Part 5 - Riyan Dirgantara Andiwinata

2246 Words
Part 5 - Riyan Dirgantara Andiwinata Rumah megah dan besar sangat terlihat gagah. Dengan cat seba putih dan ornamen yang artistik, membuat rumah itu menjadi indah. Rumah design khas eropa itu sangat elegan sekali. Dipadu dengan marmer yang sangat mengkilap. Dan tentunya pasti sangat mahal. Rumah seperti hotel bintang lima ini, adalah milik keluarga Andiwinata. Keluarga Andiwinata adalah perusaan fashion terbesar seasia. Makannya Hardi Dirgantara Andiwinata dan Diandra Lufina Andiwinata, istrinya. Tidak pernah ada di rumah. Mereka selalu keliling ke luar negeri. Untuk memantau bisnisnya. Diandra adalah istri, sekaligus partner kerja Hardi. Diandra adalah tangan kananya Hardi. Makanya Diandra selalu ikut kemanapun Hardi pergi. Mereka berdua jarang ada di rumah. Sayang sekali, rumah sebesar itu tidak bisa mereka menikmati. Yang puas menikmati adalah orang yang bekerja di rumahnya. Dan anak-anak mereka tentunya. Penghuni intinya hanya dua orang saja. Sisanya hanya asisten rumah tangga, tukang kebun dan petugas keamanan alias security. Rumah-rumah mewah memang suka sedikit penguni aslinya. Sisanya hanya yang bekerja. Karena mereka terlalu sibuk cari uang. Jadi rumah hanya sebatas tempat singgah. Kala lelah saja. Mereka lebih asik mengejar uang, di bandingkan santai tinggal di rumah. Padahal sudah kaya, tapi masih aja uang di cari. Memang manusia itu tidak pernah puas. Tidak akan pernah merasa cukup. Kini seorang cowok muda sedang bersantai di taman. Taman di rumah ini, cukup luas. Banyak pohon pohon rindang di sekitar rumah megah itu. Jadi keliatannya sangat teduh. Tidak gersang. Cowok itu menghampiri kolam ikan di taman. Ia memberikan makanan pada ikan-ikan koi, miliknya. Ikan Koi itu sangat mudah bersahabat. Ikan itu selalu menghampiri tangan tuannya, saat tuannya memasukan tangannya ke kolam. Mungkin mereka mengira, tuannya akan memberikan makanan. Padahal kadang tuannya, hanya ingin bermain dengan ikan koi itu. "Makan yang banyak yah, ikan-ikan ku," ucap cowok bertubuh tinggi itu. Tubuhnya yang tinggi kurus itu. Membuat cowok itu terlihat ramping. Matanya sedikit sipit, hidungnya mancung bak prosotan. Kulitnya putih pucat, untuk ukuran cowok. Kulit putihnya memang terlihat lucat. "Tuan Riyan, ini minumannya. Saya simpan di meja saja yah," ucap bik Sumi pada cowok muda tadi. "Iya, bik. Makasih jus alpukatnya," balas cowok muda tadi. Yang ternyata bernama Riyan. Riyan Dirgantara Andiwinata adalah anak sulung di keluarga Andiwinata. Sifatnya sangat ramah dan baik hati. Ia selalu menghormati orang lain. Termasuk asisten rumah tangganya. Katanya tanpa asisten rumah tangga. Kita tidak bisa mengerjakan, pekerjaan rumah sendiri. Memang ia sih. Makannya, Riyan menganggap asisten rumah tangganya. Dan semua yang kerja di rumahnya itu. Bagaikan sodaranya sendiri. Riyan tidak membeda-bedakan status sosial mereka. Karena di mata Tuhan, semua orang sama. Itu prinsip Riyan. Keluarga Andiwinata ini juga mempunyai garis keturunan China. Pantas saja Riyan terlihat sipit matanya. Wajahnya juga oriental. Meski lahir di Indonesia. Tapi faktor genetik mempengaruhi wajah Riyan. Riyan berjalan menuju kursi santai di samping kolam. Kemudian ia ambil jus di meja. Dan meminum jus alpukat buatan bik Sumi. "Bik Sumi memang paling the best deh. Kalo bikin jus alpuket. Manisnya pas, rasanya juga enak banget," puji Riyan pada bik Sumi. Bik Sumi adalah asisten rumah tangga keluarga Andiwinata. Bik Sumi ini paling dekat dengan Riyan dan adiknya Riyan. Di rumah itu yang bekerja ada empat pembatu rumah tangga. Tiga tukang kebun. Satu supir. Dan empat security. Totalnya ada dua belas orang yang bekerja. Tapi hanya dengan bik Sumi dan pak Maman supirnya. Mereka dekat, karena bik Sumi dan pak Maman sudah lama bekerja di keluarga Andiwinata. Pak Maman dan bik Sumi, bekerja sebelum Riyan lahir kedunia ini. Mereka adalah pembantu dan supirnya Hardi saat masih muda. Jadi tak salah, kalau Riyan dan adiknya lebih dekat dengan bik Sumi dan pak Maman. "Tuan bisa aja nih," bik Sumi tersipu malu. "Sekali lagi makasih, ya bik. Oh iya, Aliya lagi kemana sih?" tanya Riyan. Aliya adalah adiknya Riyan. Aliya Diandra Andiwinata adalah anak kedua, dari keluarga Andiwinata. Riyan sangat menyayangi adik semata wayangnya itu. Hanya Aliya yang tau rahasia terbesarnya Riyan. Karena di rumah sebesar ini. Hanya pada Aliya, Riyan selalu bercerita. Selalu curhat keluh kesahnya pada Aliya. Keluarga Andiwinata hanya mempunyai dua anak. Yaitu Riyan anak pertama dan Aliya anak kedua. Sejak lahir, Diandra tidak pernah mengurus mereka berdua. Anak-anaknya langsung di urus oleh baby siter dan di bantu bik Sumi.Bukannya tidak sayang. Malah sayang sekali. Kalau sekalinya pulang ke rumah. Diandra pasti memanjakan anak-anaknya. Apapun yang anaknya minta selalu Diandra turuti. Kecuali untuk tinggal di rumah sih. Diandra belum bisa mengabulkan permintaan itu. Karena di satu sisi. Hardi juga membutuhkan kehadirannya. Berada di samping Hardi, membuat Diandra bisa lebih memantau Hardi. Meskipun sama-sama sibuk. Tapi setidaknya, mereka masih bisa bertemu setiap hari. "Katanya sih mau kerja kelompok dulu sama teman-temannya, tuan. Sebentar lagi nona Aliya pasti pulang," jawab bik Sumi. "Oh pantas saja. Engga keliatan dari tadi. Kok dia ga bilang yah? Biasanya mau kemana-mana pasti bilang aku dulu," Riyan memang selalu mencemaskan Aliya. Bisa di bilang Riyan terlalu over protecrive pada Aliya. Sebetulnya wajar saja Riyan sebagai kakaknya, mempunyai sifat seperti itu. "Bibi kira, non Aliya izin tuan Riyan dulu," ujar bik Sumi sedikit gelagapan. Secara tidak langsung dia yang sudah memberitahu, kalau Aliya sedang berada di luar rumah. "Ya udah engga apa-apa bik. Biar nanti Riyan aja yang telepon Aliya," ujar Riyan. Ia merespon ekspresi wajah bik Sumi, yang mulai merasa bersalah. "Ya udah tuan. Bibi ke belakang dulu," pamit bik Sumi. Setelah itu bik Sumi langsung pergi dari taman. Riyan mengambil ponselnya yang terletak di meja. Riyan langsung menekan nomor Aliya dan segera menghubunginya. Harap-harap cemas Riyan, menunggu panggilannya di angkat oleh Aliya. Tapi masih belum di angkat juga. Riyan kembali mencoba menghubungi Aliya. Riyan tidak mau menyerah, sampai Aliya mengangkat teleponnya. "Hallo kak. Iya ada apa?" tanya Aliya saat panggilan telepon Riyan, terhubung. "Kamu di mana? Kata bik Sumi kamu lagi kerja kelompok. Bener?" berondong pertanyaan terlontar dari mulut Riyan. Riyan mencemaskan Aliya. "Iya kak," jawab Aliya singkat. "Kok kamu engga bilang kakak?" protes Riyan. "Aku bilang kok kak. Semalem kan kakak tidur cepet. Jadi kayanya engga kedengeran. Kakak pasti udah tidur, pas Aliya minta izin ke kakak," Aliya mulai mencari alibi. Mana bisa coba minta izin sama orang yang lagi tidur. Ngaco nih Aliya. Ya jelas lah, engga bakalan nyaut. "Kebiasaan deh kamu, minta izin pas kakak tidur. Mana bisa kakak denger," akhir-akhir ini memang Riyan, selalu tidur cepat. Memang kondisi tubuhnya juga sedang tidak sehat. Riyan sedang terkena flu, jadi setelah minum obat selalu mengantuk. Mungkin karena efek samping dari obat itu. "Iya, Iya, maaf kak. Bentar lagi aku pulang kok," sesal Aliya. Sebelum mendapatkan ocehan lagi dari kakaknya. "Mau di jemput sama pak Maman?" tawar Riyan. Dia memang tidak pernah mengizinkan Aliya naik kendaraan umum. Katanya rawan bagi cewek yang naik kendaraan