Part 14 - Aliya Sakit

2341 Words
Part 14 - Aliya Sakit Apotek Medical Sehat. Raisa dan teman-temannya mulai membereskan apotek. Soalnya waktu telah menunjukan pukul sembilan tiga puluh menit. Itu artinya tiga puluh menit lagi apotek harus tutup. Dokter-dokter dan karyawan di klinik juga sudah pada pulang. Memang sengaja mereka tidak buka dua puluh empat jam. Karena memikirkan keselamatan karyawan juga. Bahaya juga kalau karyawan harus jaga malam-malam. Karena banyaknya kejadian kriminal, terjadi di malam hari. Jadi mereka sepakat, membuka apotek dan klinik. Mulai pukul tujuh pagi sampai pukul sepuluh malam. Itu saja sudah cukup. Raisa melihat dokter Rina yang baru saja keluar dari ruangannya. Raisa langsung menghampiri dokter Rina. Sepertinya ada yang mau di bicarakan oleh Raisa. Pada dokter Rina. "Mah besok, aku izin ga masuk ya. Soalnya besok ada ujian di kampus sampe malam," izin Raisa pada dokter Rina. Akhir-akhir ini memang Raisa sering di hadapan ujian-ujian di kampusnya. Mungkin karena mahasisw tingkat akhir. Jadi akan lebih banyak ujian dan tugas. Wajar saja, sebentar lagi. Raisa akan menyelesaikan tugas akhir kuliahnya. Rasanya ingin vepay selesai. Dan ingin sekali lanjut spesialis. "Iya sayang. Kamu harus tetap semangat yah! Jangan lupa istirahat yang cukup. Kalo perlu kamu minum vitamin. Supaya kamu engga gampang sakit," saran dokter Rina. Sebagai ibu, dokter Rina selalu mengingatkan pada anak-anaknya agar tetap jaga kesehatannya. Raisa itu anak yang dokter Rina sayangi. Bagaimanapun dia adalah kakaknya Nadien, anaknya. Meskipun Nadien tidak menerima Raisa, sebagai kakaknya. Tapi tetap saja dokter Rina masih menganggap Raisa sebagai anaknya. Tidak mudah untuk memutuskan sesuatu yang sudah terjalin. "Aku selalu jaga kesehatan kok mah. Mama tenang aja. Aku juga minum vitamin, untuk memperkuat daya tahan tubuh aku. Soalnya emang sekarang-sekarang kuliah lagi padat-padatnya," jelas Raisa. Agar dokter Rina tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya. "Apa lebih baik kamu cuti aja dari apotek. Selesaiin aja dulu tugas akhir di kampus kamu. Setelah sidang dan lulus. Kamu baru kerja lagi di apotek. Gimana?" saran dokter Rina. "Engga mah. Aku bisa kok jalani dua-duanya. Karena semuanya adalah tanggung jawab aku," jawab Raisa. Raisa memang paling kuat. Ia tidak mau sampai kelihatan lemah di depan dokter Rina. "Oh, ya. Pelanggan apotek kamu Si.. Si.. Siapa sih mama lupa namanya? Itu loh yang kemarin bantuin persalian mbak Nikmah," tanya dokter Rina. Mungkin yang di maksud itu Riyan kali yah. "Siapa mah?" Raisa pura-pura tidak tau. Padahal Raisa juga tau, yang di maksud dokter Rina itu. Adalah Riyan. "Itu loh cowok," pancing dokter Rina lagi memberikan pada Raisa. Masa iya tidak ingat? "Oh itu Riyan, Mah. Emangnya kenapa mah?" tanya Raisa penasaran. Kenapa juga tiba-tiba dokter Rina ngebahas Riyan. "Iya, si Riyan itu. Tadi pagi nebus obat. Mama liat dari resepnya. Dia sakitnya udah parah banget, tapi dia tuh sabar dann rajin banget. Buat nebus obat di sini," cerita dokter Rina soal Riyan. "Tadi pagi dia ke sini mah? Iya, Mah. Oh, iya. Mama jangan bilang-bilang, soal penyakit Riyan, ya. Riyan minta Raisa, supaya rahasiain penyakitnya," pinta Raisa. "Siipp. Tenang aja, Mama pandai jaga rahasia kok," ujar dokter Rina. Raisa menghela nafas panjang. Untungnya mamanya bisa di ajak kerja sama, agar merahasiakan penyakit Riyan. Mungkin saja teman-teman di apoteknya juga sudah tau, soal penyakit Riyan. Tapi sampai sekarang. Tidak ada yang berani menanyakan pada Raisa, secara langsung. Mungkin ini akan menjadi rahasia, untuk sementara. Soalnya ada si kepo Ririn yang cepat atau lambat akan menanyakan hal ini. Mereka juga kan tidak sering menerima resep dari Riyan. Yang sering menerimanya itu, seringnya Raisa. Kadang Laila juga pernah sih menerimanya. Tapi tenang aja, Laila itu engga banyak bicara. Jadi masih aman. "Rai, ini defectanya gue simpen di meja aja yah. Biar besok Metta aja yang pesen barang-barang sama obat-obatan yang kosong," ucap Ririn sedikit kecang dari ruangan racik. Ririn tidak tau, kalau Raisa sedang berbicara dengan dokter Rina. "Iyaaa!" teriak Raisa. Dokter Rina tertawa melihat tingkah laku karyawannya. Ririn ke luar dari ruang racik. Sambil memperhatikan kertas yang di pegangnya. Tanpa melihat ke depan. "Rai, ini tadi ada fakur yang.... Eh dokter Rina. Maaf," Ririn malu. Tadi harusnya dia engga teriak-teriak sama Raisa. Kan malu ketahuan dokter Rina. "Iya, Ririn. Engga apa-apa kok. Terusin aja saya mau dengar," ujar dokter Rina. Hal itu malah membuat Ririn semakin cangung di depan dokter Rina. "I.. Ini.. Ada faktur yang salah. Harusnya kita minta vintamin B1, yang dateng malah B6. Besok harus di retur kayanya. Apa aku harus bilang Metta aja? Besok kan kamu engga masuk," jelas Ririn masih salting dengan dokter Rina. "Jangan, nanti biar aku yang nyuruh Adit aja. Soalnya dia lebih ngerti. Kamu simpen aja faktur itu. Di pisah dari faktur pembukuan yang lainnya. Biar besok Adit gampang buat ngereturnya," usul Raisa. Ia memang paling bisa ngasih solusi di setiap permasalahan yang terjadi di apotek. "Oke deh, aku mau lanjut back up faktur ke komputer dikit lagi. Permisi dokter," pamit Ririn. Kemudian Ririn masuk lagi ke ruang racik. Ia kembali menyelesaikan tugasnya. Ia harus cepat menyelesaikannya. Agar ia bisa pulang tepat waktu. "Kamu memang hebat dalam menyelesaikan suatu masalah, Rai. Kamu memang cerdas. Mama bangga sama kamu," puji dokter Rina. Ia memang tidak bosan-bosannya memuji anaknya yang satu ini. Raisa memang patut di banggakan. Semoga saja Nadien bisa ikut membanggakan seperti Raisa. "Mama ini bisa aja. Jangan terlalu memuji aku. Ya udah aku mau bantu temen-temen beres-beres. Bentar lagi kan pulang," pamit Raisa. "Ya, udah mama juga mau beres-beres. Nanti kita pulang bareng aja yah," ajak dokter Rina. Raisa mengangguk saja. Dari pada nantinya jadi panjang. Engga apa-apa kalau sesekali ia di antar dokter Rina. Meskipun nantinya Nadien bakalan ngomel. Ngerasa di nomor duakan oleh dokter Rina. Raisa kembali ke ruang racik obat. Ririn sedang serius dengan kerjaanya. Langsung menengok ke arah Raisa. "Rai, gue malu banget. Malu, Rai. Kenapa tadi lo engga bilang lagi sama dokter Rina? Tau gitu gue engga teriak-teriakan," keluh Ririn soal kejadian tadi. "Lagian elo kaya di utan aja pake teriak-teriakan. Lo bisa kan samperin Riasa sambil jelasin semuanya," tukas Ribka. "Udah engga apa-apa. Pasti dokter Rina pasti maklum kok," Laila yang dari tadi diam. Angkat bicara saat mendengar Ririn menegluh. "Iya bener kata Laila. Mama malah ketawa. Mama seneng karyawannya pada gesit dan tanggung jawab sama kerjaannya," jelas Raisa. "Tetep aja gue malu," Ririn menutup mukanya dengan kasar. Hari ini yang jaga malam adalah Raisa, Ribka, Ririn dan Laila. Adit, Metta dan Riska bagian pagi sampai siang. Raisa memang sering ngambil jaga malam. Karena paginya kuliah. Sementara Metta sering ngambil jaga pagi. Karena paling engga suka jaga malam. Soalnya rumahnya juga agak jauh dari apotek ke rumahnya. Padahal rumah si kembar juga jauh. Tapi mereka mau ko ganti-gantian shift. Mereka punya dua motor. Jadi bisa di pake secara gantian. Saling nebeng aja kalau kebagian jaga pagi atau malam. Kalau Raisa sih bebas bebas aja. Dia kan anak yang punya apotek. Mau masuk engga masuk pun tidak akan jadi masalah. "Aku berarti masuk malem yah besok? Gantiin kamu?" tanya Laila. Memang harusnya Lalila masuk pagi. Berhubung Raisa izin. Ia harus tarik Laila ke jaga malam. Untuk menggantikan posisi Raisa. Engga mungkin kalau Adit di tarik ke malam. Karena besok ada faktur yang harus di retur. Belum juga dia harus order barang dan obat-obatan yang habis ke PFB. Bukannya tidak percaya sama Metta. Tapi selama ini kerjaannya lambat. Raisa tidak suka dengan kerjaan Metta. Makannya ia serahkan pada Adit. Yang sudah lama di bidang itu. "Iya, engga apa-apa kan, La? Aku besok ada ujian sampai malam di kampus," pinta Raisa. "Iya, engga apa-apa. Semoga hasil ujiannya bagus yah!" seru Laila memberikan semangat pada Raisa. ********* Rumah Riyan Riyan baru sampai rumah, setelah nonton bersama Kamila. Tadi saat di kampus. Riyan sempat kambuh, karena menahan emosi. Jantungnya mulai berdetak tak karuan. Untungnya Riyan bawa obat yang di berikan oleh Raisa. Riyan langsung menyelipkan itu di bawah lidah. Sesuai petunjuk Raisa. Dan akhirnya kondisi Riyan membaik. Riyan jadi bisa menemani Kamila nonton. Kamila memang sudah keterlaluan pada sahabat-sahabatnya. Mulutnya suka asal jeplak. Tanpa di pikirkan, apakah ucapannya sudah menyakiti perasaan atau tidak? Kamilah hanya berpikiran. Apa yang di pikirannya, ya dia ucapkan. Meskipun itu menyakitkan orang lain. Padahal dulu harusnya Riyan dulu, biarkan saja Kamila di bully. Emang anaknya pantas di bully kok. Mulutnya aja kaya cabe. Kalo ngomong suka pedes. Nyelekit sampe hati. Jadi pantes aja buat di bully. Eh Riyan malah menolongnya. Jatuh cinta pula sama Kamila. Kok bisa yah? Ingin sekali Riyan merubah sifat Kamila yang suka seenaknya. Tapi, bagaimana caranya? Kamila itu cukup keras kepala kalau di kasih tau. Dia selalu merasa dirinya benar. Tidak mau mendengar kritikan orang lain. Apa lagi saran. Padahal kritikan itu masukan, untuk menjadikan dirinya lebih baik lagi. Semua orang ingin lebih baik lagi. Makannya sampai banyak orang yang minta kritik dan saran. Ya, mungkin agar tau salahnya di mana. Dan apa yang harus di perbaiki dari kesalahannya. Karena yang baik menurut kita, belum tentu baik bagi orang lain. Karena persepsi orang-orang itu, berbeda-beda. Jadi, terus belajarlah. Untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Riyan masuk ke ruang tamu. Tumben rumahnya terlihat sepi. Padahal biasanya di ruang tamu. Ada Aliya nunggu Riyan pulang. Apa mungkin karena tadi Riyan ngasih kabar dulu. Kalau dia akan nonton sama Kamila. Jadi Aliya tidak menunggunya di ruang tamu. Apa dia masih sakit? Pikiran Riyan mulai kemana saja. "Al. Aliya. Kamu di mana sayang?" teriak Riyan. Aliya tidak menjawab panggilan Riyan. Riyan semakin yakin, kalau Aliya pasti masih sakit. Riyan pergi ke atas. Riyan langsung berlari menuju kamar Aliya. Saat tiba di depan kamar Aliya. Riyan membuka pintu kamar Aliya. Ceklik! Pintu kamar Aliya terbuka. Sayangnya sangat gelap. Riyan tidak bisa melihat apa-apa. Aliya memang paling suka tidur dalam gelap. Sedangkan Riyan tidak suka kegelapan. Jantungnya sering kambuh, kalau gelap. Mungkin karena rasa takut Riyan yang berlebihan dengan kegelapan. Jadi jantungnya ikut kambuh. Kadang, kalau sudah fobia. Memang agak sulit untuk di sembuhkan. Riyan mencari stopkontak lampu kamar Aliya. Ia harus menyalakan lampu kamar Aliya. Agar bisa tau. Apa Aliya ada di dalam kamar atau tidak. Klik! Byar! Lampu kamar Aliya menyala. Riyan melihat Aliya sedang berbaring di ranjang tidurnya. Perlahan Riyan mulai mendekati Aliyan. Riyan takut membangunkan Aliya. Aliya pasti sedang beristirahat. Semoga saja Aliya sudah sembuh. Riyan cuma ingin memastikan. Kalau adiknya baik-baik saja. Riyan duduk di sudut atas ranjang tidurnya Aliya. Riyan mulai mengecek Aliya. Riyan menaruh tangannya ke kening Aliya. Riyan kaget banget. Ternyata badan Aliya panas banget. Belum lagi di sekitar keningnya banyak keringat. Riyan langsung membalikan tubuhnya Aliya. Yang tadinya semula membelakangi Riyan. Menjadi berhadapan dengan Riyan. "Ya ampun Aliya!" Riyan terkejut. melihat Aliya menggigil. Wajahnya sangat pucat sekali. Reno panik. Sudah berapa lama Aliya seperti ini? Apa sejak dari pagi? Soalnya tadi pagi saat Riyan mau kuliah. Aliya memang sedang tidak enak badan. Sampai Riyan meminta Aliya, agar izin tidak sekolah saja. Apakah dari tadi Aliya seperti ini? Seharusnya tadi Riyan pulang lebih awal saja. Karena tau Aliya sedang sakit. Ia malah menemai Kamila. Riyan menyesal, karena terlalu mementingkan Kamila dulu, di bandingkan adiknya sendiri. Kalau sudah seperti ini. Riyan juga yang bingung dan kerepotan. Riyan harus bagaimana? Ternyata seperti ini rasanya panik. Melihat orang yang ia sayangi sakit. Mungkin Aliya lebih sering merasakan hal ini. Karena Riyan yang