4. Tim Sukses

1292 Words
Pagi ini aku tidak ada kuliah, pagi-pagi enaknya ngapain, aku juga tidak tahu. Yang jelas tidak bisa bareng dia—pacarku. Bukan hari minggu, jadi dia sudah pasti sekolah. Kalaupun dia tidak sekolah, tidak bisa bebas. Banyak yang dipikirkan, ribetnya pacaran back street ya gini, hanya saja kalau udah berhasil ketemu rasanya sungguh luar biasa. Menonton TV, sudah jelas masuk list rencanaku tapi nonton drama Korea juga bukan ide yang buruk. Aku beranjak dari kasurku, pergi ke ruang makan. Mau isi perut dulu, begitu pikirku. “Kak, nanti keluar nggak?” tanya Elvira, adikku yang sudah ada di ruang makan. Sarapan sebelum berangkat. “Nggak,” sahutku sambil duduk di kursi. “Nggak ada kuliah?” tanya Elvira lagi. “Nggak ada,” jawabku sambil mulai mengambil piring. “Kenapa?” tanyaku. Elvira tidak menjawab, hanya menuangkan sayur bayam ke nasinya. “Nanya aja, kalau nggak mau keluar, sepeda motornya aku bawa ke sekolah,” jawabnya sembari mulai makan lagi. “Oh, okey.” kataku sambil mulai memilih lauk yang akan aku jadikan teman nasi putihku. Aku mulai makan, tapi sebuah pesan mendarat di handphoneku. Kubuka, rupanya dari dia—pacarku. Pagi, cantik. Aku sekolah dulu ya. Have a nice day. Begitulah isi pesannya dan dilanjut dengan 11 foto dirinya yang mengenakan seragam sekolahnya. Aku senyum, kulihat-lihat foto-foto yang dia kirimkan. Kebanyakan berpose manyun, sok jelek dan bahkan ada sebagian yang mirip ninja. Dia lucu, beneran. Aku dan dia memang sudah memiliki kesepakatan bahwa akan saling mengirimi foto setiap hari. Sesuai kesepakatan jumlahnya 11 foto, tetapi bisa lebih kalau lagi pengen atau kangen. Biasanya kuminta dia mengirimiku foto saat dirinya pake seragam sekolah. “Kok suka fotoku pas pake seragam?” tanyanya suatu hari. Aku hanya senyum saja, enggan menjawab. Malu sekali rasanya kalau kuutarakan alasanku. “Kenapa? Ayo jawab, dong!” bujuknya. “Ndak ah, malu!” tolakku. Dia manyun, protes dan pura-pura ngambek. “Ya sudah, aku nggak mau foto lagi,” ancamnya. “Kok gitu?’ tanyaku. “Alasan buat dikirimin foto nggak jelas,” jawabnya. Aku tertawa membuatnya semakin manyun. Raut wajahnya kalau lagi manyun jadi lucu membuatku suka sekali membuatnya ngambek. “Beneran pengen tahu?” godaku. Dia mengangguk. “Apa?” tanyanya tidak sabaran. “Bangga aja punya pacar masih SMA,” kataku. “Kenapa? Karena dapat cowok muda?” tanyanya menerka-nerka. Aku mengggeleng. “Bukan,” sanggahku. “Terus?” tanyanya lagi. “Soalnya pas SMA nggak punya pacar,” kataku lantas ketawa, dia pun ikutan tertawa. “Dasar,” cibirnya. Alasanku memang konyol tapi merasakan cinta putih abu-abu di usia ini serasa mendapatkan puber kedua. Aku sungguh bahagia walaupun aku sudah tahu kisah cinta ini akan banyak sekali tantangannya. Sebuah pesan mendarat lagi di handphoneku, masih sama, darinya. Ai, jangan lupa kirim foto. Jangan lupa makan juga biar nggak kurus. Aku senyum membaca pesannya. Dia memang suka banget mengingatkan aku soal makan baik sarapan, makan siang, makan sore atau makan malam. Dia suka marah kalau aku mencoba diet atau lupa makan. Maklum, aku tipe wanita yang sensitif kalau dibilang gendut. Siapapun yang bilang, mau bercanda atau serius, saat dibilang gendut, aku suka mogok makan dan kebanyakan berakhir kena tipes atau maag. “Jangan sakit,” pesannya suatu hari. “Kenapa?” tanyaku. “Nanti nggak ada yang nemenin aku belajar,” jawabnya. “Dih, alasannya cuma itu?” tanyaku sebal. Dia tersenyum lebar. “Ada lagi,” katanya. “Apa?” tanyaku antusias. “Kalau sakit nanti Ai tidur mulu, aku dicuekin,” jawabnya membuatku mendaratkan cubitan gemes di pinggangnya. “Aw, sakit!” rintihnya. “Biarin,” sahutku. “Ciyee ngambek,” godanya. Aku hanya diam, mengerucutkan bibirku sebagai kode bahwa aku sedang marah dan minta digombalin. “Jangan manyun, ntar tambah jelek!” katanya. Dasar nggak peka. “Kalau ngarep kucium nggak bisa,” katanya. Aku menoleh padanya. “Kenapa?’ tanyaku tanpa sadar. Dia tertawa, ngakak, puas banget kayaknya. “Dih ngarep ya,” sindirnya. Aku tambah kesal jadi kupalingkan wajahku ke arah lain. “Nggak bisa nolak,” imbuhnya yang seketika membuatku tersenyum lebar. Dia memang bukan lelaki biasa, dia bisa membuatku tersenyum hanya dengan mengingat kelakuannya saja. “Dih senyum-senyum sendiri, lihat apa sih?” Elvira kepo, adikku itu memajukan tubuhnya, hendak melihat ke layar handphoneku. Aku pun buru-buru menutup handphoneku, kujulurkan lidah ke Elvira dan adikku itu hanya menatapku sinis. “Pelit!” desisnya. “Biarin” sahutku. “Udah setengah tujuh, berangkat sana!” suruhku. Elvira bangun dari duduknya lalu membawa piring kosongnya ke tempat cuci piring. “Ma, Elvira berangkat!” pamitnya setengah berteriak. “Iya, hati-hati!” sahut mama teriak juga, lagi di kamar mandi. Elvira pun mengambil tasnya yang ada di kursi lalu menatapku yang lagi makan. “Salaman nggak nih?” tanyanya. “Salamanlah,” kataku sembari mengulurkan tanganku. “Dapet uang saku?” tanyanya lagi. “Iya, bawel!” jawabku. Elvira senyum, ia pun mengambil tanganku, salaman habis itu minta uang saku. Kukasih dia tiga ribu dan dia minta lagi. Terpaksa, kukasih dia lima ribu dan ia langsung berangkat tanpa ngomel. Selesai makan dan cuci piring, aku masuk kamar, niatnya mau tidur tapi batal. Jaringan lagi bagus, jadi kubuka-buka i********:. Bukan buat ngecek story orang atau ngeliat video-video lucu, hanya ingin tahu jumlah followers naik atau turun dan sekaligus ngecekin DM-an. Udah hampir dua bulan nggak dibuka, bukan nggak ada kuota tapi sempat lupa passwordnya. Kucek followersku, masih aja, hanya dua ratusan. Kulihat notif dan hanya ada tiga-empat permintaan mengikuti. Walau bukan artis, instagramku kugembok. Bukan tanpa alasan, hanya saja aku lelah diteror. Haha, udah kayak artis beneran karena punya haters. Aku beralih pada DM.an dan terkejut saat kulihat permintaan pesanku. Ada sekitar sepuluh permintaan pesan dan tujuh di antaranya adalah dari teman-teman lelaki itu. Terlihat jelas dari pesannya yang memakiku—bahkan meski sudah berbulan-bulan berlalu. Pesannya masih sama, aku harus menjauh dari lelaki itu dan bahkan di antara mereka kebanyakan menagtakan aku seorang penipu. Aku jengkel, kesal dan ingin sekali protes karena dikatakan demikian tapi mengingat ini memang salahku, aku hanya bisa diam. Aku enggan membesar-besarkan masalah dan rasanya tidak ada gunanya meski kujelaskan pada mereka. Mereka hanya adik kelasku—walau aku jauh di atas mereka. Tapi mengingat silsilan generasi kelas unggulan yang tidka pernah putus, aku tidak bisa melakukan apapun jika suatu hari diadakan reuni dan bertemu mereka, bagaimanapun kami bersekolah di sekolah yang sama. Dari semua DM-an pembullyan itu, ada satu yang menarik perhatianku. DM-an dari seorang bernama, Kamelia Rose, dia adik kelas yang mengenalku sedikit karena dulu—aku selalu ke rumahnya minta mangga kalau lagi musim mangga. Dia bilang, selain aku penipu—dia memintaku menjauhi lelaki itu karena lelaki itu sudah dijodohkan dengan teman sekelasnya yang bernama Zie Malisa. Hatiku kalut, ciut dan mendadak down saat kulihat foto yang ia kirimkan. Kulihat lelaki itu—pacarku tengah duduk berdua, berdekatan saling duduk seolah tengah menatap buku yang sama. Jaraknya dekat sekali dan lelaki itu tersenyum, begitu pula perempuan bernama Zie Malisa—entah siapa nama panggilannya, yang kurasakan saat ini hanya satu kata : cemburu. Aku keluar dari Dm.an itu dan segera mensearch akun bernama Zie Malisa. Aku menghela napas lega dan bimbang pada saat yang bersamaan saat kutahu akun perempuan itu tidak digembok. Kuamati foto-foto di postingannya dan kebanyakan foto dirinya dengan teman sekelasnya. Aku tertegun di salah satu postingan, ia memajang foto dirinya—berselfie dan yang mengambil foto selfie itu adalah dia—pacarku. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat, kubuang handphoneku, marah. Aku menangis beberapa detik kemudian. Aku tidak pernah menyangka bahwa melihatnya berfoto dengan perempuan lain akan semenyakitkan ini. Alay memang, kuakui tetapi bukankah cinta memang mengubah seseorang menjadi kebalikan apa yang biasa ia lakukan? Menurutku begitu dan aku tidak peduli kata orang lain. Aku tertidur beberapa menit kemudian, kelelahan mungkin. Saat aku bangun, hari sudah gelap. Aku rasa aku sudah tidur lebih dari setengah hari dan itu bukan hal yang mengejutkan. Mungkin alasan itulah yang membuat lelaki itu menjulukiku si putri tidur, karena aku bisa tidur selama mungkin tanpa aku sadari. Aku mencari handphoneku, sudah kebiasaan waktu bangun yang dicari adalah itu. Ketemu, kucek dan sudah ada banyak pesan wa darinya. Rupanya dia sudah pulang sekolah, tentu saja ini sudah hampir mangrib. Mungkin karena melihatku online, dia menelponku. “Halo?” katanya di seberang sana saat kuangkat telponnya. “Apa?” kataku rada BT, masih marah dan sedih soal tadi. “Ada apa?” tanyanya. “Zie Malisa itu siapa?” tanyaku balik dengan nada jengkel. Dia terdiam, dua detik kemudian kudengar hembusan napasnya yang cukup berat. “Nanti mau ketemu?” ajaknya tiba-tiba. “Ngapain?” tanyaku. “Mencegah putri tidur nangis,” jawabnya. Aku terdiam, kagum karena ia bisa tahu kalau aku pasti sedih tanpa perlu kujelaskan. “Habis mangrib kujemput, sholat dulu sana!” perintahnya. “Okey,” sahutku. Telpon berakhir, aku pun bergegas ke kamar mandi. Mau ngambil wudu’ sekaligus cuci muka buat ketemuan. Aku harap kelopak mataku bengkaknya tidak terlalu parah, malu kalau ketahuan nangis duluan. Bagaimanapun, mau umur berapa, kalau udah cinta, salah paham dikit aja, nangisnya tidak bisa ditahan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD