10

1019 Words
Perjalanan menuju Kampung dimulai. Delapan jam Al fokus menyetir mobil tanpa henti kecuali mengisi BBM atau ingin pergi ke toilet saja. Ayu sempat tertidur dan kini sudah terbangun lagi. Ia membuka kedua matanya dengan lebar sambil menatap ke arah jalan raya yang sepi dan sunyi. Semuanya terlihat gelap gulita. Hanya ada sorot lampu mobil atau motor yang saling bertemu dijalan. "Sudah bangun, Nona?" Al melirik Ayu yang masih mengucek kedua matanya dan tersenyum manis sekilas pada Ayu lalu kembali fokus kembali menyetir mobilnya. "Hu um ... Ngantuk banget tadi. Maaf aku ketiduran saat kamu bercerita tentang Ibumu," jelas Ayu melirik sekilas ke arah Al. Tatapan Ayu semakin lekat menatap Al yang terlihat sangat tampan. Raut wajahnya tidak somboh dan sellau tersenyum ramah pada siapa pun juga. Apalagi kalau mengingat gerakannya yang begitu tegas diatas kasur atau saat berada diruang makan. Sungguh itu pemandangan yang sangat indah dan tak baik untuk dilupakan. "Kenapa Nona? Kok, melihat saya begitu? Nanti, Nona malah jatuh cinta pada saya," ucap Al yang kemudian memakai topi dikepalanya sambil tersenyum pada Ayu. Tidak bisa. Sungguh ini tidak bisa dibiarkan. Al memang sangat tampan dan tidak ada lelaki muda yang seperti Al. Baik, ramah, senyumnya manis, tubuhnya tinggi, gagah, dan kuat. Ya, sangat kuat dan sudah membuat Ayu candu. Apa? Ayu candu? Pada supirnya sendiri? Oh ... Tapi, apakah ini salah? "Em ... Aku lapar ..." ucap Ayu singkat untuk menghilangkan rasa gugupnya. "Kita makan dulu," titah Al pada Ayu. Hari sudah larut malam. Keduanya belum mengisi perutnya sejak berada di tempat wisata tadi. Itu pun hanya mie instant yang dimakan bersama. "Memang ada tempat makan dekat sini?" tanya Ayu merasa tak yakin. "Lihat itu. Sebentar lagi, kita sampai dikota kecil dimana Ibuku tinggal. Kota itu sangat aman, nyaman dan selalu dirindukan," jelas Al begitu bahagia menceritakan kota kecilnya itu. Tidak sampai setengah jam. Mobil itu sudah masuk ke Kota kecil yang Al maksud tadi. Benar, Kota ini sangat berbeda dengan kota besar yang selama ini ditinggali oleh Ayu. Mobil itu sudah masuk ke salah satu rumah makan sederhana yang di depannya dihias dengan lampu kelap kelip. Rumah makan yang terlihat sepi pengunjung namun tetap bersih dan rapi. Satu pelayan menyambut Al dan Ayu yang masuk ke dalam. Pelayan itu mempersilahkan masuk dan menunjukkan tempat yang nyaman di dalam. Al membuka kursi untuk diduduki oleh Ayu. "Mau makan apa, Nona?" Al memberikan buku menu agar AYu memilih sendiri makanan yang ingin ia nikmati malam ini. Ayu meraih buku menu itu dan membuka beberapa menu yang masih terbaca asing. "Tempe geprek?" "Itu makanan khas disini. Coba saja, pasti Nona ketagihan." "Oh ya? Boleh deh sama teh manis hangat saja," pesan Ayu pada pelayan itu. Al memilih soto ayam bening dengan lauk ati ampela. "Gimana? Dingin kan?" ucap Al pada Ayu. "Hu um ... Banget," jawab Ayu lagi. Al berdiri dan melepas jaket jeansnya lalu memasangkan dibahu Ayu agar tubuh mungil kesayanagnnya tetap terasa hangat. Ayu menatap jaket yang diberikan Al padanya. Terlihat sederhana sekali perlakuannya namun sangat manis dirasakan Ayu. Bahkan selama limat tahun menikah dengan Edwin, Edwin tak pernah melakuakn hal sekecil ini. "Terima kasih Al," ucap Ayu lembut. "Iya Nona," jawab Al tetap sopan. Pesanan makanan mereka sudah datang. Ayu mulai menikmati makanan sederhana yang ternyata sangat enak. Al tersenyum gemas melihat Ayu yang nampak seperti orang kelaparan. "Pelan -pelan, Nona," titah Al mendekatkan tangannya untuk menghapus sambal yang ada dipipi Ayu. "Em ... Ini enak banget. Apa aku yang lapar, jadi kalap." "Mau nambah? Biar saya pesankan." "Gak usah. Ini cukup," jawab Ayu menyuapkan suapan terakhir ke mulutnya hingga mulutnya penuh dengan nasi. Al juga menghabiskan nasi soto yang ada didepannya. Rasa soto disini t pernah berubah dan selalu panas saat dinikmati. Ini sangat memuaskan perutnya. "Al ... Bisa aku mengurus perceraianku secara online?" tanya Ayu pada Al. Bagi Ayu, Al itu bukan lelai bodoh. Semua hal yang ditanyakan Ayu selalu bisa Al jawab dengan baik. Padahal Ayu juga wanita berpendidikan. "Tentu saja bisa. Nona sudah yakin? Mau bercerai dengan Tuan besar Edwin?" tanya Al memastikan. "Apa yang membuatku tidak yakin? Dia sudah berselingkuh? Aku pun bukan istri yang baik setelah kejadian tadi bersamamu. Aku tidak ingin dia menanggung dosa besarku juga," jelas Ayu dengan tatapan sendu ke arah Al. Al begitu menyesali perbuatannya tadi. Tapi, Al tak bisa menahan rasa inginnya untuk menfapatkan Ayu dan membalaskan dendannya hingga ia benar -benar merasa puas telah menghancurkan Edwin secara perlahan. Tangan Al menyentuh tangan Ayu dan mengusap pelan. "Saya akan menikahimu, Nona. Bahkan sebelum surat ceraimu turun, saya siap mengucap ijab kabul," ucap Al dengan mantap dan penuh keyakinan. "Enggak Al. Aku ingin urusanku dengan Mas Edwin selesai dulu. Satu hal lagi, aku tidak mau mengulang lagi kesalahan yang sama," jelas Ayu lantang. Al mengangguk paham, "Maafkan saya yang sudah berbuat kurang ajar pada Nona. Saya pastikan hal itu tidak akan terulang lagi. Tapi, Saya janji akan menikahi anda, Nona." *** "Mas! Ngapain sih pake dikejar segala! Biarin aja! Bagus dia pergi dengan supir itu. Mas tinggal bilang, mereka pergi karena memiliki hubungan gelap. Pastinya Kakek Raga akan paham," ucap Dyah dengan sinis. Dyah merasa menang dengan kejadian ini. "Dyah. Gak semudah itu. Ayu akan menceraikan aku!" teriak Edwin frutasi. "Mas ... Kamu ini orang hukum. Kenapa gak kamu ceraikan dia duluan sebelum dia menuntut cerai. Bilang dia pergi tanpa pamit! Selesai!" jelas Dyah memberikan usul. "Sudahlah. Aku ingin istirahat. Otakku rasnaya buntu memikirkan Ayu!" umpat Edwin kesal. Dya merangkul pinggang Edwin denagn manja dan membawa lelaki itu kembali ke pavilunnya untuk bersenang -senang tanpa ada gangguan lagi. *** "Kartika! Sudah waktunya kita publikasika hubungan kita. Kasihan Al, yang tak pernah sedikit pun mendapatkan kasih sayang dariku," jelas Raga pada Kartika. "Mas ... Bagaimana dengan Anton? Jika Anton tahu dia pasti merasa tersaingi," jelas Kartika mencoba mengalah. "Tika, Al adalah darah dagingku sendiri. Sedangkan Anton? Aku tidak pernah merasa dia adalah anakku setelah aku tahu, Sari berselingkuh dengan teman kerjanya," ucap Raga lirih. Raga duduk disofa dan mengusap wajahnya dengan kasar. Sebulan sekali, Raga akan menjenguk Kartika dan memberikan uang sebagai nafkah lahir. Tidak lupa, nafkah batin juga diberikan pada wanita yang sudah tak muda lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD