Part 8 - Cowok Misterius itu...
Apotek Medical Sehat
Minggu pagi yang sangat cerah. Paling seru pergi jalan-jalan keluar, ketika weekend tiba. Apalagi cuacanya cerah, sangat mendukung untuk bersenang-senang.
Tapi tidak bagi Raisa. Hari minggu pagi ini, ia harus jaga apotek. Tadinya mau ambil libur. Tapi engga jadi. Karena ia harus gantian jaga di hari minggu. Kebetulan Raisa pagi ini, jaga sama Laila dan Adit. Harusnya ada Laila yang menemani Raisa di ruang racik. Tapi Laila sakit, hari ini tidak masuk. Adit harus anter barang pesan klinik Medical Sehat. Jadi Raisa sendirian di apotek. Untungnya hari minggu klinik tutup. Yang kerja di klinik juga hanya beberapa. Hanya UGD yang buka dua puluh empat jam. Itu juga dokter jaganya kadang ada, kadang engga. Kalau ada pasien gawat darurat. Barulah dokter jaga itu di panggil. Hari minggu emang jatahnya apotek nganter barang dan obat-obatan ke klinik.
"Permisi, saya mau tebus obat biasa," ucap cowok misterius itu.
"Iya, mas. Sebentar ya," Raisa mengambilkan obat cowok misterius itu ke ruang racik. Raisa membaca resepnya.
R/ Digoxinum 2mg
Bisoprolol Fumarate 40mg
Niphediphe
Furosemida 40 mg
Pro: Riyan Dirgantara Andiwinata
Usia: 23th
Alamat: Jl. Merpati putih no. 8 Jakarta Selatan
Ya ampun, udah hampir tujuh bulan aku racik obat ini. Kok aku baru nyadar. Orang yang minum obat ini ternyata masih muda. Kasian banget dia tiap bulannya, obatnya di tambah terus. Sakitnya parah banget lagi. Apa obat ini untuk adik atau sodaranya cowok itu yah? Eh Rai. Kok kamu jadi kepo gini. Udah ah, gumam Raisa dalam hati.
Raisa kembali ke depan, untuk memberikan obat pada cowok misterius itu.
"Ini mas. Di minum seperti biasa yah. Saya udah tuliskan aturan pakainya di etiket," jelas Raisa.
"Makasih, ya. Oh iya, mbak ga kuliah?" tanya cowok misterius. Tumben nanya-nanya. Biasanya udah dapet obat langsung pergi dari apotek.
"Ko tau aku kuliah?" tanya Raisa. Tau dari mana cowok itu, kalau Raisa kuliah?
"Biasanya, kalo pagi-pagi aku tebus obat. Mbaknya suka engga ada ga ada. Kata temannya sih, mbak kuliah," jelas cowok misterius itu.
"Oh gitu. Iya, mas. Kebetulan kan ini hari, hari minggu jadi aku libur kuliah. Mas ini, rajin banget sih nebus obat ini tiap minggunya," Raisa berusaha seramah mungkin pada pasiennya
"Harus dong, kan biar cepet sembuh. Mbak namanya Raisa kan?" tanya cowok misterius itu lagi.
Lagi-lagi Raisa bingung di buatnya. Tadi tentang kuliah Raisa. Sekarang cowok itu tau namanya. Raisa saja tidak tau, nama cowok misterius itu.
"Ko tau sih? Masnya ini peramal yah?" canda Raisa mencoba akrab. Engga ada salahnya juga akrab sama pasien langganan.
"Tuh," cowok misterius itu, menunjukan name tag yang ada di d**a sebelah kiri Raisa. Jelas sekali tertera nama Raisa di sana. "Ada nama mbak di name tagnya,"
Raisa menggaruk kepalanya yang tak gatal, sambil nyengir kuda. "Oh iya. Hhee kalo nama masnya siapa?" Raisa kepo. Masa udah tujuh bulan bertemu. Tidak tau nama sama sekali. Wajar saja Raisa bertanya pada cowok misterius itu.
Cowok itu mengulurkan tangan sebelah kanannya, maksudnya mau kenalan sama Raisa. Raisa pun ikut mengulurkan tangan sebelah kanannya "Aku Riyan,"
"Riyan? Sebentar. Sebentar," Raisa serasa ingat sesuatu. Diamana tadi ia menemukam nama Riya. Aha! Raisa ingat. Di resep cowok misterius itu. Itu artinya...
"Jadi kamu yang sakit?" tanya Raisa pada cowok misterius itu, yang ternyata bernama Riyan. Cowok itu keliatan kaget banget. Persis seperti maling yang tertangkap basah, saat mencuri.
"Ammmhh..." cowok itu tampak sedang berpikir. "I i i iya.. Ssstttttt.. Jangan keras-keras. Aku engga mau, sampai orang lain tau. Berhubung mbak udah tau. Mbak jangan bilang siapa-siapa ya. aku malu," pinta Riyan, cowok misterius itu.
"Malu? Malu kenapa mas? Jadi engga ada yang tau tentang penyakit mas?" kepo bin ingin taunya Raisa kumat. Ia ingin tau saja mengenai Riyan.
"Malu aja. Aku kan masih muda. Punya penyakit separah ini. Di rumah cuma adik sama dua asisten rumah tangga yang tau, kalo aku sakit," jawab Riyan lirih.
"Mas jangan malu. Bukan cuma mas aja. Banyak kok anak muda yang sakit, kaya mas. Bahkan lebih parah," ucap Raisa.
"Iya juga sih, mbak. Ya ampun mbak, panggil aja aku Riyan. Emang aku ketuaan ya? Sampe harus di bilang mas?" tanya Riyan. Hal itu membuat Raisa salting alias salah tingkah.
"Iya, deh mas. Eh Riyan. Engga ketuaan kok. Aku kan cuma menghargai pelanggan aja. Maaf ya, Riyan aku jadi kepo," sesal Riasa.
"Ga apa-apa. Tapi kamu janji ya jangan sampai bilang sama siapa-siapa, cukup orang-orang di apotek aja yang tau," Riyan terus mewanti-wanti Raisa. Ia benar-benar tak mau. Kalau penyakiynya di ketahui orang banyak. Riyan paling sebal, jika di perlakukan berbeda. Apalagi kalau di kasihanin. Benci sekali. Seakan dia mau mati besok saja. Kemarin saja saat Riyan kena Typus. Sahabat-sahabatnya khawatirnya minta ampun. Apalagi kalau sampai sahabatnya tau , Riyan sakit parah. Yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya.
"Iya, iya. Janji dong. Masa iya aku mau bikin pengumuman, kalo kamu sakit. Oh iya, by the way. Kalo boleh tau, dari kapan kamu sakit jantung?" tanya Raisa hati-hati. Raisa takut menyingung Riyan. Sebetulnya pertanyaannya sangat sensitif. Riyan terlihat diam mungkin, Riyan tidak suka dengan pertanyaan Raisa. "Kalau kamu engga mau jawab. Engga apa ko. Maaf aku terlalu kepo," buru-buru Raisa meralat perkataanya.
Riyan menatap lurus ke satu arah. "Dari kecil, Rai. Papa sama mama aku aja, mereka bahkan ga tau aku sakit. Aku cuma tinggal berdua di rumah. Aku sama adik aku. Eh ada juga sih asisten rumah tangga sama supir aku. Dan ada juga petugas keamanan. Tapi cuma bik Sumi, asisten rumah tangga aku. Sama supir aku pak Maman. Jadi yang tau penyakit aku cuma mereka. Mereka yang selalu ada saat aku kesakitan," curhat Riyan. Kirain Riyan diam, karena tersinggung dengan pertanyaan dari Raisa. Ternyata Riyan malah curhat panjang lebar.
"Ya ampun, maaf ya Riyan. Aku jadi ikut campur urusan kamu. Maaf aku dah lancang kepo sama kamu," Raisa merasa tidak enak pada Riyan. Pasalnya baru hari ini mereka saling kenal. Raisa udah berani-beraninya menanyakan hal yang sensitif. Yang bagi sebagian orang itu, menjadi rahasia yang tidak boleh sembarangan orang tau. Raisa malu, karena terlalu penasaran dengan Riyan cowok misterius itu.
"Santai aja kali. Oh, iya. Aku mau nanya-nanya boleh?" tanya Riyan.
"Tanya apa?" Raisa malah balik nanya.
"Tapi kamu sibuk engga?"
Raisa malah melihat sekitar apotek. Rasanya apotek masih sepi. Itu mungkin, karena hari ini hari minggu. Klinik kan tutup, jadi pasien klinik tidak ada yang menebus obat ke apotek. Hanya beberapa oelanggan apotek saja yang berdatangan. Ini juga masih pagi. Biasanya siang aga ramean.
"Engga terlalu sih. Taoi nanti siang, apotek pasti bakalan ramai," jawab Raisa.
Sebelum melanjutkan percakapan mereka. Adit masuk ke dalam apotek. Riyan menahan pertanyaannya dulu.
"Rai, Laila ga masuk kan hari ini?" tanya Adit.
"Iya nih, Dit. Tiba-tiba sakit. Katanya sih diare. Kayanya dia salah makan," jelas Raisa.
"Ya ampun. Dia itu emang suka kebiasaan banget makan pedes. Mungkin aja gara-gara makan pedes lagi,"dumal Adit. Adit tidak menyadari, kalau ada Riyan. Adit melirik kesamping apotek. Ternyata Adit baru sadar, kalo masih ada pasien apotek yang Raisa layani. Yaitu Riyan. "Eh mas maaf, saya kira engga ada yang beli," sesal Adit malu, karena sudah ngomel-ngomel engga jelas soal Laila.
"Engga apa kok, mas," ujar Riyan sambil tersenyum. Dengan malu, Adit pamit ke belakang. Mungkin dia langsung ke gudang. Untuk meyetok barang dan melihat barang apa saja yang sudah habis. Adit harus menulisnya di buku defecta. Agar senin, barang dan obat-obatan yang habis. Bisa di pesan ke PBF.
"Kayanya kamu memang bakalan sibuk hari ini. Nanti aja deh aku nanyanya. Oh, iya. Ini kartu nama aku. Kalo boleh aku minta nomor kamu. Kamu langsung w******p aja nomor aku. Itu juga, kalo kamu mau ngasih sih," setelah itu Riyan akan pergi dari apotek. Berhubung Raisa tidak merespon dirinha. Itu berarti Raisa tidak mau memberikan nomor hapenya. Riyan sudah melangkah pergi menuju pintu apotek.
"Riyan! Riyan! Tunggu!" panggil Raisa. Riyan yang merasa di panggil namanya. Ia kembali menghampiri Raisa.
"Ada apa Raisa?"
Raisa menuliskan sesuatu di secarik kertas. Tepatnya di etiket obat sih."Ini," Raisa menyerahan etiket obat, yang sudah ia tuliskan sesuatu di sana.
Riyan melihatnya sambil tersenyum, "Dokter Raisa? Jadi kamu dokter, terus ini nomor kamu?" Raisa memang menuliskan nomornya di etiket itu. Dia juga menulis dokter Raisa di etiket itu.
"Iya itu nomor hape aku. Emmhh.. Sebetulnya masih calon dokter sih. Aku mahasiswa tingkat akhir kedokteran," ujar Raisa.
"Oh gitu. Ternyata aku kenalan sama orang yang tepat. Kamu lucu juga ternyata. Padahal kamu engga usah repot-repot nulis nomor hape kamu. Kan tadi aku udah ngasih kamu kartu nama. Jadi tinggal kamu whatsappin aja nomor kamu," terang Riyan sambil menahan tawanya.
"Hehe oh iya yah," mendadak Raisa jadi bodoh.
"Ya udah, nanti malem kamu sibuk ga? Kamu pulang jam berapa dari apotek? " tanya Riyan.
"Engga kayanya. Aku pulang jam tiga seperti biasa. Memangnya ada apa?" tanya Raisa penasaran.
"Ada hal yang aku mau tanyakan, soal penyakit aku. Mungkin sedikitnya kamu pasti tau kan? Apalagi kamu itu kuliah kedokteran. Otomatis calon dokter pasti tau tentang penyakit aku," terang Riyan. Entah kenapa Riyan ingin menanyakan sesuatu hal pada Raisa. Padahal bisa saja kan dia tanya lada dokter yang menanganinya sekarang. Bukan pada Raisa. Yang hanya asisten apoteker. Iya sih, Raisa itu kuliah kedoktera. Ia juga calon dokter. Tapi dokter spesialis tentunya lebih berpengalaman dan mempunyai wawasan yang luas. Di bandingkan Raisa. "Kamu ada waktu kan nanti malam?"
Raisa mengangguk tanpa berkata. "Oke. Nanti aku w******p kita ketemuan di mana. Engga jauh dari apotek ko. Kalo gitu, sampai ketemu nanti malam," pamit Riyan. Kali ini Riyan benar-benar pergi dari apotek.
Raisa malah ngeliatin punggung Riyan yang semakin menjauh. Dan menghilang. Riyan itu, kalau di lihat-lihat seperti seorang aktor muda, yang lagi naik daun sekarang sekarang. Kalau engga salah Fabio Gunawan namanya.
"Heh bengong aja!" tegur Adit mengejutkan Raisa. Yang asik membayangkan si Riyan itu Fabio Gunawan.
"Rese lo! Udah beres nyetok barangnya?" tanya Raisa.
"Udah, Rai. Aku kayanya perlu orang gudang deh, Rai. Apa kamu masih buka lowongan kerja?" tanya Adit.
"Masih ada kok. Boleh, Dit. Tadinya aku juga mau cari. Tapi barang kali kamu ada orang yang mau kerja?" Raisa memang selalu berdiskusi dengan Adit, kalau soal karyawan dan hal lainnya di apotek. Bagaimanapun Adit adalah senior Raisa di apotek. Raisa dulu panggil Adit dengan sebutan kakak. Tapi Aditnya yang tidak mau. Jadi saja hanya menyebut nama saja. Katanya Adit, dia belum setua itu di panggil kakak. Karena Raisa dan Adit hanya terpaut satu tahun saja. Adit usia dua puluh empat tahun. Dan Raisa usia dua puluh tiga tahun.
"Ada sepupu aku yang baru lulus SMK Farmasi. Boleh kan dia kerja di sini?"
Raisa mengangguk, "Boleh kok. Ya udah besok dia langsung kerja aja yah. Biar kerjaan kamu ringan," Raisa langsung menyetujuinya.
"Loh, engga perlu tes sama interview dulu?"
"Engga usah, kaya yang ke siapa aja. Nanti biar aku yang bilang sama mama. Mama pasti setuju kok," ucap Raisa.
Adit langsung senang dengan perkataan Raisa. Beruntungnya Adit punya partner kerja yang baik seperti Raisa dan dokter Rina. Ia bisa membantu sepupunya untuk bekerja. Karena zaman sekarang sangat sulit, untuk mencari pekerjaan.
********
Caffe Pelangi.
Suasana cafe tidak terlalu ramai hari ini. Biasanya kalau hari weekend rame banget. Malam ini hanya beberapa saja yang nongkrong. Cafe pelangi hanya berjarak beberapa meter dari Apotek Medical Sehat. Bisa di tempuh dengan berjalan kaki. Tempat pinggir jalan memang sangat trategis, untuk membuka usaha.
Terlihat Riyan sudah menunggu di cafe pelangi. Riyan sedikit gelisah, karena yang di tunggu tak kunjung datang. Tadi pukul dua siang, Riyan mengabarkan pada Raisa. Tentang pertemuannya malam ini. Riyan juga memberitau, kalau Riyan akan menunggu Raisa di cafe pelangi. Riyan bilang sih jam lima sore. Tapi ini sudah mau jam tujuh malam. Raisa belum datang juga.
"Sorry Riyan, aku terlambat.Tadi di apotek rame banget. Karena ada yang ke racunan makanan. UGD klinik jadi rame pasien. Otomatis aku juga ikut bantuin mereka yang di klinik. Duh aku kira kamu udah pulang. Ternyata masih nungguin di sini. Aku mau ngabarin kamu, hapenya mati. Habis batre kayanya," rempet Raisa saat datang ke caffe pelangi.
Riyan malah terkekeh. Ia harus menahan tawanya. "Udah duduk dulu. Kamu pasti cape kan? Mau aku pesenin minum?" Raisa mengangguk sambil ngosh-ngosan. Soalnya selesai kerjaannya di klinik. Raisa langsung lari ke caffe Pelangi, tempat janjiannya dengan Riyan. Raisa takut Riyan akan menunggunya. Tadinya Raisa ingin sekali pulang. Karena sudah terlalu lelah. Tapi Raisa terus kepikiran Riyan. Dan benar saja. Riyan masih menunggu Raisa di caffe itu.
"Ini minum aja air ini. Belum aku buka kok," Riyan memberikan air mineral yang tertengger di meja. Riyan memang selalu membawa air mineral kemasan, kemana-mana. Untuk jaga-jaga saja. Kalau Riyan kambuh. Ada air yang membantunya untuk minum obat.
Tanpa di pikir, Raisa langsung menekak setengahnya. "Maaf yah, aku aus banget," ucap Raisa sedikit malu. "Kamu kenapa engga pulang aja? Ini udah telat tiga jam dari perjanjian kita loh!"
"Engga apa-apa kok, Rai. Aku tau kesibukan kamu kok. Malah aku salut sama kamu. Harusnya kamu engga usah maksain dateng ke sini juga, kan kasian kamu kecapean," Riyan malah jadi enggak enak sama Raisa.
"Itu udah jadi tugas aku kok, maaf yah aku telatnya kebangetan," sesal Raisa. Pasti bete banget nunggu di caffe, selama tiga jam. Mana Riyan lagi sakit pula.
"Iya engga apa-apa. Santai aja sama aku mah. Lagian rumah aku juga deket kok di sekitar sini. Tuh jalan merpati putih," ujar Riyan santai.
"Iya aku tau, aku liat alamat kamu dari resep yang biasa kamu tebus. Oh iya katanya kamu mau ada yang di tanyain. Tanya apa sih?" Raisa penasaran, sebetulnya Riyan mau nanya apa. Sampai bela-belain nungguin Raisa selama tiga jam di caffe. Katanya sih tentang penyakitnya. Tapi kan ada dokter. Kenapa harus ke Raisa?
"Menurut kamu, apa aku masih bisa sembuh?" pertanyaan ambigu itu muncul dari mulut Riyan.
"Kok kamu nanya gitu sih?"
"Aku sakit udah dari kecil loh, Rai. Aku udah gonta ganti dokter. Banyak yang nyerah sama penyakit aku. Apa penyakit aku separah itu? Rasanya aku ingin berhenti berobat. Karena minum obat engga minum. Sama aja ko. Tetep aja masih suka kambuh. Malah makin hari sakinya makin bertambah. Tubuh aku yang salah apa, obatnya yang memang tidak mau ngobatin aku. Makannya aku tanya sama kamu, apa aku masih bisa sembuh?" terang Riyan panjang lebar.
Terlihat sekali kesedihan di wajah Riyan. Sepertinya Riyan sudah muali putus asa. Engga kebayang sih, harus menyembunyikan penyakitnya dari orang tuanya. Mana sakitnya dari kecil.
Riyan menunduk. Ia masih menunggu jawaban dari Raisa. "Maaf yah, Rai. Aku kok malah jadi lemah di depan kamu. Padahal selama ini aku pura-pura kuat aja, di depan orang lain. Maaf yah, aku buang-buang waktu kamu. Hanya untuk pertanyaan bodoh aku,"
Raisa melihat mata Riyan mulai berkaca-kaca. Raisa harus bisa menumbuhkan kembali semangat hidupnya. Riyan butuh motivasi. Riyan harus kuat demi orang-orang, yang sayang padanya. Raisa harus bisa membuat Riyan bangkit dari keterpurukannya.
"Riyan, kamu tenang dulu yah. Pertama kamu engga buang-buang waktu aku kok. Malah aku seneng kamu mau curhat sama aku. Kedua, mengenai pertanyaan kamu. Apa kamu bisa sembuh?" Raisa menjeda pembicaraannya.
Riyan yang tadinya tertunduk. Kembali menatap Raisa. Menunggu jawaban apa yang Riyan akan dengar dari Raisa.
"Inssya Allah bisa. Engga ada hal yang engga mungkin. Kalau Allah sudah berkendak. Asal kamu harus yakin. Allah kasih kamu penyakit ini. Bukan semata-mata, karena Allah membenci kamu. Justru Allah kasih penyakit itu ke kamu, karena Allah sayang sama kamu. Dengan penyakit itu, kamu bisa selalu bersukur. Menghargai setiap detik. Dan nafas yang kamu punya setiap harinya. Masih banyak orang yang lebih parah dari kamu. Mereka engga punya harta. Mereka sakit parah. Tapi mereka tetap ikhlas menjalani hidupnya. Nah, kamu jangan kalah sama mereka," Raisa menjeda ucapannya.
"Kamu harus tetap semangat! Pasti akan ada jalan keluarnya. Mungkin sekarang memang belum keliatan hasilnya. Tapi kamu harus tetep berusaha. Karena Allah, tidak akan memberikan cobaan pada umatnya. Di luar batas kemampuannya. Allah ngasih kamu penyakit ini. Berarti Allah yakin, kamu bisa. Kamu mampu melewati semua ini," Raisa memberikan nasihat pada Riyan. Semoga saja, ada sedikit pencerahan. Dan Riyan kembali bersemangat, untuk menjalani hidupnya lagi.
Hari ini Raisa sudah persis ustazah saja. Karena perkataan Raisa tadi berhasil masuk, ke relung hati Riyan. Ternyata jawaban Raisa di luar ekspektasinya Riyan. Raisa ternyata mempunyai persepsi beda dari orang lain. Sebelumnya dokter selalu memvonis umur Riyan. Berkali-kali Riyan bolak balik di operasi, demi memperbaiki kondisi tubuhnya. Tapi hasilnya nihil. Jantungnya tetap saja rusak. Bahkan masih sering kambuh. Dan sakit.
Riyan tersenyum samar. Bijak sekali Raisa ini. Riyan tak salah mencari teman curhat. "Makasih yah, Rai. Kamu udah membuka mata hati aku. Tadinya aku pikir aku lebih baik mati aja. Dari pada berharap sembuh. Tapi belum tentu sembuh juga. Mungkin aku lelah, karena bertahun-tahun bersahabat dengan penyakit ini. Maaf yah, kok aku jadi curhat,"
"Engga apa-apa ko, Riyan. Santai aja, aku seneng kamu bisa terbuka sama aku. Padahal aku orang baru loh," sindir Raisa.
"Baru? Bukannya kita ketemu udah tujuh bulan loh?" tanya Riyan. Iya, sih tujuh bulan. Kan kenalnya baru tadi.
"Aku kan baru tau nama kamu tadi. Ya udah lah engga penting juga. Makasih banyak, karena kamu udah percaya sama aku. Kamu jangan sungkan, kalau mau curhat lagi sama aku," Raisa bersedia jadi tempat curhat Riyan.
"Bener nih? Engga akan ngerepotin kamu. Nanti cowok kamu marah lagi,"
Raisa mengangguk. "Kapanpun kamu butuh teman curhat. Aku bersedia ko mendengarkannya. Asal satu, kamu engga boleh pesimis lagi kaya tadi. Kamu harus terus semangat. Buang jauh-jauh pikiran kamu, tentang berhenti minum obat. Kamu harus berusaha sembuh demi adik kamu dan orang tua kamu. Apalagi sampe kepikiran buat mati. Emang mati bakalan nyelesaiin masalah? Engga semudah itu Riyan," Raisa malah ngoceh ngalor ngidul.
Riyan tersenyum mendengar ocehan Raisa. Ocehannya mampu membuat dirinya semangat kembali. Seakan mendapatkan udara sejuk. Riyan kembali termotivasi, untuk menjalani hidupnya lagi.
"Iya, Rai. Makasih yah. Aku engga salah pilih kamu jadi tempat curhat ternyata. Kamu mau kan jadi sahabat aku?" tanya Riyan.
