Chapter 9 - Aku Butuh Bantuanmu

1072 Words
= Bioskop A. Jam 07.00 malam = Kaki bersepatu pantofel itu mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar. Beberapa kali pria itu menatap ke pintu kaca yang terdengar membuka, dan harus merasa kecewa setiap kalinya. Menatap ke arah jam tangannya, Ilyas mend*sah pelan. Sepertinya tiket ini harus dia buang. Kepalanya masih menunduk saat matanya menangkap sepasang sepatu kets yang berhenti di depannya. Pria itu menengadahkan kepalanya dengan gembira. "Ema. Kamu datang?" Raut pria itu yang ceria membuat Ema tertegun sebentar. Wanita itu akhirnya mengangguk. "Saya sudah janji akan datang." Pria itu berdiri. Tubuhnya yang tinggi menjulang di depan Ema yang hanya sebatas dagunya. "Kamu tidak bawa mobil, kan?" Kening wanita itu sedikit berkerut, tapi ia lagi-lagi mengangguk. "Ya. Kebetulan mobil saya di bengkel. Saya pakai taksi ke sini." Salah satu tangan Ilyas terangkat dan menunjukkan dua lembar tiket di tangannya. "Aku sudah membeli tiket. Ayo kita masuk." Ilyas baru akan berbalik saat merasakan tarikan pelan di jas-nya. Tampang Ema terlihat bingung. "Nonton? Saya kira bapak minta saya ke sini untuk bicara?" Tersenyum simpatik, pria itu menepuk pelan bahu wanita itu. "Kita memang akan bicara. Setelah nonton." Ekspresi wanita itu berubah tegang. Tubuhnya kaku dan ia sedikit mundur. "Maaf. Tapi saya tidak bisa. Saya tidak mau-" Tubuh Ema terhuyung ke depan dan langsung jatuh ke pelukan Ilyas. Suasana di lobi bioskop tiba-tiba saja berubah ramai. Sepertinya film yang akan ditayangkan malam ini cukup populer dan banyak yang ingin menonton. Memeluk erat pinggang Ema, Ilyas berusaha menarik mereka dari kerumunan lautan manusia. "Ayo. Studio kita ada di sana." Keduanya masuk ke ruangan dan lagi-lagi, wanita itu terperangah kaget. Studio itu ternyata Velvet Class. "Pak. Saya kira ini tidak pantas. Ini-" "Maaf. Permisi. Kami mau lewat." Terdengar suara orang di belakang mereka yang tidak sabar. Wanita itu menyadari kalau ternyata studio itu hampir terisi penuh. Meski harga tiketnya hampir 5 kali lipat dari harga normal, tapi tampaknya banyak orang rela mengeluarkan uang banyak untuk menonton. Seperti minggu kemarin, terlihat banyak pasangan sudah berada di bangku mereka masing-masing. Dan kali ini, cukup terang-terangan menunjukkan perilaku yang int*m di ruang publik. Pipi Ema memerah saat melihat satu pasangan yang terlihat berpelukan di balik selimut. Kepala wanita itu menggeleng dan ia akan keluar saat lengan atasnya ditahan. "Em. Ini film bagus. Premiere. Dan aku janji, kita hanya nonton. Aku tidak akan macam-macam padamu." Pandangan Ema terlihat skeptis. Tapi Ilyas menggodanya dengan memperlihatkan tiket di tangannya. Mend*sah kalah, akhirnya wanita itu mengangguk. "Baiklah saya nonton. Setelah itu, kita bicara dan saya pulang. Oke?" Senyuman Ilyas melebar. "Nah, begitu dong. Ayo. Tempat kita agak ke atas." Tidak lama, lampu di bioskop mulai meredup dan akhirnya gelap gulita. Layar mulai menampilkan berbagai gambar diiringi suara dentuman musik yang mantap dari sound system. Suhu ruangan yang dingin membuat Ema menyelimuti kedua kakinya. Matanya berkelana dan menyadari posisi duduk mereka yang cukup strategis. Mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman, perhatian wanita itu kembali ke arah layar besar di depannya. Belum 10 menit film berlangsung, bahu Ema terasa berat. Lagi-lagi, Ilyas tertidur di sampingnya. Wanita itu merasa bobot pria itu bertambah 2 kali lipat karena tidak ada penopang lain. Ia berusaha menggerakkan bahunya untuk membangunkan lelaki di sampingnya. Bukannya bangun, kepala Ilyas malah merosot ke bawah dan akhirnya menyender di pahanya. Gugup, Ema menepuk pelan bahu pria itu. "Pak? Pak Ilyas?" Tubuh pria itu menggeliat dan malah memeluk pahanya seperti guling. Pria itu kembali tidur. Suara dengkuran yang halus membuat Ema yakin, ilyas sudah sangat terlelap dalam tidurnya. Sambil menghela nafas, wanita itu menunduk. Kekesalannya sedikit menguap saat mengamati wajah pria itu yang lelah dan tampak nyenyak. Sepertinya, dia memang benar-benar butuh istirahat. Hawa panas yang menyebar dari tubuh Ilyas perlahan membuat Ema mulai hangat. Berusaha mengacuhkan rasa tidak nyaman di perutnya, wanita itu mengkonsentrasikan dirinya pada film di depannya. Sejak kejadian mereka hampir berciuman, sedapat mungkin ia tidak ingin bersentuhan dengan pria ini lagi. Sayangnya, takdir berkata sebaliknya. Lelaki ini justru malah makin dekat secara fisik dengannya. Dan Ema sadar, ia telah membiarkannya. Beberapa jam kemudian, tampak keduanya duduk di dalam mobil Ilyas. Mereka telah sampai di pelataran parkir di depan apartemen Ema. Kepala Ilyas menoleh dan pria itu terlihat merasa bersalah. "Maaf. Aku sebenarnya ingin mengajakmu makan malam di sana, tapi semua tempat penuh. Aku tidak tahu kenapa hari ini sangat banyak orang datang ke tempat itu." Tersenyum canggung, Ema menggeleng kecil. "Tidak apa-apa pak. Saya juga sudah makan di kantor tadi, makanya sedikit telat datang." Pria itu menatapnya sebentar dan tersenyum lembut. "Terima kasih, Em. Kamu perempuan baik." Perkataan itu membuat wajah Ema perlahan menjadi pias. 'Kamu gadis baik, An. Kekasih yang sangat baik dan setia. Tapi aku tidak bisa nikah dengan kamu. Aku butuh orang yang bisa menopangku, An. Pendamping yang bisa aku banggakan dan menunjang karir-ku ke depan. Aku tidak bisa dengan orang yang... seperti kamu.' "Em?" 'Aku tidak bisa dengan gadis biasa saja. Maaf, Andie. Tapi pendidikanmu hanya D3. Ibu-mu juga cuman pedagang kue di pasar. Bukannya aku mau menghinamu, tapi aku butuh wanita yang setara dengan aku. Setara dengan keluargaku juga. Keluarga Prabukusuma. Kamu bisa ngerti itu, kan?' "Ema?" Sentuhan lembut di pipinya membuat wanita itu terlonjak dan refleks menghindar. Alis Ilyas berkerut dalam dan pria itu menatap Ema lebih tajam. "Em? Kamu ga apa-apa?" Menelan ludahnya, Ema balas menatap Ilyas dan akhirnya menyadari siapa pria di depannya ini. Bodohnya aku. Berusaha meredakan getaran menyakitkan di tubuhnya, bibir Ema tersenyum pahit. "Saya tidak apa-apa. Sebaiknya saya segera masuk. Selamat malam, pak Ilyas." Tangan wanita itu baru menyentuh handle pintu saat Ilyas menyambar pergelangannya. "Sebentar, Em. Kita belum bicara." Posisi pria itu seolah memeluknya dari arah belakang. Ema bisa merasakan kehangatan tubuh lelaki itu yang sedang melingkupi tubuhnya sendiri yang jauh lebih kecil. Ema merasakan tubuhnya makin bergetar. Bukan karena takut pada pria ini, tapi ia takut pada dirinya sendiri. Ia takut akan menyukai lelaki di belakangnya ini, yang pada akhirnya hanya akan sakit hati lagi. "P- Pak Ilyas? Tolong lepaskan saya, pak." Telinga wanita itu dapat mendengar deruan nafas dari lelaki di belakangnya. Pria itu seolah sedang menghidu rambutnya. Aliran udara yang panas terasa berhembus dari lubang hidung dan mulut pria itu. Rambut-rambut halus di tengkuk Ema berdiri, saat ia merasakan sentuhan basah di belakang telinganya. "Pak!" Seruan panik wanita itu membuat hawa panas itu menghilang seketika. Jantungnya berdebum kencang di d*danya, dan memompa darahnya untuk mengalir lebih cepat. Suasana hening sejenak, sampai terdengar suara serak Ilyas dari arah punggungnya. "Maaf kalau aku membuatmu takut, Em. Tapi aku butuh bantuanmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD