PART. 10

1031 Words
PART. 10 "Bangun, Bu." Asma meminta si ibu bangun dari berlututnya. "Bayi Ibu di rumah sakit mana?" "Rumah sakit ini juga, Dek." "Berapa biaya yang harus Ibu bayar?" Si ibu menyebutkan uang tebusan yang harus ia bayar ke rumah sakit. "Ibu tidak punya BPJS?" "Bagaimana bisa punya BPJS, rumah tinggal yang tetap saja kami tidak punya," jawaban si ibu sangat lirih, dan dengan berurai air mata. "Ibu, kalau bayi ibu saya bantu tebus, dan Bapak saya bantu bebaskan, apa kalian bersedia pulang ke kampung?" "Kami memang sudah lama sangat ingin pulang ke kampung, tapi kami tidak punya biaya." "Lili, kamu ini bicara apa?" Revano berbisik di dekat kepala Asma. Asma mendongakkan wajahnya, diraih tangan Revano, ia genggam dengan kedua telapak tangannya. Dibawa Revano menjauhi si ibu, dan anak-anaknya. "Lontong, eeh maksudku, tolong, pinjami aku uang untuk merebus, ck ... maksudku menebus bayi ibu ini. Sekalian, pinjam juga buat mereka pulang ke kampung." "Lili, ini Jakarta, bukan kampungmu, bisa saja mereka cuma berdusta, hanya bersandiwara!" Revano berucap dengan berbisik, namun penuh tekanan. "Aku yakin, Ibu ini tidak bersandirawa, aku bisa merasakan kejujuran dalam ucapan, dan sorot matanya." Asma menatap si ibu sesaat. "Please, tolong mereka Om. Aku janji akan membayar semua hutangku pada, Om. Aku sudah lulus SMA, aku akan bekerja agar bisa membayar hutangku pada, Om." Asma menggenggam telapak tangan Revano dengan erat. "Ehmm, atau, sepetri yang Om bilang, hutangku akan lunas kalau aku jadi istri, Om. Tidak rugi kok Om, mengambil aku jadi istri, aku pintar masak, rajin membersihkan rumah, aku.... " "Stop Lili, tidak, aku tidak mau mengeluarkan uang sepeserpun untuk mereka, titik! Sekarang kita pulang!" Revano menarik tangannya dari genggaman Asma. "Om pulang saja sendiri, aku tidak mau pulang!" "Yakin tidak mau pulang?" "Hmmm, aku akan temui pihak rumah sakit, aku akan menjaminkan KTP ku!" Revano tertawa mendengar Asma akan menjaminkan KTP nya untuk bisa membantu menebus ibu si bayi. Revano menggelengkan kepalanya. "Itu tidak akan berhasil Lili. Lagi pula, kamu ini benar-benar aneh. Bapak itu hampir saja melukaimu, dan kamu masih ingin menolongnya! Sungguh-sungguh aneh!" "Orang yang tidak terbiasa peduli dengan sekelilingnya, perasaannya tidak akan peka. Ya sepetri Om ini!" "Seperti, Lili!" "Tidak usah dilarat, Om toh, sudah mengerti juga." "Aku tidak ingin berbedat, eeh berdebat denganmu, sekarang juga kita pulang. Besok aku akan mengantarmu pulang ke rumahmu, kamu paham!" "Om pulang saja sendiri, aku tidak akan pulang, hapam, eeh, paham!" "Hahhh, seterah kamu. Aku tunggu kamu di lobi, kalau dalam lima belas menit kamu tidak datang, aku tinggal pulang, paham!" Revano meninggalkan Asma, ia kesal luar biasa, karena merasa kalau Asma terlalu mudah diperdaya. Asma menatap punggung Revano. Ia juga kesal pada Revano yang dianggapnya tidak punya hati. "Maaf ya Dek, Adek jadi bertengkar sama Masnya." "Tidak apa, Bu. Saya akan di sini. Besok pagi, saya akan usahakan untuk membantu membayar biaya persalinan Ibu. Agar bayi Ibu bisa dibawa pulang. Saya juga akan mencabut laporan saya pada suami Ibu. Dan, akan mengusahakan uang untuk biaya Ibu pulang kampung." Jatuh air mata si ibu, ia tersedu sambil menggenggam erat kedua telapak tangan Asma. "Adek ini seperti malaikat buat keluarga kami, terima kasih, Dek." "Jangan berterimakasih sekarang, Bu. Saya belum melakukan apa-apa. Mohon Ibu berdoa saja, semoga saya bisa membantu keluarga Ibu." "Aamiin." Asma berencana, besok