Fandy berjalan lesu masuk ke dalam kamarnya, segala upaya telah ia lakukan untuk membantu pencarian keberadaan Amira. Rasa bersalah serta penyesalan pun mulai mengusik pikirannya. Sebagai satu-satunya sahabat Amira di sekolah, seharusnya ia lebih siaga tadi pagi saat gadis itu dibully. Fandy tak menyangka bahwa kesabaran Amira sudah sampai pada batasnya, sehingga dia yang tak pernah mengamuk itu bisa meledak-ledak emosinya.
“Maafin gue Amira, lu di mana sekarang?” Lirih Fandy sembari menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.
Fandy tak lagi fokus belajar setelah insiden menggemparkan sekolahnya itu. Kegiatan belajar kembali normal selepas ibu Amira pergi meninggalkan sekolah dalam keadaan marah. Selepas itu, Fandy pun kesulitan konsentrasi belajar, hatinya yang gusar memikirkan nasib Amira, akhirnya membuat ia terang-terangan bolos di depan Bu Senda. Pria itu pergi dari sekolah, berjalan tanpa arah demi mencari sahabatnya.
Bahkan sesampainya di rumah, kala tubuhnya terasa sangat lelah, pikiran Fandy tetap bekerja memikirkan Amira. “Nggak bisa gini terus, gue nggak bisa diam sebelum memastikan kondisi Amira.” Keluh Fandy yang langsung bangun lagi padahal baru rebahan sejenak di atas kasurnya. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan, dan tanpa beristirahat ataupun makan, Fandy bergegas mengganti seragam sekolahnya lalu keluar dari rumahnya.
***
“Ada apa Amira? Apa ada yang kamu sembunyikan?” Selidik Ardi yang heran melihat ekspresi wajah Amira yang misterius, seperti takut ketahuan sesuatu yang dirahasiakan.
Amira menggenggam erat bedaknya yang ia sembunyikan dengan tangan di belakang punggung. Kepalanya menggeleng pelan, menyanggah kecurigaan ayahnya. “Nggak kok ayah, nggak ada apa-apa.” Kilah Amira takut-takut.
Ardi mengangkat satu alisnya, “Lalu apa yang kamu sembunyikan di belakangmu? Apa ayah boleh tahu? Ayah hanya tidak ingin kamu memendam kesulitan sendiri.” Ujar Ardi dengan nada lembut, ia berusaha keras mendapatkan kepercayaan Amira agar bersedia cerita padanya.
Amira memang lebih dekat dengan ayahnya, meskipun juga punya hubungan baik dengan ibunya. Tetapi kedekatan emosional gadis itu lebih nyaman mencurahkan perasaan kepada ayahnya. Ia kembali menggeleng pelan, “Ini... Ini... Hanya bedak saja ayah.” Jawab Amira seraya menunjukkan benda yang ia sembunyikan dari ayahnya.
Raut wajah Ardi yang heran mendadak lebih tenang setelah memastikan bahwa benda yang disembunyikan Amira bak harta karun itu ternyata hanya sebuah bedak. “Oh... hanya bedak rupanya, kamu merasa canggung ya karena ini perlengkapan anak gadis? Ayah bisa mengerti kalau begitu.” Gumam Ardi yang salah sangka, ia pun tak tahu bahwa Amira ikut tersenyum lega lantaran tak dicurigai lagi.
Amira mengangguk dengan cepat, ia bisa menghela napas lega karena ayahnya cukup awam soal kosmetik. Jikapun tahu, paling hanya mengira itu bedak biasa. Mungkin Amira yang harus belajar bersikap tenang, siapapun yang awam pasti menaruh curiga andai sikap Amira selalu seperti ini setiap orang lain melihatnya. “Iya, ayah. Hanya bedak biasa.” Gumam Amira lega.
“Ya sudah, ayo dimakan dulu. Ayah temani ya biar lebih selera.” Seru Ardi yang mengambil posisi duduk di atas kasur Amira.
Amira tak keberatan, ia memang sangat lapar setelah seharian hanya semangkuk bubur saat sarapan yang mengganjal perutnya. Ardi menatap senang pada putrinya yang makan dengan lahap, meskipun hatinya meringis saat pertama melihat wajah pucat Amira serta luka di jidatnya. Namun Lastri berpesan padanya agar tidak mengungkit dulu masalah kecelakaan yang nyaris membuat Ardi pingsan mendengarnya saat ia bekerja di kantor.
Saat melihat makanan Amira tinggal suapan terakhir, Ardi merasa ini saat yang tepat untuk membahas masalah serius dengan putrinya. “Nak, apa kau yakin lukamu tidak apa-apa dibiarkan begitu saja? Itu kayaknya perlu diperban atau dijahit loh biar nggak infeksi.” Tanya Ardi dengan menjaga intonasinya agar tak terkesan menekan Amira.
Amira berhenti mengunyah, ia tampak diam lalu menelan makanannya. Pertanyaan ayahnya barusan masih terus ia pikirkan, tanpa perlu ia menoleh ke arah pria itu. “Nggak apa-apa ayah, yang Amira butuhkan hanya istirahat.” Jawab Amira pelan.
Ardi mengangguk, ia tak mau memaksa lebih. “Baiklah, tapi jika terasa sangat sakit, jangan ditahan sendiri ya. Ayah dan ibu siap membawamu berobat kapanpun.” Jelas Ardi.
Amira tersenyum dan kali ini menoleh menatap ayahnya. “Terima kasih ayah.” Jawabnya singkat.
Ardi ikut tersenyum, tangannya reflek ingin meraih putrinya dalam pelukan. Tetapi entah mengapa Amira spontan menjauhkan diri, mengelak dari pelukan itu. Seketika Ardi merasa canggung, belum pernah terjadi penolakan dari Amira. Seketika ia merasa cerita istrinya ada benarnya, Amira agak berubah. Mereka terdiam sesaat, canggung dengan keadaan yang hening itu.
“Maaf, ayah bikin kamu nggak nyaman.” Lirih Ardi yang suasana hatinya pun ikut tidak nyaman.
Amira hanya diam mengangguk. “Aku perlu istirahat ayah, biarkan aku sendiri dulu ya.” Seru Amira mengusir halus ayahnya.
Ardi terkesiap, firasatnya berkata aneh tetapi tak bisa diungkapkan langsung pada Amira. “Nak, jangan murung sendirian ya. Ayah dan ibu ikut sedih kalau kamu mengurung diri dan sedih begini, tawaran ayah dan ibu tetap berlaku sampai kapanpun. Begitu kamu ingin pindah dari sini, kita pasti mengabulkannya. Asal kamu senang, apapun akan ayah dan ibu lakukan.” Ujar Ardi sebelum ia berdiri dan beranjak dari kamar Amira.
Amira bergeming menatap punggung ayahnya yang beranjak pergi, ia pun tetap duduk saja dan mengantar kepergian ayahnya dengan tatapan saja. Setelah ia benar-benar sendiri di dalam kamar, Amira menghela napas kasar, tangannya meremas dasternya di bagian d**a. Ada kecamuk dan rasa perih di dalam sana, lebih perih dari luka nyata yang menganga di jidatnya.
“Saat ini masih ada kalian yang melindungi dan menjagaku, tapi kalau kalian sudah tidak ada... Tak ada yang akan bersedia melindungi gadis jelek sepertiku. Jika kalian tidak ada, aku pasti semakin ditindas! Tidak... Tidak akan aku biarkan itu terjadi. Tak seorangpun boleh menyakitiku lagi! Aku harus cantik, harus! Kalau aku cantik, tidak ada yang bisa meremehkanku lagi!” Ucap Amira dengan ambisi yang membara dalam hatinya. Ia tak pernah seserius ini, semua karena sakit hati yang memotivasinya untuk membalas satu persatu orang yang telah membullynya.
***
Lastri menunggu penuh harap-harap cemas di ruang makan, begitu melihat Ardi datang dengan wajah menunduk, hatinya semakin tidak karuan. “Gimana pa?” Tanya Lastri penasaran.
Ardi menggeleng lemah, “Kita tidak bisa memaksanya pindah, sementara ini biarkan saja dia mau berbuat apa. Kita tetap awasi dia, jangan dipaksa dulu, dia mau ke sekolah atau tidak, biarkan saja.” Ujar Ardi lemah.
Lastri mengangguk paham, ia pun sama sedihnya namun belum bisa berbuat banyak.
“Benar katamu, dia agak aneh sekarang.” Timpal Ardi yang tak bisa menutupi resah hatinya.
***