Dengan santai, wanita muda berkulit seputih s**u itu keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang menutupi dda sampai bawah bokongg saja. Tubuh yang nampak basah mengkilat serta gerai rambut panjang basah acak-acakan makin menghadirkan imajinasi liar di benak seorang Sean Lycus.
Saking terpukaunya sampai tanpa sadar berucap dalam hati, ‘Fuuck dia seksi sekali!’
Zefanya berbalik, langsung menangkap sorot mata Sean yang memandanginya penuh nafsu. “Kenapa kamu melihatku begitu? Ingin mengulang peristiwa kemarin malam? Cih, jangan berharap!”
“Bagaimana aku tidak menatapmu kalau kamu bergerak terus membuat ribut! Aku tidak bisa mendengarkan berita dengan tenang,” sangkal Sean acuh, melengos, menahan kesal karena terlalu sorotnya barusan diperhatikan.
“Aku lihat kamu sedang menatap layar ponsel tadi, tidak mendengarkan berita. Jangan berbohong, itu dosa!” tukas Zefanya tersenyum mengejek, lalu kembali berjalan menuju kamar mandi sembari membawa baju ganti. Rupanya, ia keluar karena lupa membawa pakaian.
Ucapannya itu membuat Sean mati kutu, memang benar dia tadi memperhatikan ponsel setelah selesai chat dengan anak buahnya di New York, bukan murni menonton televisi. Seharusnya dia tidak usah berkata sedang menonton berita karena hanya membuatnya konyol.
‘Shiit, ingin aku meremas bibirnya itu dengan keras! Ada saja yang dia ocehkan untuk melawanku!’ dengkus sang mafia kesal. ‘Kenapa Massimo mempunya keponakan menyebalkan begitu?’
Tak lama setelahnya, Zefanya keluar sudah berpakaian lengkap. Dengan santai naik ke atas ranjang, lalu ikut menonton berita. Menoleh kepada Sean, kemudian bertanya, “Kenapa lelaki sepertimu mau dijodohkan? Aku yakin kamu tidak kekurangan wanita di New York.”
“Kenapa wanita sepertimu mau dijodohkan? Aku yakin kamu tidak kekurangan lelaki di Milan,” jawab Sean hanya mengulang pertanyaan yang sama.
“Aku terpaksa menerima perjodohan ini karena tidak mau membantah ayahku. Seseorang harus berkorban demi nama baik keluarga mereka,” jawab Zefanya berdusta, menutup rapat kisah pertukaran dengan Amanda. “Dan aku tidak tinggal di Milan.”
“Kamu tinggal di mana?” lirik Sean. Wajah polos Zefanya membuatnya menarik napas panjang. Tanpa make up, wanita itu tetap sungguh cantik.
“Di New York, sama sepertimu. Aku kuliah di New York, langsung kerja setelahnya. Pulang ke Italia karena dipanggil Ayah, untuk menikah denganmu,” ungkap Zefanya, menghindari tatapan Sean, dan kembali menonton berita.
Sean terdiam sesaat, kemudian berucap datar, “Ingat semua yang sudah kita bahas dan sepakati. Aku tidak mau ada kejadian yang mengejutkan darimu.” Melihat bagaimana sang wanita nampak begitu santai bersamanya, muncul kekhawatiran ada hal yang timbul nantinya.
“Hmm, aku ingat. Pokoknya, aku urus urusanku sendiri, dan kamu urus urusanmu sendiri. Tidak usah saling peduli satu sama lain, benar?” angguk Zefanya. “Dan aku dilarang jatuh cinta denganmu, iya, ‘kan?”
“Benar ....”
“Bagaimana kalau kamu yang jatuh cinta kepadaku?” kikik Zefanya menatap dengan mata berbinar, membulat sempurna.
Sean menoleh, menghela pusing, “Aku tidak akan jatuh cinta dengan wanita cerewet pemabuk macam dirimu! Sekarang saja kamu sudah membuatku sakit kepala!”
“Oke, oke, baiklah! Saat kita pulang ke New York dan aku tinggal bersamamu, ada yang harus kuketahui? Kamu memang bilang tidak punya pacar, tapi ... siapa tahu ada wanita yang kamu sembunyikan? Aku tidak mau dikira perebut kekasih orang,” kekeh Nyonya Besar Lycus.