selalu sakit. "Kak, kakak," ucap Aliya sangat lemah. Aliya berbicara sambil mengigil. "Iya, sayang kenapa sayang? Kamu butuh apa? Ayo kita kedokter yuk!" ajak Riyan masih dengan cemasnya. "A.. Aku engga.. Enggga apa-apa kak. Tadi aku udah.. Minum obat.. Obat penurun panas.. Sekarang.. Aliya.. Aliya malah kedinginan," ucap Aliya sambil mengigil. Riyan bingung dibuatnya. Kalau lagi demam seperti ini. Seharusnya tidak boleh pakai selimbut. Atau yang tebal-tebal. Harusnya di biarkan pakai yang tipis-tipis, agar panas dalam tubuhnya keluar. Tapi katanya, Aliya kedinginan. Riyan jadi serba salah. "Ya udah. Makannya, ayo kita ke dokter. Biar kamu lebih baik," bujuk Riyan lagi. Agar Aliya mau di ajak ke dokter. Aliya menggeleng keras. "A.. Aliya akan baik-baik aja kok, kak. Kakak.. Kakak.. Engga usah khawatir yah. Biar Aliya istirahat aja. Besok paling udah sembuh," Aliya bersi kukuh menolak untuk di bawa ke dokter. Riyan benar-benar sangat panik. Riyan ingin membawa Aliya ke dokter. Tapi, pak Maman tadi izin pulang cepat. Karena ada keperluan katanya. Bi Sumi juga kemana lagi? Masa engga ngecek kondisi Aliya. "Bik! Bik Sumi!" teriak Riyan. Tak lama bik Sumi datang ke kamar Aliya. "Ada apa tuan?" tanya bik Sumi setengah bingung. Kenapa majikannya sampai teriak-teriak memanggilnya? Apa bik Sumi melakukan kesalahan? Itu yang terbesit dalam pikiran bik Sumi. "Aliya sakit dari tadi bik? Kenapa engga bilang Riyan? Tadi pagi Riyan memang ngeliat Aliya sakit. Tapi sekarang kayanya lebih parah. Aliya demam sama mengigil," jelas Riyan sangat panik. "Tadi memang non Aliya juga sempet muntah-muntah tuan. Karena mungkin belum makan dari pagi. Pas bibik mau telepon tuan Riyan. Non Aliya larang bibik. Bibik jadi engga bisa hubungi tuan Riyan," sesal bik Sumi. Bik Sumi sama kagetnya saat melihat kondisi Aliya saat ini. Seharusnya tadi bik Sumi nekat saja, buat menghubungi Riyan. Beda lagi ceritanya, kalau bik Sumi telepon Riyan. Mungkin saja Aliya sudah di bawa ke dokter sejak siang tadi. "Muntah-muntah bik? Ya Allah. Harusnya bibik tetep telepon aku. Ya udah aku mau bawa Aliya ke dokter aja," Riyan sudah sangat cemas. Aliya mulai samar-samar melihat Riyan dan bik Sumi. Suara mereka semakin mengecil. Matanya mulai remang-remang. Kegelapan mulai menjemputnya. Aliya melemas dan pingsan. Melihat Aliya pingsan. Riyan sudah kehabisan pikrian. Aliya langsung di gendong Riyan. Riyan menuruni anak tangga satu per satu dengan cepat. Riyan harus cepat membawa Aliya ke dokter. Tapi kemana? Riyan memasukan Aliya ke mobil. Aliya di dudukan di samping kemudi. "Sabar ya, adik ku sayang. Kamu pasti kuat. Kakak bawa kamu ke klinik deket sini," ucap Riyan yang jelas Aliya tidak akan mendengarnya. Karena saat ini Aliya pingsan. Dengan panik, Riyan menjalankan mobilnya menuju klinik. Yang terbesit di pikirannya adalah klinik apotek Medical Sehat. Tempat Raisa. Semoga saja apotek belum tutup. Soalnya sekarang waktu menujukan pukul sepuluh kurang lima menit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD