Amira mematut dirinya di depan cermin, penampakan dirinya saat ini sangat berantakan, jauh dari standar kerapiannya seperti biasa. Seragam putihnya ternodai bercak darahnya sendiri, roknya lusuh dan tampak kotor bekas terjatuh di aspal. Di antara semua kondisi itu, yang paling mengerikan baginya adalah luka di jidatnya, terlihat seperti kolaburasi yang memperindah kejelekan rupanya.
Amira mengelus wajahnya, di dekatkan wajahnya pada cermin agar ia bisa melihat lebih detil perubahan wajahnya pasca memakai bedak Mbah Wanti. Hanya beberapa titik flek dan kerutan yang memudar, selebihnya masih sama. Amira harus lebih bersabar dan telaten menggunakan bedak ajaib itu. Matanya menatap antusias pada bedak kecil yang ia letakkan di atas meja belajarnya. Tidak ada salahnya percaya pada sesuatu yang di luar nalar, asalkan memang bisa membuatnya cantik. Amira menguatkan keyakinannya, ia harus berhasil mengundang caci maki orang-orang agar efek bedak itu bekerja.
“Huft....” Amira menghela napas kasar, mengundang hinaan dari orang, terdengar gampang tapi sulit ia lakukan. Setelah kejadian di sekolah tadi pagi, Amira sedikit ragu bahwa ia sanggup menginjakkan kaki lagi ke kelas. Apalagi ia sudah mengucapkan tidak akan menampakkan diri lagi di hadapan Sashi CS dan Aldo. Kini ia harus menjilat ludahnya sendiri dan harus tebal muka datang lagi ke sekolah?
“Apa aku nurut sama ibu saja? Lebih baik pindah dari sekolah itu lalu mulai mencari pancingan di tempat baru?” Amira mulai mempertimbangkan saran ibunya, belum terlambat baginya untuk memulai lembaran baru dan menyetujui ajakan orangtuanya.
Amira berpikir serius hingga sebuah gelengan ia lakukan dengan mantap, “Tidak! Aku tidak mau pergi, aku sudah bilang akan balas dendam. Jika memang aku belum diijinkan mati, mungkin aku diberi kesempatan untuk balas dendam dengan cara lain. Aku harus cantik, lebih cantik dari Sashi, aku mau lihat dia berani apa jika itu terjadi. Ha ha ha....”
Tawa Amira melengking, membayangkannya saja sudah sangat membahagiakannya. Ia hanya perlu menguatkan hati lagi, sekali lagi... Demi keluar sebagai pemenang.
***
“Di mana Amira, ma?” Ardi baru saja sampai langsung berlari menghampiri istrinya yang berdiri dengan raut panik. Begitu melihat kehadirannya, wajah istri Ardi itu langsung sumingrah.
“Pa, akhirnya kau pulang juga. Amira sudah pulang, tapi dia mengurung diri di kamarnya. Aku sudah mengetuk pintunya, membujuknya untuk makan, tetap saja tak digubris. Aku khawatir dia tidak enak badan pa, bagaimanapun dia itu habis kecelakaan dan luka di jidatnya lumayan lebar.” Lastri menumpahkan keresahannya pada suaminya. Puluhan tahun mereka berdua bahu-membahu menyemangati diri demi bersabar membesarkan putri mereka dengan segala kekurangannya.
Ardi menghela napas kasar, ia melonggarkan dasinya kemudian meraih tangan Lastri. “Kau tenanglah, biar aku coba tangani dia. Berikan makanannya padaku, aku akan bawa untuknya.”
Lastri mengangguk menyetujui, ia bergegas ke dapur dan kembali dengan membawa nampan berisi makanan Amira. “Aku harap dia mau nurut sama kamu, pa. Sejak pulang, dia jadi aneh dan temperamen. Aku takut efek kecelakaan membuat psikologisnya terganggu.” Lirih Lastri, ia menaruh harapan besar pada suaminya agar bisa melunakkan hati Amira.
“Dia juga tidak mau kita ajak pindah?” Tanya Ardi, pembicaraan mereka di telpon terputus karena kepulangan Amira. Lastri pun belum sempat mengabari suaminya tentang kelanjutan cerita itu, ia pikir menunggunya kembali dan bicara langsung lebih efektif ketimbang membahas masalah penting via telepon.
Lastri mengangguk dengan tatapan sedih, “Dia tetap ingin tinggal dan sekolah di sini. Kalau itu memang kemauan dia, kita tidak perlu memaksanya lagi pa. Mungkin dia mulai kuatkan hati menerima kenyataan, kita sebaiknya tetap mendukung keputusannya.” Bujuk Lastri, ia takut suaminya akan adu keras pada putrinya.