Sean menarik napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Jika mau bicara terus terang, ada banyak kejutan menanti Zefanya di New York, tetapi ia tidak ingin mengungkapnya. Lebih baik istrinya tahu dengan mata kepala sendiri.
Sambil menyalakan sebatang rokok, ia menoleh, lalu menawarkan sesuatu, “You smoke?” Memilih untuk megalihkan pembicaraan ke hal lain ketimbang apa yang menanti di New York.
“Nope, rokok membuat bibir hitam. Aku tidak merokok,” geleng sang wanita.
“Besok kita ke rumahmu. Aku akan berpamitan dengan ayah dan ibumu sebelum membawamu kembali ke New York. Dan ... uhm ...”
“Apa?”
“Sepatu sialanmu yang kamu buat melempar wajahku kemarin masih kusimpan. Ada di dalam lemari pakaian. Ambilah,” ucap Sean mengembus asap putih dari bibirnya.
“Serius? Terima kasih! Ah, aku senang sekali! Itu sepatu favoritku! Hadiah ulang tahun ke-17 dari Paman Massimo!” pekik Zefanya riang dan berlari ke lemari pakaian. “Aaah! Benar-benar masih di sini! Thank you, Hot Stuff!”
Sean mendengkus, “Kenapa memanggilku Hot Stuff? Itu seperti boneka setan berwarna merah! Apa menurutmu aku seperti setan, hah?”
“Karena kamu memang so hot as the devil himself!” kikik Zefanya mengeluarkan sepatu Givenchy-nya dari dalam lemari dan menjejerkan dengan koper berisi pakaian ganti. “Menurutku lucu saja nama Hot Stuff. Bukankah seorang istri harus punya nama panggilan kesayangan untuk suami?”
“Kita hanya menikah di atas kertas! Buang ide bahwa kita adalah suami istri sungguhan! Tadi kamu bertanya, kenapa aku mau dijodohkan? Karena aku tidak mau kepemimpinanku di New York digoyang!” desis Tuan Besar Lycus melirik tajam. “Hanya itu alasanku menikahimu!”
Ia mengepul asap rokok, lanjut berbicara. “Aku tahu di mata wanita diri ini sungguh menarik. Aku berpikir, mungkin kamu bisa saja jatuh cinta sungguhan denganku. Oleh karenanya, kuingatkan sejak awal kita di altar ....”
“Jangan jatuh cinta padaku, karena aku tak akan bisa jatuh cinta kepadamu! Aku tak mau kamu sakit hati, menangis, dan lain sebagainya. Sudah cukup urusanku dengan wanita dan cinta mereka! Aku ... aku tidak membutuhkan cinta!” pungkasnya tegas.
Zefanya kembali naik ke atas ranjang, lalu terkekeh. “Terserah, Sean. Seperti yang juga kukatakan, aku tidak ada niatan dengan lelaki. Karena mereka semua babi! Nah, sekarang, aku mau tidur.”
“Oh, ya, kuingatkan satu hal lagi. Kalau besok ke rumahku, jangan kaget bila melihat bahwa aku dan ayah ibuku tidak hangat. Tidak usah bertanya apa-apa, cukup basa-basi sebentar, maksimal setengah jam, dan segera pergi dari situ, okay?” pinta wanita itu kemudian meletakkan kepala di atas bantal.
“Why? Tidak sopan hanya setengah jam berbincang,” geleng Sean mengerutkan kening. “Nanti aku dianggap tidak tahu diri.”
“Well, aku ... begini, anggap saja aku bukan anak favorit mereka. Jadi, beramah-tamah dengan mereka juga tidak ada gunanya. Tapi, ya, sudahlah ... terserah kamu saja.”
Sean terdiam, memandangi wajah manis yang memejamkan mata. Ia menggeleng, nyaris tak percaya bahwa dirinya kini sudah kembali memiliki seorang istri. “Fine, kita lihat saja besok.”
***
Sampai di rumah Pedro Giovanny, apa yang diucap oleh Zefanya benar adanya. Hubungan antara orang tua dan anak tidak terlihat akur. Bahkan, pembicaraan lebih didominasi oleh Sean dan ayah mertuanya.
“Ya, aku selanjutnya akan berurusan dengan Massimo. Tapi, karena sekarang kita sudah berkeluarga, tentu aku akan menganggapmu sebagai keluarga juga, Pedro,” ucap Sean menyalami mertuanya saat hendak pulang.
Pedro manggut-manggut, Lilith ada di sebelahnya. Setelah bersalaman dengan Sean, mereka terpaksa memeluk Zefanya meski menahan jengah.
“Aku akan merindukanmu, Ayah! Aku juga akan merindukanmu, Bibi Lilith! Aku pasti akan mengirim kabar setiap hari kepada kalian!” sindir Zefanya tertawa. “Sungguh, kalian adalah orang tua paling baik sedunia,” ucapnya tersenyum palsu.
“Jaga dirimu, Zefanya. Semoga kamu dan saudara sepupu yang dari ibumu selalu sehat di New York,” balas Pedro juga menyindir. Mengingatkan putrinya akan ancaman terdahulu.
Bahwa kalau kabar kaburnya Amanda kemarin tersebar, maka ia tak segan-segan untuk menculik sepupu Zefanya di Amerika dan menjualnya ke rumah bordil. Ketiganya tertawa penuh kepalsuan sementara Sean memperhatikan itu dengan kening yang kian mengerut.
Setelah saling bersalaman dan masuk ke dalam mobil, barulah Tuan Besar Lycus bertanya. “Lilith bukan ibu kandungmu?”
“Bukan, ibu kandungku telah meninggal saat aku berusia 10 tahun,” jawab Zefanya menggeleng, tersenyum lirih.
“Meninggal karena sakit?” kulik Sean.
Zefanya menoleh, “Kenapa bertanya terus? Aku kira, kita tidak akan saling mencampuri urusan masing-masing bukan?” senyumnya datar, terlalu malas menceritakan ulang kisah pilu kematian ibu dan kedua saudara lelakinya.
“Aku hanya ingin tahu latar belakangmu saja. Ada yang salah?”
“Terakhir aku menceritakan masa lalu dengan keluargaku pada seorang lelaki, aku berakhir jatuh cinta padanya. So? Kamu mau aku jatuh cinta denganmu?” Zefanya mengedipkan mata dengan cepat, sengaja tersenyum menggoda.
Sean mendengkus, “Fine! Terserah kamu saja! Lupakan aku bertanya karena aku tidak peduli denganmu!”
***
Penerbangan dari Italia ke New York telah usai. Pasangan yang baru menikah turun dari pesawat, langsung memasuki mobil dan menuju Lycus Mansion tempat kediaman sang mafia ketika hari sudah gelap, bahkan menjelang dini hari.
Turun dari mobil mewah, Zefanya bisa melihat banyak bodyguard berjejer menyambut kedatangan Tuan Besar mereka. Tidak sedikit yang menatapnya dengan bingung.
Akan tetapi, kemudian Sean berucap lantang, “Dia istriku! Namanya Zefanya Anelda Giovanny!”
Sontak, semua menunduk dengan hormat, “Selamat datang kembali ke rumah, Tuan dan Nyonya Besar Lycus.”
Zefanya merasa sesak mencekik tenggorokan. Ia sering mendengar ini saat ibunya masih hidup dulu. Para bodyguard memberi salam yang sama. Juga bagaimana ia ingin menutup telinga ketika salam itu beralih pada Lilith hanya berselang tiga bulan setelah ibunya meninggal. Seakan kenangan ibunya sedemikian mudah diganti, tak berarti.
“Kamu kenapa?” tanya Sean melihat mata sang istri memerah dan sedikit berair. “Sakit mata, hah?”
“Hanya lelah,” geleng Zefanya benar-benar menutup rapat kisah masa lalunya. “Di mana kamar kita? Aku mau tidur.”
“Ikuti saja langkahku,” angguk Sean berjalan berdampingan. Keduanya terus terdiam hingga sampai ke sebuah kamar yang sangat besar, penuh dengan perabotan mewah.
Zefanya melihat sekeliling, tidak terlalu terkejut dengan kemewahan itu karena sebenarnya dia pun berasal dari strata sosial yang sama. Satu yang menjadi perhatian adalah di mana ranjang karena tubuh dirasa sangat lelah.
“Ah, itu dia! Setelah 9 jam duduk di pesawat, aku butuh meluruskan punggungku!” serunya melompat ke atas ranjang, memeluk sebuah bantal, dan langsung memejamkan mata.
Sama lelahnya, Tuan Besar Lycus juga langsung melepas pakaian dan tidur hanya menggunakan boxer seperti yang terjadi di hotel.
Ketika Zefanya membalikkan badan, ia menghadap pada Sean dan matanya terbuka sebentar. Meski hanya sebentar, tetapi langsung tertuju pada d**a bidang berotot serta sebuah gundukan di antara kedua kaki sang suami. “Haruskah kamu tidur hanya mengenakan boxer? Apa kamu tidak punya celana pendek?”
Sean menoleh, “Kenapa terus bertanya? Bukankah kita setuju untuk tidak saling ikut campur urusan orang lain, termasuk pakaian apa yang digunakan saat tidur? Suka-suka aku mau tidur dengan boxer atau pakaian astronot!” desisnya menyeringai kesal.
“Aku mau tidur telanjang juga apa urusanmu, hah? Fuuck!” Ia sudah terlalu lelah untuk mengambil baju ganti dari lemari. Lagipula, sejak dulu dia memang sering tidur dengan menggunakan boxer saja.
“Terserah!” sahut Zefanya kembali membelakangi sang mafia. “Tidur saja telanjang, semoga kamu membeku saat pagi hari!”
“Kenapa? Kamu tergoda melihatku memakai boxer?” kekeh Sean. “Mau mengulang kejadian di hotel?”
“In your dream, Hot Stuff! Aku tidak boleh jatuh cinta padamu, ingat? Jadi, mana mungkin aku menginginkan apa yang dibalik boxermu!” desis Zefanya menggeleng. “Aku mau tidur! Good night!”
Keduanya terdiam, tak ada lagi obrolan tidak jelas. Sama-sama memejamkan mata, memikirkan apa yang akan dilakukan esok hari, lalu terlelap.
***
Pagi ini adalah weekend, tidak ada yang hendak bekerja. Zefanya dan Sean masih berada di atas ranjang yang sama, tertidur dengan lelap. Hanya saja, ketika berangkat tidur mereka berjauhan, sekarang tangan wanita itu justru melingkar di atas perut bidang suaminya yang tidak memakai kaos.
Suara orang berlari dari luar kamar terdengar kian lama kian nyaring, terutama saat kemudian mendadak pintu kamar sang mafia dibuka dan ....
“Daddy! Daddy Sean sudah datang kembali! Daddy! Daddy!”
Seorang anak lelaki kecil berambut cokelat berlari memasuki kamar Sean dan melompat ke atas ranjang. Sontak, pasangan suami istri tersebut bangun dengan kaget. Lebih kaget lagi saat mereka berdua melihat tangan Zefanya melingkar di perut berhias six pack.
Dengan cepat Zefanya menarik lengannya dan menghindari tatapan lekat Tuan Besar Lycus. ‘Mati saja aku! Kenapa aku memeluk dia? Memalukan!’
“Daddy! Daddy! Kita ke pantai! Naik kapal, ya!” Anak lelaki itu nampak sangat girang, memeluk Sean dengan hangat.
Zefanya melongo, bibir merah mudanya membentuk huruf O yang sangat besar. “Da-Daddy? Daddy Sean?” engahnya dengan d**a kembang kempis. Ia menoleh dan berseru, “Kamu sudah memiliki anak?” teriaknya tak percaya.
“Hai, Aunty! Namaku Reagan Aaron Lycus!” sapa bocah tampan yang memiliki wajah persis dengan Tuan Besar Lycus, sang ayah. “Ayo, Daddy! Aku ingin jalan-jalan!”
“Oke, oke! Daddy baru bangun, Jagoan! Sabarlah!” gelak Sean memeluk erat, menciumi wajah menggemaskan anak lelakinya.
“What the hell! Kamu tidak bilang kalau kamu sudah punya anak!” Zefanya masih dilanda syok hingga memukul d**a bidang sang suami.
Masih belum hilang rasa syoknya, satu kejutan besar sudah kembali datang menghantam. Seorang wanita memasuki ruang tidur Sean sambil berseru marah.
“Reagan! Apa yang Mommy selalu bilang? Jangan berlarian dan masuk kamar Daddy-mu tanpa permisi! Maafkan aku, Sean! Dia tahu kamu datang dan sege—“
Wanita itu berhenti berbicara, juga berhenti melangkah hanya sampai sekitar dua meter di depan pintu. Detik itu juga Zefanya dan sang wanita saling beradu pandang.
Napas Zefanya bagai berhenti, ia bergumam dalam hati, ‘Dia masih sangat muda ... seusiaku, dan dia ... Mommy-nya bocah ini? Berarti dia dan Sean ...?’