umum. Apalagi itu posisinya adiknya Riyan. "Engga usah ka," tolak Aliya. "Terus kamu pulangnya sama siapa? Ini udah sore. Jangan bilang, kamu mau pulang pake taksi? Kakak engga izinin," terlihat sekali Riyan sangat cemas pada adiknya. Riyan terlalu menjaga Aliya. Sampai kadang Aliya juga sedikit risih. Tapi Aliya juga sama. Engga kalah over protectivenya pada Riyan. Kadang juga bikin Riyan risih dibuatnya. "Aliya pulang sama Digo kok, kak. Tenang aja yah. Kaka istirahat aja. Gimana flunya udah agak mendingan?" tanya Aliya mengalihkan pembicaraan. Digo itu sahabatnya Aliya. Aliya memang menganggapnya sebagai sahabat. Tapi akhir-akhir ini, Digo jadi aneh. Hal itu membuat Aliya jatuh cinta pada Digo, sahabatnya. "Udah agak mendingan sih. Tinggal pusingnya aja, biar nanti kakak ke apotek Medical Sehat lagi, buat beli obat. Ya udah, syukur, kalo kamu pulang sama Digo. Hati-hati yah, bilang ke Digo. Jangan ngebut-ngebutan," Riyan mewanti-wanti Aliya. "Iya, kakak cerewet bin bawel. Hahaha," ledek Aliya sambil menutup teleponnya. Kalau tidak, pasti Aliya sudah dapat ceramah dari Riyan. Tut. Tut. Tut. Telepon terputus "Rese banget ni anak. Di cemasin malah ngeledek. Uhuk.. Uhuk.." gerutu Riyan sambil terbatuk. Sepertinya memang Riyan belum pulih sepenuhnya. Sembuh dari flu. Malah batuk yang melanda. ******** Aliya sampai di rumah pukul tujuh tiga puluh. Aliya di antar Digo sampai rumah. Tapi Digo langsung pergi tidak mampir dulu ke rumah Aliya. Aliya sengaja meyuruh Digo pulang. Tanpa beremu Riyan. Karena sebetulnya, Alya takut Digo di marahin Riyan. Karena mengantarkan adiknya, terlambat pulang ke rumah. Riyan sudah duduk di sofa ruang tamu. Riyan melipat tangan di dadanya, saat Aliya masuk rumah. Sepertinya Riyan akan marah nih. "Kenapa jam segini baru pulang? Katanya bentar lagi pulang. Tapi malah terlambat pulang," tegur Riyan halus. Sebetulnya tadi usai kerja kelompok. Aliya pergi nonton dulu dengan Digo. Makannya Aliya pulang terlambat. Salah Aliya juga sih. Dia yang ngajak Digo nonton, karena ada film bagus, yang baru saja tayang hari ini. Aliya tau, hal ini akan membuat Riyan, kakaknya marah. Tapi gimana lagi. Aliya ingin sekali nonton film itu. Aliya pikir, tenang saja. Karena Riyan tidak pernah marah sama Aliya. Hanya sedikit cerewet bin bawel saja. Seperti kata Aliya. Jadi tadi Aliya santai saja. Aliya tidak menyangka, kalau kakaknya ternyata sampai menunggu Aliya pulang. "Maaf kak, tadi Aliya nonton dulu sama Digo. Soalnya ada film bagus, yang baru tayang hari ini. Jadi Aliya yang ngajak Digo nonton," sahut Aliya jujur. Aliya memang tidak bisa bohong pada kakaknya. Riyan menghela nafas panjangnya, "Ya udah. Engga apa-apa. Lain kali bilang yah sayang. Kalo kamu mau terlambat pulang," tuh kan benar? Riyan memang paling tidak bisa marah. Apalagi pada Aliya adiknya. Riyan hanya menegur saja. Tanpa marah. Riyan memang kakak yang baik. "Iya kak," Aliya memperhatikan wajah Riyan yang pucat. Sepertinya Riyan masih sakit. Aliya jadi merasa bersalah, karena meninggalkan Riyan nonton. Harusnya Aliya bisa pulang cepat. Untuk menemani kakaknya yang sedang sakit. "Kakak masih sakit?" tanya Aliya sambil menempelkan punggung tangannya, ke kening Riyan. Dan ternyata benar. Riyan sedang sakit. Keningnya panas sekali. Riyan yang di tanya malah diam. "Ya ampun kakak panas banget. Kakak udah minum obat? Apa Aliya harus bawa ke dokter? Atau Aliya telepon dokter aja yah biar periksa di rumah," rempet Aliya mencemaskan kakaknya. "Engga usah, Al. Kamu beliin obat penurun panas sama obat batuk aja di apotek ujung jalan. Apotek Medical Sehat namanya," sanggah Riyan. "Kakak perlu ke dokter, kak. Jangan menyepelekan penyakit ringan. Ini udah seminggu lebih