Aku sudah duduk di bangkuku, menunggu teman-teman yang lain datang. Hari ini aku ada kuliah pagi dan dosennya termasuk dalam kategori dosen killer yang ditakuti. Aku bahkan sampai menunda menonton drama Korea yang sudah kudownload memakai kuota dini hariku agar tidak terlambat datang ke kampus. Tapi sepertinya aku datang terlalu pagi hingga meski sudah cukup lama menunggu belum ada teman yang datang.
Aku pun mencoba membuka buku kuliahku, mencoba belajar materi hari ini. k****a sebentar, buka lagi halaman per halaman dan demi kerang ajaib, aku tidak mengerti sama sekali. Buku yang sedang k****a dan pelajari memakai bahasa Inggris, bukan karena bahasanya yang membuatku tidak mengerti tetapi otakku susah sekali untuk diajak kompromi memahami sebuah teks yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Sepertinya otakku ini lebih lancar jika kubuat memahami alur cerita drama korea, anime atau animasi saja. Untuk hal lainnya, aku butuh sebuah kerja keras yang sangat besar.
Bosan, aku mulai mencari kegiatan lain. Kuambil handphone milikku dan membuka galery. Aku tersenyum dalam seperkian detik saat kulihat wajahnya, lelaki yang sudah kupacari selama setahun itu menyapaku dengan senyum lembutnya. Hanya sebuah foto tetapi mampu menyenangkan hatiku dan mengusir rasa bosan yang hinggap dalam sekejap. Sungguh kini aku percaya bahwa cinta itu memang berwarna merah muda, menyenangkan dan penuh pesona.
Aku bahagia, karena pada akhirnya masa merah mudaku terjadi. Walaupun ini bisa dibilang terlambat sekali. Jika kuingat lagi, saat aku masih muda—sekarang masih muda sebenarnya, saat SMA tepatnya, aku terlalu fokus pada pendidikanku. Memang itu bukan alasan yang membenarkan aku untuk tidak jatuh cinta, tapi mungkin itulah yang membuatku enggan memikirkan soal percintaan. Akibatnya, sampai aku lulus SMA, aku belum pernah merasakan indahnya kisah cinta saat aku masih mengenakan seragam putih abu-abu.
Dulu aku termasuk dalam kategori cewek yang tidak pernah memperhatikan penampilan, sekarang pun masih tidak bisa dandan sebetulnya. Hanya saja, kini aku mulai tahu cara memakai bedak, menserasikan baju dan dasar-dasar berpenampilan menariklah pokoknya. Aku juga mulai peka, jika ada lawan jenis yang tertarik walau aku selalu saja menjauh sebelum didekati. Sudah punya pasangan, begitulah alasanku dulu walau sebenarnya masih jomblo.
Masa SMA pun berlalu, demikian pula masa kuliah. Sekarang, aku sudah mendapat gelar S1 jurusan sastra bahasa Inggris dari sebuah universitas negeri cukup terkenal di kotaku. Namun, lelaki itu—atau aku saja yang enggan bekerja dan malas disebut pengangguran, akhirnya mendaftar lagi dan kini tengah berjuang untuk mendapat gelar S2. Soal cita-cita, aku tidak terlalu berambisi. Bukan karena aku berjenis kelamin perempuan yang hanya ingin menikah, punya anak dan diam di rumah, aku hanya belum tahu mau kuapakan hidupku ini. Sepertinya, aku termasuk dalam manusia yang hanya ingin hidup mengikuti arus tanpa harus memikirkan akan bermuara kemanakah aku ini.
Saat aku mengenal lelaki itu, anak SMA itu, aku sudah diujung perjuangan untuk mendapatkan gelar S1. Saat mengenalnya, aku berbohong soal usia dan statusku. Kubilang aku seorang pelajar—SMA, memalukan memang karena pada akhirnya aku yang sebenarnya mahasiswa tingkat akhir harus jatuh cinta pada anak SMA kelas X yang tahun lalu masih anak bawang, SMP! Namun, apa boleh buat, aku sudah terlanjur mencintainya.
Awalnya aku hanya berniat untuk menjalani hubungan tanpa status dengannya. Biar kalau ketahuan nggak sakit-sakit amat, begitulah rencanaku. Akan tetapi semua jadi makin runyam saat dia malah mengajakku jadian. Aku yang sudah jadi bodoh, bukan karena banyak makan micin—tapi karena cinta, akhirnya mengiyakan ajakannya. Kami pacaran dan aku harus selalu update soal SMA demi dia. Saat dia UTS atau UAS, aku harus menggunakan otakku yang lama sekali tidak menyentuh mata pelajaran lucknut sekelas Matematika, Fisika, Kimia dan jajarannya untuk belajar bersamanya. Dia berbaik hati mengajariku walau sebenarnya itu tidak terlalu berguna karena aku tidak mempelajari soal itu lagi.
Semua jadi terbongkar, setelah adik kelasku—karena aku sebenarnya lulusan dari SMA yang sama seperti lelaki itu, mengenalku dan tanpa sengaja melihat fotoku di handphone lelaki itu. Aku pun terpaksa jujur padanya dan menghilang darinya beberapa waktu. Namun pada akhirnya, dia kembali menemukanku dan mengajakku ketemuan. Beberapa kali kutolak, bahkan kuputuskan dia duluan sebelum dia memutuskan aku. Aku juga sempat mengganti nomerku walau pada akhirnya entah dari siapa—dia tahu nomer baruku. Terpaksa, demi kebahagian dunia-akhiratku, aku menemuinya. Aku akan berlutut jika dia tidak memaafkan aku atau kalau perlu, aku akan membiarkan saja dia memukulku jika itu bisa membuatnya memaafkan aku. Begitulah pikiranku saat itu.
Sore itu, di taman yang biasa kami datangi untuk berkencan, aku menemuinya. Jantungku berdebar cepat, tangan dan kakiku sudah beku dan nyaris menangis saat kulihat dia dari kejauhan. Dia menatapku dingin saat aku mendekat dan duduk dengan perasaan yang sudah ketakutan setengah mati. Aku sedikit menjaga jarak darinya, aku berencana untuk kabur jika dia marah. Walau sudah kutekadkan hatiku untuk menerima semua perlakuannya asal dia memaafkan aku, mentalku seketika menciut saat melihat wajahnya langsung. Aku terlalu takut untuk ia hujat, walau dia hanya anak kencur—masih SMA.
“Duduk, jangan kabur!” suruhnya saat melihatku hendak berdiri padahal baru dua detik duduk.
Aku menelan ludah lalu duduk lagi, menundukkan kepalaku dalam-dalam.
“Jadi, kamu sebenarnya bukan anak SMA?” tanyanya.
Aku mematung, kepalaku mendadak pusing, bibirku kelu dan tenggorokanku sakit.
“Jawab, dong!” pintanya, nada suaranya biasa dan itu membuatku sedikit merasa lega.
“Bu—bukan,” jawabku terbata.
“Mahasiswa?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan.
“Sudah menikah?” tanyanya.
“Belum,” jawabku cepat.
“Saat pacaran denganku sudah punya pacar lain?’ tanyanya.
Aku mendongakkan kepalaku, terkejut. Kutatap dia yang sudah menatapku dengan raut mata yang menunjukkan rasa penasaran yang tinggi.
“Hanya kamu pacarku, satu-satunya dan nggak ada lagi. Hanya kamu yang kucintai,” jawabku tegas.
“Memang aku sudah banyak berbohong, soal sekolah—usia, dan lain-lain, tapi soal perasaan aku nggak pernah berdusta,” lanjutku penuh keseriusan.
Kami bertatapan, lurus—dan ia tertawa membuatku mengerutkan dahiku, heran. Ingin kutanyakan alasan mengapa ia tertawa tetapi aku enggan melakukannya. Aku cemas jika kulakukan itu, dia akan mulai memakiku. Aku tidak sekuat itu untuk mendengar u*****n, cacian atau hujatan dari seorang lelaki yang kucinta, tidak peduli dia masih bau kencur, rasa bawang atau masih balita. Aku tidak mau.
Cukup lama kutunggu dan tawanya mereda. Ia menghela napas lalu menggeser duduknya, mendekat padaku. Aku sempat tersentak kaget saat dia menggenggam erat tanganku.
“Mau balikan?” tanyanya.
Aku menganga, tidak percaya sama sekali.
“Balikan gimana?” tanyaku, mendadak bodoh.
Dia tersenyum tipis.
“Kamu nggak tahu atau pura-pura nggak tahu?” tanyanya balik.
“Nggak tahu,” jawabku.
Dia menggenggam erat tanganku lebih kuat, tatapannya menguat dan bisa kurasakan dia tengah serius saat mengatakan itu.
“Aku mencintaimu,” ungkapnya.
“Aku nggak seumuran denganmu,” ucapku mengingatkan perbedaan—kami yang sangat jauh.
Dia menganggukkan kepalanya.
“Aku tahu,” katanya dengan sadar.
“Nanti diejek,” kataku lagi.
“Dirahasiakan, jadi aman!” sahutnya.
“Kalau ketahuan?” tanyaku, masih mencari alasan.
“Jangan sampai ketahuan,” jawabnya santai.
“Kalau tetap ketahuan? Putus?” tanyaku.
Dia menjitak ringan kepalaku.
“Aw!” rintihku.
“Kenapa sebentar-sebentar minta putus, kamu host katakan putus?” godanya.
“Nggak sih, hanya memikirkan kemungkinan terburuk,” kataku beralasan.
“Kalau ketahuan ya jangan ketemuan dulu tapi saling komunikasi. Aku nggak mau putus, dan nggak boleh putus!” katanya dengan senyuman manis, santai sekali dia ngomongnya berbanding terbalik sekali dengan pradugaku sebelum ketemu dia tadi.
“Usiaku dan kamu cukup jauh lho,” ungkapku.
“Emang perbedaannya sampai 15 tahun?” tanyanya dengan wajah polos.
“Nggak sih, 10 tahun aja nggak nyampe,” jawabku.
“Yasudah,” katanya.
Aku menautkan alisku.
“Maksudnya?” tanyaku masih belum mengerti maksud yasudah yang ia katakan barusan.
“Yasudah kalau nggak sampai 15 tahun, nggak apa-apa!” katanya.
“Emang nggak malu?” tanyaku.
Dia menggelengkan kepalanya.
“Kenapa kok malu?” tanyanya membalikkan pertanyaan.
“Ya, beda usia,” jawabku.
“Cuma beda usia, bukan agama nggak apa-apa. Kalau agama, urusannya sudah sama Tuhan, aku nggak sanggup ngelawan!” jelasnya.
“Lagian, aku maunya pacaran secara rahasia. Bukan karena aku pengecut atau malu pacaran sama kamu, cuma nggak mau kamu dibully teman-temanku yang terlanjur tahu. Kalau nggak keberatan, tunggu aku lulus dulu baru terang-terangan. Gimana?” lanjutnya yang langsung membuatku diam seribu bahasa, nggak nyangka dia sedewasa itu.
“Kalau kamu lulus, teman-temanmu juga kan tahu, apa bedanya?” tanyaku.
Dia tersenyum lalu mencubit gemas pipiku.
“Pas aku lulus, statusku mahasiswa, itu artinya hidupku sudah terbebas dari yang namanya seragam. Aku tidak perlu bertemu mereka setiap hari, jadi nggak akan marah atau capek ngejelasin kalau mereka ntar bikin gosip atau berkata yang aneh-aneh. Aku ingin masa SMA-ku biasa aja, nggak mau disuruh milih antara pacar atau teman. Kamu bisa nunggu?” jawabnya menjelaskan panjang lebar.
Aku mengangguk mengiyakan. Dia tersenyum lebar.
“Mau balikan?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk lagi dan ia sudah merangkulku di detik berikutnya tanpa sempat kukatakan jawaban pastiku atas ajakannya.
“Aku mencintaimu,” katanya tulus.
“Aku juga,” sahutku.
Aku tersenyum, cukup lebar sembari melihat fotonya. Ingatan itu kembali terpatri seolah baru kemarin terjadi. Aku menghela napas panjang, kututup galeryku cepat dan menyambut kedatangan beberapa temanku yang mulai memasuki kelas.
“Hai, Nay!” sapa Fafie, sahabatku.
“Hai juga,” balasku.
“Udah dari tadi?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Rajin amat,” katanya setengah menggodaku.
“Biar cepat kelar,” sahutku sekenanya.
“Haha, tumben amat seorang Naya nggak mager, bisa-bisa turun hujan uang ini,” godanya.
“Oh iya, udah denger belum kalau Yuni bakal tunangan minggu depan,” katanya memberikan informasi.
“Wah, keren!” sorakku bahagia.
“Tunangannya 3 tahun lebih muda, gila nggak tuh?” Fafie mulai berceloteh, aku rasa sahabatku itu akan mulai memulai kebawelannya.
“Emang kenapa?” tanyaku.
“Ya aneh ajalah, masak lebih tua yang cewek. Punya hubungan sama yang lebih muda itu ribet, kebanyakan masih kekanak-kanakan, nggak dewasa. Jadinya si wanita yang harus ngemong, aku sih ogah. Ya nggak?” katanya minta pendapat.
Aku hanya senyum kaku, mendadak malas menanggapi. Kalau Yuni yang bertunangan dengan calon tunangannya yang tiga tahun lebih muda saja dicemo’oh, apa kabar tentang aku dan pacarku? Wah, berat.
Fafie terus berceloteh dan aku bersyukur saat dosenku datang, mata kuliah pagi pun dimulai. Aku menghela napas lega karena setidaknya selama dua jam ke depan si Fafie bakal tutup mulut. Lebih bagus lagi kalau dia lupa soal topik yang sedang kami bahas.
Jadi, begitulah bagaimana aku memulai cerita kami—aku dan pacar mudaku itu. Tidak ada kebohongan, walau pada awalnya kujalani semuanya dengan kebohongan. Dan hal yang paling membuatku sangat berterimakasih pada ibu dan bapak dari lelaki itu adalah, anak mereka bersedia menjadikan aku—wanita biasa ini sebagai cinta dan pacar pertamanya. Sungguh itu adalah sebuah kehormatan bagi seorang wanita yang bahkan belum memikirkan masa depan sama sekali sepertiku.