu SMA Negeri di kotaku. Orangnya rada tomboy, wajahnya garang, makanya para cowok di sekolahnya takut sama dia. Dia bilang tidak mau pacaran tapi masih ingin menikah suatu saat nanti. Suatu prinsip yang haqiqi. Elvira dan aku memang berbeda dalam segala hal walau tidak dapat dipungkiri, Elvira terkesan lebih dewasa pemikirannya dibandingkan aku. Terkadang, aku merasa dia yang lebih cocok jadi kakak dan aku adiknya.
“Siap, nih.” Elvira sudah selesai ganti baju.
“Ayo!” ajaknya.
“Nih!” Aku mengulurkan tangan, memberikan kunci sepeda motorku.
Elvira merenggut sebal.
“Aku yang nyetir, Kak?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Iyalah, enak aja kamu mau minta dibeliin s**u kotak trus masih jadiin aku tukang ojek,” omelku.
Elvira manyun.
“Kejam!”
“Bodo,” sahutku lantas ngakak.
“Mau nggak, nih? Kalau nggak mau, Kakak berangkat sendiri,” godaku.
“Mau, sini ah!”
Elvira mengambil kunci sepeda motor di tanganku dengan enggan. Adikku itu lantas berjalan keluar dengan bibir maju. Lucu.
Kami kemudian pergi ke swalayan, membeli camilan dan tidak lupa s**u kotak pesanan Elvira. Iseng, dia mengambil fotoku diam-diam lantas ngakak karena pose yang tidak diharapkan. Tawa kami menngudara di Lorong swalayan. Cekikikan sampai membuat petugas swalayan menatap kami.
“Udah, ah, pulang, yuk!” ajakku. Kami sudah cukup lama di swalayan, sekadar foto-foto dengan beberapa makanan dan minuman yang kami beli.
Elvira mengangguk mengiyakan.
Kami pun menuju kasir. Harus bayar sebelum pulang biar tidak masuk penjara. Lagipula, kami ke swalayan bukan sekadar numpang foto, itu bonus saja. Setelah membayar, Elvira mengeluh karena aku menyuruhnya membawa belanjaan kami.
“Biar nggak cuma makan,” ujarku sengaja menggodanya membuat adikku yang tomboy itu mendesah kasar.
“Kak, ini banyak banget, buat kita doang?” tanyanya.
Aku menggeleng, “Yang plastik satunya buat seseorang,” jawabku membuat alis Elvira tertaut sempurna. Sedetik kemudian, dia langsung bisa menerka siapa yang aku maksud. Terlihat dari raut wajahnya yang sedikir BT dan sebal. “Pasti buat pacar brondongmu kan?” tebaknya dengan akurat.
Aku mengangguk mengiyakan. Elvira sudah mengetahui latar belakang pacarku, meski tidak pernah bertemu langsung. Jadi, tidak ada gunanya menyembunyikan kebenaran tersebut. Lagipula, dia sudah berjanji untuk tidak membocorkan tentang ini pada siapapun. Jadi, tidak masalah.
“Mau diantar ke mana?” tanya Elvira.
“Sekolahnya,” jawabku santai.
“What? Are you insane?” Elvira melebarkan pupil matanya, protes. Aku menggeleng cepat, “No. I just miss him so much.”
Elvira mendadak mual. Adikku itu hanya geleng-geleng kepala, tetapi tidak banyak bertanya lagi.
Kali ini, aku yang menyetir. Setelah sampai di pintu gerbang sekolahnya—yang juga merupakan bekas sekolahku dulu—aku menelponnya. Dia mengangkat di deringan kedua. Saat aku tanya dia sedang apa, dia mengatakan sedang istirahat. Timing yang sempurna. Jadi, aku mengatakan padanya kalau aku sudah ada di depan sekolahnya. Dia cukup terkejut, tetapi memenuhi keinginanku untuk menemuiku sebentar.
Sebelum D datang, aku menyuruh Elvira untuk pergi sebentar, menjauh dan bersembunyi di antara penjual yang biasa nongkrong di dekat sekolah. Elvira menurut tanpa perlu diusir paksa. Dia bilang tidak ingin bertemu dengan pacarku. Dia memang mau merahasiakan hubunganku dengan D, tetapi soal restu, sepertinya dia sama seperti yang lain—tidak setuju.
D muncul setelah aku cukup lama menunggu.
“Sorry, tadi temenku ada yang maksa ikut,” katanya.
Aku hanya mengangguk lalu memberikan seplastik camilan dan minuman padanya. Dia tercengang sebentar lalu mengucapkan terima kasih.
“Banyak banget, Ai? Kamu habis gajian?”
Aku memang mahasiswi, tetapi merangkap sebagai guru les di salah satu SMP Negeri.
“Nggak, lagi pengen beliin kamu aja. Kamu bilang latihan kan, pasti lapar dan haus, jadi aku kepikiran buat ke sini,” kataku menjelaskan.
Dia tersenyum manis, “I love you, cantik. Maaf ya nggak bisa kencan hari ini,” katanya masih merasa sangat bersalah.
Aku menggeleng pelan, “Nggak apa-apa. Santai. Kan latihan buat penilaian juga kan?”
Dia mengangguk, “Ai the best, pengertian banget,” pujinya.
Aku hanya mengulas senyuman tipis. Agak merasa berdosa, karena tadi aku sangat marah sampai melempar kotak makan.
“Ya sudah, aku pulang ya,” pamitku.
Dia mengangguk kecil. “Nanti malam aku telpon,” janjinya.
Aku mengangguk sembari tersenyum. Mataku terhenti saat melihat sekelompok cewek muncul. Aku mengenali sebagian dari mereka. Itu teman-teman D. Jarak kami cukup jauh, tetapi mereka pasti melihatku. Jadi, aku mengulurkan tangan, meminta digengam. D menurut, menggenggam tanganku dengan erat. Bahkan, mengecupnya lembut.
“Ish, jangan ah. Nanti ada yang lihat,” kataku pura-pura protes. Padahal, aku ingin sekali memeluknya, ingin pamer. Namun, melihat ekpresi Zie yang sangat marah dan berlari menghampiri kami, aku rasa itu sudah cukup.
“Aku pulang,” kataku lalu melambaikan tangan. D membalas lambaian tanganku. Tepat setelahnya. Zie menepuk pundak D, sedangkan aku sudah berlalu, menjemput Elvira yang sedang berdiri di dekat tukang Siomay.
Saat berhenti untuk mengangkut Elvira, aku menoleh dan melihat D dan Zie berdebat. Entah kenapa, aku sangat senang. Itu balasan yang cukup sempurna. Meskipun seharusnya aku tidak pergi, mendengar apa yang mereka debatkan. Namun, D bukan orang yang suka berdebat. Tanpa basa-basi, pacarku itu pergi meninggalkan Zie masih terlihat sangat marah.
Zie bukan siapa-siapa D. Akulah pacar D. Jadi, seharusnya, dia bertindak sesuai dengan tempatnya. Benar bukan?