"Engga ada alas untuk nolak sahabatan sama kamu Riyan," Raisa mengiyakan pertanyaan Riyan.
"Ian aja panggilnya, engga apa-apa," usul Riyan. "Makasih kamu mau jadi sahabat aku,"
"Oke, Ian. By the way, kamu kembaran sama Fabio. Soalnya kalian mirip," pertanyaan bodoh muncul lagi dari mulut Raisa.
"Fabio? Fabio itu siapa?" tanya Riyan bingung. Engga tau Fabio toh? Padahal dia kan aktor muda yang baru-baru ini, naik daun.
"Itu loh Fabio Gunawan. Dia itu aktor muda. Sekarang dia lagi heboh-hebohnya di sosmed. Dia aktor yang lagi naik daun. Masa kamu engga tau?"
"Oh Fabio itu. Aku tau kok, sempet liat dia di iklan tv. Aku bukan kembarannya lah. Ngaco kamu, gatengan aku kali sama dia. Hahaha," canda Riyan. Nampaknya suasananya mulai mencair. Riyan dan Raisa sudah tak canggung lagi. Bahkan mereka sudah saking akrab satu sama lain.
"Kepedean kamu. Hahaha kirain kamu kembarannya,"
"Kalo aku kembarannya, kamu mau apa emangnya. Kamu ngefans sama dia?" tanya Riyan.
Raisa malah senyam senyum, engga jelas. "Siapa yang engga ngeidoalin cowok baik kaya dia, Ian. Dia ramah banget. Selalu menghargai para fansnya,"
Fix Raisa memang fansnya si Fabio itu. "Ya udah sini foto sama aku, aku juga bakalan kasih tanda tangan sekalian buat kamu. Hahaha," Riyan mulai ceria. Tidak sedih lagi seperti tadi.
"Ogah ah! Kamu kan bukan Fabio," tolak Raisa.
"By the way, aku boleh kan tanya-tanya tentang obat sama kamu?" Riyan mencari topik pembicaraan lain.
"Boleh dong, kalau aku bisa bantu. Kenapa engga. Jadi kamu jangan sungkan yah. Kalo aku engga ada di apotek. Berarti aku lagi kuliah. Kalo engga, kamu boleh kok main ke kosan aku," Raisa terlihat sangat wellcome sekali. Padahal dia belum tau sifatnya Riyan seperti apa.
"Kamu ngekos? Dimana?"
"Di kosan Merpati Putih. Punyanya pak Sodikin. Engga jauh dari rumah kamu kok. Cuma beda blok aja," sahut Raisa.
"Oke deh, barti boleh yah. Kali-kali aku ke kosan kamu? Aku janji engga akan macem-macem kok," Riyan mengacungan dua jarinya tanda berjanji.
"Iya, aku percaya kok. Santai aja,"
Ternyata Riyan seasik ini orangnya. Meskipun sakit parah. Tapi dia bisa pura-pura kuat di depan semua orang. Wajar kok, kalo dia tadi sempet pesimis. Lagaian dari cerita Riyan. Engga ada orang yang bisa di jadikan motivasi oleh Riyan. Papa, mamanya katanya sibuk sama kerjaannya di luar negeri. Aku sama Riyan punya nasib yang sama. Sama-sama di terlantarkan. Cuma bedanya aku engga tau orang tua aku di mana. Sedangkan Riyan orang tuanya sibuk mengejar harta, gumam Raisa dalam hati.
Aku engga salah pilih. Raisa memang benar-benar cewek baik. Aku engga salah jadiin dia tempat curhat. Dia juga calon dokter. Aku bisa tanya-tanya soal penyakit aku ke Raisa. Raisa juga bersedia aku tanya-tanya. Dia bisa ngebuat aku jadi semangat lagi. Aku harus tetap hidup demi Aliya, mama, papah dan Kamila. Mereka adalah orang-orang yang aku sayangi. Jangan sampai aku cengeng gara-gara penyakit ini. Aku harus berusaha lebih keras lagi, untuk bisa sembuh. Semoga saja bisa ketemu solusi tentang penyakit aku. Aku mau sembuh. Aku ingin seperti orang normal lainnya, Riyan ikut bergumam dalam hati.