"Kamu mau minum apa?"
"Hm. Yang itu."
Baru saja Ema akan mengeluarkan dompetnya, tangannya ditepis pria di sampingnya.
"Hari ini aku yang traktir."
"Tapi bapak sudah membayar beberapa kali pak. Terakhir nonton, bapak juga beli yang paling mahal-"
"Kalau gitu, kapan-kapan kamu undang saja lagi aku ke rumahmu. Masakin aku makanan yang enak."
Wanita itu tampak berfikir sebentar. "Saya akan traktir bapak di restoran baru-"
"Aku sudah sering makan di restoran, Em. Aku mau makan masakan rumahan. Di rumahmu."
Nafas Ema terdengar menderu. Wanita itu jengkel sekali.
"Pak... Tidak pantas pria dan wanita berduaan di dalam kamar. Apalagi, bapak ini atasan saya."
"Memangnya kamu naksir aku, Em?"
Pertanyaan itu membuat Ema menatap Ilyas beberapa saat. "Tidak. Tapi seperti saya bilang dulu-"
"Tidak akan terjadi apapun di antara kita selama kamu tidak ingin, Em. Aku janji padamu."
Entah kenapa, tapi janji yang diberikan pria itu membuat hati Ema sedikit mencelos. Ada sesuatu yang terasa tersentil dan tercubit di dalam d*danya dan menjadikannya terdiam sebentar.
Sedikit sulit menelan ludahnya, Ema menundukkan pandangannya. ia memasukkan lagi dompetnya.
"Terserah bapak saja."
Tersenyum puas, Ilyas menjejalkan sekotak popcorn ke tangan wanita itu.
"Nah. Gitu dong. Ayo kita masuk."
Kali ini, Ilyas memilih bangku yang paling belakang. Pria itu tampak lebih nyaman duduk dengan kakinya yang panjang. Santai, ia meletakkan gelas minum Ema di samping wanita itu.
"Terima kasih."
"Kamu mau pake jas-ku?"
"Tidak usah pak. Kebetulan saya bawa jaket hari ini."
Memperhatikan Ema memakai jaket-nya, pandangan Ilyas berkelana ke wanita itu. Matanya beberapa kali tertuju pada mulut dan bagian depan tubuh wanita itu yang tertutup jaket. Lambat laun, ia merasa dirinya sedikit hangat. Ruangan terasa gerah dan panas.
Melihat pria di sampingnya membuka jas-nya, membuat Ema terheran.
"Kok buka jas-nya pak? Dingin begini."
Berdehem tidak jelas, Ilyas meletakkan jas santai itu di pangkuannya. "Aku kepanasan."
Tidak berkomentar lagi, Ema menatap layar di depannya.
Udara yang dingin membuat bulu-bulu di lengan Ilyas mulai naik dan mendinginkan suhu tubuhnya. Keringat yang muncul di area ketiak dan punggungnya perlahan menghilang. Degup jantungnya pun mulai normal.
Kelegaannya sedikit terusik saat seorang pria tiba-tiba saja muncul dan duduk di sebelah Ema. Sekilas, Ilyas dapat melihat wajah lelaki itu yang tersenyum manis pada wanita di sebelahnya.
S*alan!
Lampu studio tiba-tiba saja meredup dan film pun dimulai.
Sepanjang film, mata Ilyas terbuka lebar. Beberapa kali, telinganya mendengar pria di sebelah Ema berusaha memulai percakapan dengan wanita itu. Tiap mendengarnya, telapakannya mencengkeram lengan kursinya.
"Bapak mau popcorn?"
Bisikan itu membuat kepala Ilyas menoleh. Mata kelabunya bersitatap dengan mata cokelat Ema yang bulat.
"Popcorn pak?"
Ia baru akan menolak saat tatapannya terarah ke lelaki di sebelah Ema. Tampak mata pria asing itu memicing. Kedua pria itu saling bertatapan tajam seperti dua orang predator.
Degupan jantung Ilyas bertambah liar. Salah satu sudut mulutnya tertarik ke atas dan pria itu mengambil kotak popcorn dari tangan Ema. Mulutnya tersenyum ceria pada wanita itu.
"Biar aku yang pegang. Kamu juga boleh bersandar ke bahu-ku kalau ngantuk."
Alis Ema terangkat ke atas tapi ia terdengar mendengus geli.
"Biasanya juga bapak yang tertidur di bahu saya."
Mengambil beberapa butir popcorn, Ilyas menjejalkannya ke mulut wanita itu.
"Pak!"
"Sstt... Jangan ribut!"
Wanita itu dengan kesal terpaksa mengunyah popcorn di mulutnya. Tampak beberapa serpihan di sudut bibir Ema yang masih cemberut.
Dengan santai, jari-jari Ilyas membersihkan remahan popcorn di mulut Ema. Sangat sadar tatapan pria di samping wanita itu yang menajam dan akhirnya pria asing itu berdiri.
"Maaf. Permisi."
Melihat kepergian lelaki itu, Ema berbisik lega, "Akhirnya dia pergi juga."
Tangan pria itu masih mengibaskan beberapa remahan halus dari jaket Ema.
"Huh? Memangnya kenapa?"
"Dia cerewet sekali. Ngajak kenalan segala macem. Jadi ga bisa konsentrasi."
Tanpa diketahui Ema, pria yang sedang membersihkan jins wanita itu mengulum senyumnya.
Ia kembali menyodorkan kotak makanan itu ke Ema. "Popcorn?"
Kesal, refleks wanita itu membalas Ilyas dengan menjejalkan lebih banyak popcorn ke mulut pria itu.
Untungnya keduanya duduk di area paling belakang dan deretan di samping mereka hampir kosong. Dua orang itu cekikikan dan geli dengan kelakuan konyol mereka sendiri. Tanpa terasa, mereka pun menikmati film itu sampai akhir tanpa ada yang tertidur.
Beberapa jam kemudian, Ilyas sudah memarkirkan mobilnya di depan apartemen Ema.
Senyuman Ema tampak cerah saat ia menoleh ke arah Ilyas.
"Terima kasih pak. Saya seneng banget hari ini bapak ga ketiduran."
Kekehan serak terdengar dari mulut pria itu. "Kayanya aku sudah cukup tidur waktu di tempatmu."
Mendengar itu, Ema tertawa kecil dan matanya berbinar ceria.
"Gimana ga cukup tidur pak. Bapak kan baru bangun hampir maghrib. Belum lagi ngorok-nya... Ampun deh."
Kedua tertawa dan saling melempar senyuman. Mata mereka terkunci satu sama lain.
Suasana di dalam mobil itu mulai terasa canggung.
"Ehm. Kalau gitu, saya masuk ya pak. Terima kasih sekali lagi."
"Kapan kamu mau undang aku ke rumahmu?"
Pertanyaan itu membuat Ema sedikit bingung. Ia sebenarnya ingin menolak pria itu.
"Ehm-"
"Kalau besok gimana?"
"Besok saya sudah ada janji pak."
Jari-jari Ilyas yang masih di kemudi terasa mengencang. "Oh? Kamu ada kencan?"
Kembali Ema merasa bingung. Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sebenarnya seperti reunian. Saya mau ketemuan sebentar dengan beberapa teman waktu kuliah dulu."
Memperhatikan gerak-gerik wanita itu yang tidak antusias, kepala Ilyas meneleng.
"Kamu ga mau datang?"
Wajah Ema berubah murung dan pria itu sangat tahu, bawahannya ini tidak mau cerita lebih banyak.
"Memangnya besok janjian di mana?"
Ema menyebutkan salah satu lokasi perumahan di kota J.
"Jam berapa?"
"Sekitar jam 10."
Tampak pria itu berfikir sebentar dan menoleh lagi pada Ema.
"Bagaimana kalau aku antar-jemput kamu? Jadi mereka tahu kamu sudah punya janji dengan orang lain."
Kepala Ema langsung menggeleng. "Tidak usah pak. Saya tidak mau mereka salah sangka nanti."
"Kalau aku sih ga masalah. Kecuali kamu yang merasa itu masalah?"
Wanita itu tampak menimbang-nimbang, tapi akhirnya kembali menggeleng.
"Tidak pak. Saya tidak mau bapak kerepotan nantinya. Besok saya akan bawa mobil sendiri ke sana."
Melihat Ema melepaskan seat belt dan berniat turun, jantung Ilyas berdenyut lebih kencang.
Suara serak pria itu sedikit bernada tuduhan, "Kamu malu kalau kelihatan orang lain jalan sama aku, Em?"
Terkejut, Ema menoleh kembali. Keningnya berkerut tidak enak. "Bukan begitu, pak. Tapi-"
"Kalau begitu, biarkan aku mengantarmu. Setelah itu kita ke supermarket dan masak di tempatmu. Kamu juga kelihatannya tidak terlalu suka ketemu mereka, kan? Jadi buat apa di sana terlalu lama?"
"Tapi..."
"Aku janji tidak akan keluar dari mobil, Em. Teman-temanmu juga tidak akan tahu siapa aku."
Wanita itu akhirnya mend*sah. Mungkin ia memang perlu sedikit kamuflase.
"Bapak yakin ga keberatan?"
Kali ini, Ilyas memberikan senyuman terbaiknya. "Tidak sama sekali. Gimana?"
Bibir wanita itu tersenyum lebar, sampai muncul lesung di salah satu pipinya.
"Oke deh. Saya setuju. Nanti saya akan masak enak buat pak Ilyas."
Tenggorokan pria itu sedikit naik-turun. Bola matanya bergerak-gerak mengamati wanita di depannya.
"Masuklah, Em. Sudah malam. Besok aku jemput kamu jam 9."
"Selamat malam pak."
"Selamat istirahat, Em."
Kedua mata kelabu Ilyas mengikuti pergerakan Ema, sampai wanita itu menghilang ke dalam.
Sambil menjalankan mobilnya, pria itu mendengus dan tertawa kecil. "Dia polos sekali."