loh. Kondisi kakak belum membaik juga. Kalo ke dokter kan jadi tau sakitnya apa. Terus harus di kasih obat apa. Jangan beli sembarangan obat. Meskipun kita beli obat di apotek. Belum tentu kan cocok sama kaka. Ayo kita ke dokter! Jangan bandel!" omel Aliya. Engga kalah over protective bukan? Hehehe "Biar dokternya aja yang di panggil ke sini, Al. Kakak malas ke luar," ucap Riyan lemas. "Ya udah. Nanti Aliya telepon dokternya dulu. Sekarang kakak istirahat aja di kamar. Kakak harus istirahat yah. Maaf udah bikin kakak cemas," sesal Aliya. "Engga apa-apa kok. Kakaknya aja yang terlalu khawatir sama kamu," sangkal Riyan. Setelah itu, Aliya memapah Riyan menuju kamarnya. Di kamar Riyan, Aliya membantu kakaknya untuk berbaring. Imun Riyan memang lemah. Riyan itu gampang sakit. Tidak seperti Aliya yang kuat. ******** Dua puluh menit kemudian. Dokter datang setelah dua puluh menit di telepon Aliya. Cukup lama sih. Untungnya Riyan tidak sedang konsisi gawat darurat. Kalau sedang gawat. Bisa terlambat juga menanganinya. Itu malah akan berakibat fatal. Dokter itu masuk kedalam kamar. Dokter itu memeriksa kondisi Riyan. Sengaja Aliya tidak ikut masuk ke dalam kamar. Aliya membiarkan dokternya fokus memeriksa Riyan. Selang sepuluh menit, dokter itu keluar. Aliya langsung mendekati dokter itu. "Gimana kondisi kakak saya, dok?" tanya Aliya. "Sepertinya kakak kamu kena gejala typus. Untuk memastikannya, tadi saya ambil sampel darahnya. Untuk di periksa di lab rumah sakit. Ini juga saya resepkan obat untuk di tebus," jelas dokter itu. Sambil memberikan selembar resep pada Aliya. "Ya ampun kakak. Tapi kakak engga apa-apa kan? Hanya perlu obat saja?" tanya Aliya sangat cemas. "Untuk kali ini saya kasih obat dulu saja. Nanti kalau hasilnya positiv typus. Terpaksa Riyan harus di rawat di rumah sakit," jelas dokter lagi. "Astaghfilullah, kakak. Dok, kakak kan udah dua kali kena typus. Masa sekarang kena tyus lagi?" tanya Aliya heran. Dokter itu tersenyum, "Aliya, kakak kamu itu memang sisem imunnya lemah. Jadi gampang terserang penyakit. Makannya dia sering sakit-sakitan. Tadi saya juga sudah meresepkan vitamin buat daya tahan tubuhnya. Kalau setelah pulang saya, Riyan semakin memburuk. Bawa saja langsung ke rumah sakit. Meskipun hasil lab belum keluar. Riyan positiv typus apa bukan. Untuk jaga-jaga saja. Karena kondisi Riyan bisa saja pulih atau semakin memburuk," terang dokter panjang lebar. Dokter itu memang dokter keluarga Andiwinata. Makannya dokter itu tau tentang kondisi kesehatan Riyan. Sebetulnya baru enam bulan ini, Riyan berobat kepada dokter ini. Sebelumnya pada kakaknya dokter itu. Karena kakaknya harus study ke luar negeri. Jadi di gantikan oleh adiknya. Semoga saja keahlianya sama seperti kakaknya. "Iya, dok," "Kamu jangan khawatir. Tadi saya sudah kasih infusan kok ke Riyan. Nanti kalau sedikit lagi mau habis. Kamu stop dan cabut aja jarum infusnya. Kamu masih ingat kan caranya?" tanya dokter itu. "Masih kok," Aliya memang pernah di ajarkan oleh dokter itu. Tentang bagaimana cara menyetop infusan. Dan cara mencabut infusan. Soalnya sudah dua kali Riyan kena Typus. Ini yang ke tiga kalinya. Jika dinyatakan lagi typus. Malang sekali Riyan harus sakit-sakitan terus seperti ini. "Baik, saya pamit pulang dulu. Jangan lupa tebus resep obatnya yah. Berikan sesuai aturan pakai obat," setelah pamit pada Aliya. Dokter itu pun pulang. Aliya segera menyuruh pak Maman untuk menebus resep itu. Sementara Aliya kembali ke kamar Riyan. Mengecek kondisi kakaknya. Memantau infusan yang telah di berikan oleh dokter itu. Kalau sedikit lagi mau habis. Aliya harus menyetopnya. Kemudian mencabut infusannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD