Bab 10

2035 Words
Senandung lirih mengalun dari mulut Alicia. Meskipun tadi ia sempat kesal karena Paul membatalkan janji mereka untuk bertemu hari ini, tetapi semua kekesalannya terobati ketika pemuda itu mengatakan kalau akan menemuinya secepatnya. Balasan pesan dari Adam juga membuat hatinya berbunga-bunga. Mereka akan bertemu lagi di bukit nanti sore. Kata Adam, pemuda itu tidak akan terlambat lagi sore ini. Dan hal yang paling membuatnya senang adalah toko bunga milik Bibi Jo hari ini kembali ramai. Bahkan lebih ramai dari kemarin, sepertinya akan ada pesta di kota sebelah. Entah pesta apa, tapi mungkin saja pesta pernikahan. Karena ada satu keluarga memesan bunga Magnolia dan Mawar putih. Alicia sangat antusias dalam mengurusi pemesanan itu. Semua ia yang menanganinya. Bibi Jo tinggal terima beres. Begitu juga dengan pemesan yang sangat puas setelah Alicia mengatakan kalau bunga yang mereka pesan akan datang dalam dua hari. "Apakah kau tidak lelah?" tanya Bibi Jo melihat Alicia yang masih tampak ceria. Sekarang sudah sore. Ia saja rasanya sudah mau pingsan, padahal ia tadi tidak mengerjakan apa-apa, hanya duduk saja menandatangani nota. Memang, tenaga remaja dan orang yang sudah berumur itu berbeda. Buktinya, Alicia yang sejak tadi selalu mondar-mandir mengurus toko tetap terlihat segar. Sementara dirinya yang berdiam diri merasa sangat kelelahan. "Sejak tadi siang kau tidak diam selalu bergerak kesana-kemari." Alicia menoleh ke arah Bibi Jo yang berdiri beberapa kali di belakangnya. Gadis itu menggeleng manis. Senyum lebar menghiasi wajah cantiknya. "Tidak, Bibi Jo. Aku tidak lelah." Alicia meletakkan sebuah pot bunga kecil di rak sebelum menghampiri Bibinya. "Aku sangat senang hari ini, makanya aku tidak merasa lelah." Bibi Jo menggeleng pelan. Tangannya terangkat mengusap pelipis Alicia yang berkeringat. "Terima kasih, Bibi Jo," ucap Alicia tersenyum. "Istirahatlah!" perintah Bibi Jo. Mata birunya mengawasi rak-rak bunga yang berjejer rapi di belakang Alicia. "Pekerjaanmu sudah selesai bukan?" Alicia mengangguk. "Apa kau tidak ingin berjumpa Adam hari ini?" Rona merah menjalari pipi Alicia begitu Bibi Jo menanyakan soal Adam. Entah kenapa ia masih saja malu, padahal Bibi Jo juga sudah sangat dekat dengan Adam. Alicia mengangguk pelan, kepalanya tertunduk. "Bersihkan dirimu." Bibi Jo mengusap pucuk kepala Alicia lembut. Sejak Alicia berusia dua bulan, ia yang merawat gadis itu. Ibunya sering sakit-sakitan sejak Alicia masih berada di dalam kandungan. Ayah Alicia yang tidak pernah diketahuinya siapa tidak pernah datang. Roseanne Jones, Ibu Alicia yang juga merupakan kakaknya, membawa rahasia siapa Ayah Alicia sampai ke liang kuburnya. Ia yang sudah jatuh cinta pada Alicia sejak pertama melihatnya, memutuskan tidak mencari tahu siapa Ayah keponakannya dan merawat Alicia seorang diri. Ia bahkan rela tidak menikah sampai saat ini, diusianya yang sudah hampir kepala empat. Ia harus memastikan kalau Alicia tidak mengalami nasib seperti Ibunya. "Ingat, jangan pulang terlambat lagi. Sebelum makan malam kau sudah harus berada di rumah." Alicia mengangguk. Gadis itu meringis dalam hati. Tadi malam ia memang terlambat sampai di rumah. Bukan hanya karena Adam yang terlambat datang dan mengantarkannya pulang, tetapi juga karena lelucon Adam yang sangat tidak lucu yang membuatnya tidak dapat berbicara beberapa saat dan pembicaraan mereka mengenai tawaran pria dari kota itu untuk Adam. Alicia mendesah, sebenarnya ia bosan selalu membicarakan masalah pria kota itu setiap kali mereka bertemu. Menurut Alicia, Adam terlalu keras kepala. Sampai-sampai ia kembali berpikir kalau Adam memang berniat untuk meninggalkannya. "Bibi akan memasak makanan kesukaanmu untuk makan malam." Alicia kembali mengangguk sebelum bergegas ke belakang. Ia hanya mencuci muka dan menaburkan sedikit bedak di wajahnya. Tak perlu dandanan tambahan, karena pipi dan bibirnya sudah kemerahan dengan sendirinya. Kembali ke depan, ternyata Bibi Jo masih berada di toko. Alicia mengira Bibinya sudah kembali ke rumah sejak tadi. "Bibi belum pulang?" tanya Alicia. Gadis itu memasang sweater dan mengambil tas tangan miliknya yang berada di meja kasir. "Sebentar lagi," jawab Bibi Jo. "Bibi mengunci toko dulu." Alicia mengangguk. "Baiklah. Aku pergi dulu, Bibi." Alicia mengecup pipi kanan Bibi Jo sebelum keluar dari toko. Joanna tersenyum patah. Perempuan itu mendongak mengusir air mata yang mendesak keluar dari kedua sudut matanya. Dalam hati berdoa agar nasib Alicia bisa lebih baik dari sang kakak. *** Patrick melirik Jordan yang sedang merapikan rambutnya. Pemuda bertubuh besar itu berdecak, kesal karena meskipun Jordan merapikan rambutnya hanya menggunakan tangan, tapi pemuda itu tetap terlihat tampan. "Bisakah kau terlihat jelek untuk sehari saja?" tanya Patrick menatap Adam dari pantulan kaca ruang ganti pria. "Huh?" Adam menaikkan sebelah alisnya. Balas menatap Patrick dari pantulan cermin juga. Patrick memutar bola mata. Semakin kesal saja karena Adam tidak mengerti maksud ucapannya. "Tidak apa-apa!" ucap Patrick ketus. "Kau menyebalkan. Itu saja." Adam mengerjap dua kali kemudian mengangkat bahu tak peduli. Pemuda itu mengambil jaketnya dari loker juga kunci kontak motornya. Adam menepuk bahu Patrick yang dipenuhi lemak. "Aku duluan!" seru Adam dari depan pintu ruang ganti yang sudah dibukanya menggunakan sebelah tangan. Patrick mengacungkan Ibu jari. "Sampaikan salamku pada Alicia!" Patrick balas berseru karena Adam sudah keluar dan pintu sudah tertutup kembali. Adam tak menyahut. Percuma, pikirnya, Patrick tidak akan bisa mendengarnya juga. Bukan karena ruang ganti mereka kedap suara sehingga suara dari luar tidak terdengar, melainkan karena ia sangat malas untuk berteriak. Adam berbelok untuk menemui Mr. Hulk dan meminta izin untuk pulang, jam kerjanya sudah habis. Sekarang Shawn yang berdiri di belakang meja kasir. Adam mengeruk pelan pintu ruangan Mr.hulk yang tertutup. "Mr. Hulk, apakah Anda berada di dalam?" tanyanya. "Masuklah!" Setelah mendengar seruan itu, Adam langsung membuka pintu dan memasuki ruangan Mr. Hulk. "Maaf aku mengganggu Anda, Sir. Aku hanya ingin meminta izin untuk pulang. Shawn sudah datang," jelas Adam sopan. Mr. Hulk mengangguk tanpa mengangkat keoaka untuk melihat Adam. Ia mengenali suara besar dan dalam pemuda dua puluh tahun itu. "Baiklah. Sampai besok, Nak." Adam mengangguk. "Maaf, aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku." Sekali lagi Adam mengangguk. "Iya, tidak apa-apa, Mr. Hulk. Aku permisi." Adam sedikit membungkuk sebelum meninggalkan ruangan itu. Menutup pintu ruangan Mr. Hulk dan berjalan menuju pintu keluar. Tak menghiraukan Patrick yang memintanya menunggu. Ia tak ingin terlambat lagi untuk menemui gadisnya. *** Perjalanan menuju bukit yang biasanya memakan waktu lima sekitar lima belas menit dari toko Bibi Jo, sekarang terasa lebih singkat bagi Alicia. Entah karena suasana hatinya yang sedang bahagia atau apa, yang pasti sepanjang jalan Alicia tak henti-hentinya tersenyum. "Alicia!" Gadis itu menoleh mendengar namanya diserukan oleh sebuah suara yang sudah tidak asing. Senyum Alicia merekah sempurna, Adam juga tiba di bukit bersamaan dengannya. Alicia berhenti melangkah, menunggu Adam memarkirkan motornya di tempat biasa. "Apakah aku terlalu cepat, ataukah kau yang datang terlambat?" tanya Adam sambil tangannya merangkul bahu Alicia. "Menurutmu?" Alicia balik bertanya. Gadis itu mengerling manis. Adam menarik tangan Alicia untuk segera menaiki bukit. Rasanya lebih menyenangkan saat mereka menyusuri bukit bersama seperti ini. Seandainya saja mereka selalu datang bersamaan. "Aku hari ini bisa pulang lebih cepat," ucap Adam memberitahu Alicia kenapa hari ini mereka bisa tiba bersamaan. "Kalau kemarin aku dihukum Mr. Hulk karena aku tertidur di restoran saat ada pelanggan. Selain itu, aku juga terlambat masuk satu jam kemarin. Benar-benar payah." Alicia tak menjawab. Gadis itu sekarang berperan menjadi pendengar yang baik. Bahkan sampai mereka duduk di bawah pohon. Alicia tetap tak menyela perkataan Adam. "Kemarin aku harus menggantikan tugas Shawn selama satu jam." Adam berdecak. "Sangat menjengkelkan." Sekarang Alicia tahu kenapa Adam tiba saat matahari sudah terbenam kemarin. "Dan kau berpura-pura menjadi penculik untuk mengagetkanku sore kemarin." Alicia mengangkat alis dan memicingkan mata menatap Adam. Adam mengerang. Ia menyesali perbuatan bodohnya yang membuat Alicia sangat ketakutan. "Maafkan aku." Adam meraih Alicia ke dalam pelukannya. "Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku benar-benar menyesal. Sungguh." Adam mengecup pucuk kepala Alicia beberapa kali. Alicia menjauhkan tubuhnya sedikit dari Adam agar dapat menatap wajah pemuda itu. Alicia sedikit menyesal melihat wajah sedih pemuda yang dicintainya. Ia tidak bermaksud membuat Adam merasa bersalah lagi. Alicia membingkai wajah tampan yang berkerut itu. "Tidak apa-apa," ucapnya lirih. "Aku sudah baik-baik saja. Bahkan tadi malam aku bisa tidur lebih cepat dan lebih nyenyak. Sampai-sampai aku bangun kesiangan lagi." Alicia tersenyum malu. Gadis itu menundukkan wajah, sementara kedua tangannya marih membingkai wajah Adam. Adam mengambil kedua tangan Alicia, membawa ke mulutnya dan mengecup keduanya hangat bergantian. "Aku sungguh menyesal, Alicia." Alicia mengangkat kepala, mata birunya bertemu dengan mata Adam yang sewarna matanya. "Aku tidak mengira kalau itu akan sangat menakutimu. Aku kira kau akan dapat mengenaliku." "Aku sangat panik dan takut waktu itu, sehingga tidak berpikir kalau kau yang ingin menculikku." Alicia mengerucutkan bibirnya. Adam tertawa kecil. Tangannya terangkat mencubit bibir kemerahan itu gemas. "Aku tidak akan mengulanginya lagi," janji Adam. "Harus!" balas Alicia ketus. "Kalau tidak aku akan mengadukannya kepada Paul." Adam mengerang lagi. "Kenapa harus Paul?" tanyanya dengan suara yang dibuat sememelas mungkin. "Kau ingin mengadu kami ya?" tuduhnya asal. Alicia memukul d**a Adam pelan. "Tuduhan yang sangat tidak masuk akal!" Adam tertawa kecil, tangannya mengacak rambut halus Alicia gemas. Membuat rambut indah itu berantakan. Alicia cemberut, merapikan tatanan rambutnya yang dirusak Adam. Tawa Adam semakin keras. Membuat Alicia semakin kesal saja. Tapi itu tidak cukup untuk merusak kebahagiaan di hatinya. Adam tidak pernah bersikap seperti ini di depan orang lain, bahkan di depan Paul atau Patrick sekalipun. Adam bersikap jahil hanya kepadanya. Dan Alicia bangga akan hal itu. "Sekarang, ceritakan bagaimana harimu!" pinta Adam setelah tawanya reda. "Kelihatannya kau sangat bahagia. Apa ada hal menggembirakan yang terjadi di toko?" tanya Adam perhatian. Mereka memang sudah terbiasa saling berbagi cerita. Semua yang terjadi di hari ini akan mereka ceritakan ketika bertemu, bergantian. Alicia tersenyum manis sebelum memulai ceritanya. Seolah mengiakan dugaan Adam. "Ada sebuah keluarga yang memesan banyak bunga tadi siang." Alicia tampak sangat bersemangat menceritakan tentang pembeli itu. Wajah cantiknya berseri. "Mereka memesan bunga Mawar putih dan bunga Magnolia. Kurasa ada yang akan menikah di keluarga mereka." "Benarkah?" tanya Adam. Alicia mengangguk. Ia sangat senang Adam bertanya. Itu artinya Adam tidak hanya mendengarkan, tetapi juga memperhatikan ceritanya. "Aku jadi memvayangian bagaimana pernikahan itu. Pasti sangat indah." Alicia menengadah, berusaha membayangkan sebuah pesta pernikahan. "Tentu saja," sahut Adam. "Apa kau juga ingin menikah Alicia?" Adam bertanya memancing. Ia akan membicarakan lagi tentang tawaran yang diberikan Allan padamya kepada Alicia. Alicia menatap Adam cepat. Apa maksud pertanyaan Adam itu? tanya Alicia dalam hati. Apakah Adam melamarnya? "Maksudku, apakah kau juga menginginkan pernikahan indah seperti impianmu?" Alicia mengangguk. "Tentu saja," jawabnya. "Setiap gadis pasti menginginkan sebuah pernikahan indah yang tidak akan terlupakan seumur hidup mereka." "Aku bisa mengabulkan impianmu itu, asalkan kau membiarkan aku menerima tawaran Allan," ucap Adam hati-hati. Sinar ceria di mata biru Alicia surut, berganti sinar kecewa. Sungguh Alicia kecewa, Adam kembali membicarakan masalah itu. Pembicaraan yang sangat ingin dihindarinya. Karena pembicaraan ini pasti akan memicu pertengkaran di antara mereka. Meskipun hanya pertengkaran kecil, tetapi tetap saja tidak mengenakkan bagi Alicia. "Impianku hanya satu," sahut Alicia setelah diam beberapa helaan napas. Gadis itu mengangkat kepalanya yang tertunduk. "Yaitu menikah denganmu. Bagaimanapun pestanya, aku tidak peduli. Yang penting aku menikah denganmu." Adam mengembuskan napas mendengar jawaban Alicia. Sudah jelas, kan, kalau Alicia tetap tidak menyetujui keinginannya. "Yeah, aku mengerti." Adam mengangguk-anggukkan kepala. Pemuda itu tersenyum, mencoba menutupi kecewa yang memenuhi hatinya. "Aku sangat mengerti, Alicia. Aku sangat mengerti dirimu, semua tentangmu. Dan aku selalu mencoba menuruti semua keinginanmu, karena aku sangat mencintaimu. Bagiku, kau pusat kehidupanku." Alicia menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca. Bukan hanya karena terharu, tetapi lebih kepada takut. Adam mengucapkan semuanya dengan nada suara yang lebih tinggi. Selain itu, Adam juga menekankan setiap kata-katanya. Apakah Adam marah? Adam berdiri, mengambil jaketnya. Ia sudah tidak tahan lagi. Dengan tidak membiarkannya bekerja ke luar kota, sama saja Alicia mengekangnya. Dan tak ingin ia lebih maju. Adam berniat pergi dari atas bukit ini. Ke bar Paul mungkin. Tak ada salahnya kalau ia mencoba segelas minuman beralkohol di sana. Itu sebelum Alicia memeluknya. Alicia melingkarkan kedua tangannya melingkari perutnya dari belakang. Gadis itu menangis di punggungnya. Adam memejamkan mata. Ia harus bertahan dan tidak boleh kalah dengan air mata itu. Selama ini ia selalu luluh melihat Alicia menangis. Kali ini ia akan mencoba untuk tidak kalah lagi dengan tangisan itu. Adam melepaskan kedua tangan Alicia yang melingkari perutnya. Meraih tangan itu dan menuntunnya. "Ayo, kuantarkan kau pulang!" ucap Adam tanpa menoleh pada Alicia. Ia sudah memantapkan hatinya. Ia akan menerima tawaran Allan dengan atau tanpa persetujuan dari Alicia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD