Si gadis terbangun saat pesawat mendarat.
"Ehmm, sudah sampai ya, Om?"
"Hmmm," Revano hanya menjawab dengan gumaman.
Mereka siap ke luar dari pesawat, si gadis berjalan di depan Revano.
Revano menunggu bagasinya, tapi si gadis tampaknya tidak membawa apa-apa, selain tas ransel kecil di bahunya.
Revano ke luar untuk menuju mobil yang menjemputnya. Ia menatap orang yang berkerumun, ia mendekat, karena penasaran dengan apa yang terjadi.
Ternyata, gadis yang bersamanya di pesawat tadi tengah menangis. Revano bertanya pada orang di dekatnya, kenapa gadis itu menangis. Orang itu menjelaskan, kalau si gadis lupa membawa ponselnya, ia tidak ingat nomer ponsel paman, dan orang tuanya. Bahkan ia lupa, alamat rumah pamannya yang menjadi tujuan ia ke Jakarta. Ia mengatakan, menyimpan alamat pamannya di ponsel yang tertinggal.
"Lili!" Revano menyentuh bahu si gadis, ia memanggil Lili karena mengacu pada kata liliput, sebutan yang ia berikan untuk si gadis. Gadis itu mendongakkan kepala, menatap wajah orang yang menyapanya.
"Om Buto Ijo.... " si gadis menangis sesenggukan di d**a Revano.
"Anda kenal?" tanya Security bandara.
"Iya, dia keponakan teman saya."
"Ooh, syukurlah kalau begitu."
Orang-orang itupun bubar semua, mereka percaya dengan apa yang diucapkan Revano barusan.
"Rumah pamanmu, di mana?"
"Lupa," si gadis terisak pelan.
"Ingat nomer telpon pamanmu, atau nomer telpon orang tuamu?"
"Lupa!" si gadis menghentakan kakinya, tangisannya tambah nyaring saja.
"Ikut aku," Revano tidak ingin mereka menjadi pusat perhatian orang lain. Ia putuskan membawa gadis itu ke mobilnya.
"Om!"
Revano menghentikan langkahnya, karena mendengar panggilan si Lili, dari belakangnya. Gadis itu berlari kecil mendekatinya.
"Jangan tinggalkan aku," air mata kembali membasahi pipi si Lili.
"Aku tidak akan meninggalkanmu, kita ke mobilku."
"Om jalannya cepat sekali!"
"Ooh, maaf. Ayolah, ikuti aku," Revano menarik lengan si Lili.
Mereka berjalan beriringan menuju mobil yang menjemput Revano.
"Masuklah," Revano meminta Si gadis masuk ke dalam mobil yang pintunya dibuka oleh supirnya.
"Om bukan orang jahat'kan? Om tidak bermaksud menculik aku'kan. Abbaku memang kaya, tapi jangan culik aku ya Om." si Lili memohon dengan menangkupkan kedua tangannya di d**a.
Revano ingin sekali tertawa, ia bingung, gadis di depannya ini polos, atau bodoh.
"Om, Om orang baik'kan?"
"Iya, aku orang baik, cepatlah masuk ke dalam mobil!"
Si gadis masuk ke dalam mobil. Disusul oleh Revano. Supir menjalankan mobil dengan kecepatan sedang saja.
"Hhhh, kamu tahu, kamu beruntung karena bertemu aku. Kalau kamu bertemu orang jahat bagaimana?"
"Ehmm, kata Kai, orang baik, Insya Allah, akan dipertemukan dengan orang baik juga."
'Nah, tadi dia sempat takut aku culik. Ternyata selain polos, dia pelupa juga'
"Ini Jakarta Lili, banyak ru ...."
"Namaku bukan Lili! Namaku Asma Fahira Putri Heryawan!"
"Hmmm, aku lebih suka memanggilmu Lili, liliput," gumam Revano.
"Dasar Buto Ijo, orang tuaku susah-susah mencari nama, Om menyebut namaku sembarangan!"
"Terserah aku, kamu juga kenapa memanggilku Buto Ijo?"
"Eeh iya, ya. Nama Om siapa?"
"Revano Maheswara Burhanuddin."
"Om Revano ...." gumam Asma.
"Sekarang maumu bagaimana?"
"Aku bingung, bagaimana caranya aku bisa ke rumah pamanku? Emhhh, seterah Om saja."
"Bagaimana aku bisa mengantarmu ke sana, kalau kamu tidak tahu alamatnya. Atau kamu mau pulang ke rumah orang tuamu saja, sekarang?"
"Tidak mau, aku tidak mau menangis di acara pernikahan Bang Wira."
"Jadi maumu bagaimana? Kalau kamu ikut aku, kamu harus menurut apa yang aku katakan."
Asma menatap Revano.
"Merunut sama Om, bagaimana maksudnya?"
"Menurut!"
"Nah itu!"
"Aku tidak mungkin membawamu ke rumah dengan alasan kamu tersesat," Revano berhenti sesaat, untuk menunggu reaksi Asma.
"Ehm, terus?"
"Kamu harus setuju kalau aku memperkenalkanmu pada orang tuaku, sebagai calon istriku."
"Haah, aku calon istri Om!?" Mata bulat besar dengan bulu mata lentik itu semakin membesar.
"Seterah, ehh ... terserah kamu, kalau kamu setuju, aku bawa kamu ke rumahku. Nanti, setelah .. siapa itu pria yang mau menikah, selesai menikah, aku antar lagi kamu ke Kalimantan, setuju?"
"Ooh, jadi ceritanya, kita pura-pura pacaran, begitu ya?"
"Nah itu!" Revano kaget sendiri dengan ucapannya. Cara bicara Asma cepat sekali menular padanya.
"Deal, tapi Om juga harus bantu aku," Asma mengajukan syarat juga.
"Bantu apa? Aku sudah membantu memberi kamu tumpangan di rumahku," sahut Revano.
"Nanti, kalau Om mengantar aku pulang, Om juga harus pura-pura menjadi calon suamiku di depan Bang Wira, setuju?"
"Oke! Sekarang, ceritakan padaku, siapa nama ayahmu, ibumu, saudaramu. Apa pekerjaan mereka, kamu, dan keluargamu tinggal di mana?"
"Untuk apa?"
"Orang tuaku pasti akan menanyakan hal itu, kita harus merancang skenario."
Asma terkikik geli, mendengar ucapan Revano.
"Snenario seperti film saja."
"Skenario!"
"Nah itu."
"Itu harus, biar sandiwara kita berjalan lancar, paham!"
"Paham, Om Buto Ijo!"
"Jangan memanggilku begitu di depan orang tuaku, Lili. Paham!"
"Iya ...."
"Sekarang ceritakan tentang keluargamu!"
"Abbaku namanya Soleh Heryawan. Ammaku, Cantika Ayu Dewi. Kaiku, Raka Ramadhan, niniku Mentari ... Mentari apa ya lupa. Kaiku punya sawah, kebun, peternakan, tambak ikan, SPBU, perusahaan batu bara, toko el ... el, tivi, dan kawan-kawannya, juga toko fur... kursi, dan kawan-kawannya. Sekarang, Abbaku yang memegang semua usaha Kai. Kalau Paman, memegang perusahaan nini yang ada di Jakarta."
"Apa nama perusahaan yang dipegang pamanmu?"
"Lupa, kalau aku ingat, aku tidak akan menangis tadi!"
"Hhhh, jadi kamu anak orang kaya?"
"Kenapa? Ingin minta tebusan sama orang tuaku?" mata indah itu menatap penuh selidik pada Revano. Revano tersenyum, kepalanya menggeleng.
"Aku tidak perlu uang orang tuamu, sekarang yang aku perlukan kerjasamamu. Ingat ya, semua harus sesuai skenario." Revano memperingatkan Asma.
"Hmmm.... "
Mereka membicarakan, beberapa hal yang harus dilakukan nantinya.
BERSAMBUNG