Ardi mengangguk, “Kita lihat setelah aku coba bicara dengannya, baru kita ambil keputusan.” Jawab Ardi yang pengertian, ia berlalu dari hadapan Lastri. Namun istrinya mengikuti langkah Ardi dari belakang, hingga sampai di depan kamar Amira, wanita itu yang membantu mengetukkan pintu lantaran tahu tangan Ardi tak akan bisa melakukannya karena penuh oleh nampan.
“Amira... Kamu nggak tidur kan? Buka pintunya sayang, papa bawakan makanan nih.” Bujuk Ardi dengan nada lembut.
Lastri dan Ardi saling berpandangan, belum ada respon dari Amira, bahkan pintu di hadapan mereka masih tertutup. Ardi mengisyaratkan Lastri mengetuk pintu lagi dengan menunjuk pintu dengan dagunya. Wanita itu pun langsung mengulang kembali ketukannya, dan suara Ardi dengan lembut merayu putrinya menyambut dirinya.
***
Amira baru saja mengganti seragamnya yang mengenaskan itu, ia hendak mandi di saat bersamaan ayahnya justru datang. Sesaat ia ragu, harus menerima kedatangan ayahnya atau tidak, terlebih saat ini ia merasa ingin sendiri. Amira belum siap bertemu siapapun, tetapi ketukan dan suara ayahnya makin intens terdengar hingga membuat hati Amira luluh juga. Ia bergegas mengganti piyama untuk mandi dengan daster longgar dan nyaman, kemudian bergegas menuju pintu.
Senyum Ardi mengembang penuh saat Amira membukakannya pintu. Hanya Ardi saja yang tampak, lantaran Lastri lebih dulu pergi dari sana, ia takut Amira berubah pikiran dan kembali marah jika melihatnya sekarang. Segalanya ia pasrahkan pada Ardi, walaupun nalurinya sebagai seorang ibu masih gusar dan ingin ikut andil menenangkan anaknya.
“Hai sayang, ayah menganggumu ya? Boleh masuk sebentar kan? Ayah hanya mau memastikan putri ayah tidak kelaparan.” Pinta Ardi dengan lembut, layaknya merayu hati anak kecil untuk makan. Ia sedikit mengangkat nampan di tangannya untuk menunjukkan maksud kedatangannya.
Amira melihat ketulusan ayahnya, ada rasa bersalah dalam hatinya karena telah membuat kedua orangtuanya cemas. Ia yakin betul gara-gara dia, ayahnya harus meninggalkan kantor lebih awal. Meskipun tak mau dibujuk pindah atau ke rumah sakit, Amira pun sadar bahwa ia tak seharusnya kasar pada orangtuanya. Gadis itu mengangguk pelan, kemudian melebarkan daun pintu agar ayahnya leluasa masuk. “Masuklah ayah.”
“Terima kasih putriku.”
Ardi buru-buru masuk dengan senyuman lega, tetapi saat menginjakkan kaki ke kamar putrinya, senyum lebar itu terkatup. Sesaat ia merasakan hawa yang aneh dalam kamar Amira hingga tanpa sadar ia merinding. Amira masih di belakangnya menutup pintu, tetapi langkah Ardi masih tertahan, ia berdiri bergeming mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar anak gadisnya. Seragam putih abu-abu yang tergeletak di bawah ranjang itu membuat Ardi merinding lantaran noda darah yang tampak jelas.
“Ayah kenapa?” Tanya Amira yang heran melihat ayahnya berhenti melangkah masuk lebih dalam.
Ardi menggelengkan kepala, fokusnya kembali pada tujuan utamanya kemari. “Ah, tidak apa-apa, ayah hanya menunggumu biar barengan. Ayo, dimakan dulu masakan ibumu keburu dingin loh.” Seru Ardi, ia melangkah bersama Amira menuju meja belajar lalu menaruh nampannya persis di samping bedak ajaib Amira.
Tangan Amira bergerak gesit mengamankan bedaknya dari tatapan Ardi. Jantungnya berdegup kencang, ada rasa bersalah dan takut jika ayahnya mengetahui ia memiliki benda itu. Reflek Amira yang tak terduga itu juga mengejutkan Ardi, mereka berdua saling bertatapan. Ardi terheran-heran melihat raut ketakutan putrinya, hati kecilnya mulai bertanya, apa ada sesuatu yang disembunyikan Amira darinya?
**