pagi ia akan menjaminkan KTP nya, dan akan meminjam ponsel salah satu pegawai rumah sakit. Ia akan menelpon kantor Abbanya, yang membawahi seluruh usaha milik keluarga mereka. Ia yakin, bisa menemukan nomer telpon kantor Abbanya lewat google. Ia akan meminta orang kantor untuk memberitahu Abbanya. Asma yakin, Abbanya pasti akan mau membantu. Asma tidak peduli, jika nanti Abbanya marah, karena ia pergi tanpa pamit. Hal yang terpenting saat ini baginya, adalah membantu keluarga si bapak yang sudah menodongnya. Revano duduk di lobi rumah sakit, ia menunggu Asma yang belum juga terlihat batang hidungnya. Hampir satu jam sudah berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda Asma datang menemuinya. Ponselnya berbunyi, dari ibunya. "Assalamualaikum, Bu." "Walaikum salam, kalian di mana? Ini sudah jam berapa, Vano?" "Maaf, Bu. Aku sedang di kantor Polisi," jawab Revano berdusta. "Di kantor Polisi, ada apa? Kalian baik-baik saja'kan?" Meluncurlah cerita dari mulut Revano, tentang kejadian yang menimpa mereka. "Syukurlah, kalau kalian berdua baik-baik saja. Ini Asmanya mana?" "Lagi di kamar mandi, Bu." "Setelah urusan kalian selesai, cepatlah pulang." "Baik, Bu." "Assalamualaikum." "Walaikum salam." Revano menghembuskan napas, ia bangkit dari duduknya. Dan terpaksa melangkahkan kaki untuk kembali ke ruang perawatan si Bapak yang dipukuli Asma. "Dasar gadis keras kepala, menyusahkan saja," gerutu Revano sembari mempercepat langkahnya. Revano meminta ijin kepada Polisi yang berjaga di depan kamar, agar ia boleh masuk, dan menemui Asma di dalam. Setelah mendapat ijin, Revano membuka pintu. Ia tertegun, melihat Asma yang duduk di lantai dengan mata terpejam, bersandar pada dinding rumah sakit. Dipangkuan Asma, ada kepala bocah perempuan yang tertidur, bocah perempuan itu adalah putri si bapak. Sementara si ibu juga tertidur, dengan kepala anak laki-lakinya di atas pangkuannya. "Lili," Revano menyentuh bahu Asma lembut. "Lili," Revano mengulangi panggilannya, sambil menepuk pipi Asma. Asma tidak terbangun, tapi si ibu yang terbangun. "Dek," si ibu menggoyangkan lengan Asma, barulah Asma membuka matanya. "Emh.... " "Kita pulang ya," ucap Revano bernada membujuk. "Emhhh," kepala Asma menggeleng kuat. "Besok pagi kita ke sini lagi, untuk membayar biaya persalinan Ibu ini. Agar Ibu ini bisa memeluk bayinya." Mata Asma langsung berbinar. "Janji!" "Iya, aku berjanji." "Jangan bohong ya?" "Hmmm, tapi ingat, itu akan menjadi hutangmu, paham!" "Hmmm, tidak malasah, eeh masalah." Dengan perlahan, Asma memindahkan kepala bocah perempuan itu ke lantai. Lalu dengan perlahan juga, dibantu Revano ia bangkit dari duduknya. Si ibu ikut berdiri juga. "Besok kami akan kembali, Bu. Sekarang kami pulang dulu. Kami akan berusaha bantu Ibu," janji Asma. "Terima kasih, Dek. Terima kasih, Mas. Semoga Allah membalas kebaikan kalian berdua, aamiin." "Aamiin, kami pulang ya, Bu. Assalamualaikum," pamit Asma. "Walaikum salam." "Ayo, Om." Asma menggamit lengan Revano, si ibu mengantarkan mereka sampai ke pintu. "Aku mengantuk sekali," gumam Asma. "Kamu bisa tidur sambil berjalan, peluk saja lenganku." Revano meraih tangan Asma, ia lingkarkan di lengan besarnya. Asma melingkarkan tangan yang satunya lagi, sehingga lengan Revano berada di dalam dekapannya. Dan, kepalanya, bersandar di lengan atas Revano. 'Dia lupa, kalau belum nikah tidak boleh Pegang-pegang,' batin Revano. Senyum terukir di bibirnya. Rasa kesalnya pada Asma sudah menguap entah ke mana. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD