Edwin kembali ke pavilun miliknya. Ia mendapati Ayu ynag trelihat fresh sedang memasak sesuatu di dapur.
"Sa -sayang ... Kapan kamu bangun?" tanya Edwin gugup.
Ternyata Edwin tidak salah lihat saat melihat pintu belakang paviliun memang sudah terbuka dan Ayu sudah terbangun dari alam sadarnya.
"Eh ... Mas Edwin ... Kalau datang itu, minimal ucap salam biar Ayu gak kaget," ucap Ayu lembut sambil memasukkan masakannya ke dalam piring besar.
Edwin meletakkan dompet panjangnya dan laptop lalu mendekati Ayu yang terlihat cantik dari biasanya.
"Kamu cantik banget," bisik Edwin mengecup pipi Ayu.
"Cantik mana sama tetangga sebelah?" tanya Ayu dengan sengaja.
Edwin melingkarkan tangannya dipinggang Ayu dan memeluk erat istrinya dengan perasaan bersalah.
"Maksud kamu apa?" tanya Edwin pura -pura tak paham.
"Mas Edwin dari mana?" tanya Ayu lembut. Setelah meletakkan piring besar itu dimeja makan ia membalikkan tubuhnya dan menatap Edwin dengan lekat.
Tubuh mereka kini berhadapan. Tatapan Ayu semakin tajam.
"Sayang ... Tadi kamu ketiduran. Aku kerja setelah dapat telepon dari klien. Mau gak mau aku ke tempat Dyah biar gak ganggu kamu tidur," ujar Edwin membuat alasan yang klasik.
"Oh ... Takut buat Ayu ganggu," ucap Ayu mengulang kata -kata Edwin barusan.
"Sayang ... Bukan begitu. tadi kamu pules banget. Lagipula kamu gak pakai pakaian. Malu kan kalau dilihat Dyah?" ucap Edwin semakin lancar mencari alasan.
"Hu um ... Lebihbaik malu dilihat Dyah dibandingkan tubuh polos istrinya nanti dilihat lelaki lain, misalnya Al gitu," ucap Ayu dengan sorot mata begitu tajam.
"Ayu .. Kamu ngomong apa sih?" tanya Edwin lagi.
"Kok ngomong apa? Mas itu yang bagaimana jadi suami! Ayu posisi gak pakai baju. Kamar kebuka, pintu belakang kebuka juga. Kalau ada orang yang masuk ke paviliun terus ... " ucapan Ayu dihentikan Edwin dengan menutup bibir Ayu memakai jarinya.
"Itu jelas gak mungkin Ayu sayang. Pikiranmu jangan terlalu buruk. Kalau pun ada yang masuk, ituhanya Al. Dia tidak mungkin berani menyentuh kamu walaupun kamu tak memakai sehelai benang ditubuhmu," jelas Edwin begitu yakin.
"Kenapa? Mas kok begitu yakin. Dia laki -laki lho," ucap Ayu lantang.
"Memang dia laki -laki tapi tidak punya nyali. Laki -laki yang hanya menyukai laki -laki bahkan dia tak merespon wanita yang menyukainya," jelas Edwin dengan nada penuh keyakinan.
"Seyakin itu?" tanya Ayu.
"Sudahlah Yu. Mau ngapain sih ngomongin Al juga. Dia cuma supir, gak akan mungkin berani macam -macam," jelas Edwin lagi.
"Oke. Kita bahas Dyah. Sepenting apa pekerjaan kamu dibandingkan aku, Mas?" tanay Ayu dengan sorot mata yang tajam.
"Tentu penting kamu sayang," jawab Edwin berbohong.
"Oh ya? Kamu takut kehilangan semuanya kan? Kamu cuma berpura -pura mencintai aku, Mas!" jelas Ayu mulai berani bicara pada Edwin dnegan nada tinggi.
"Hei ... Sejak kapan kamu berani menaikkan nada bicara kamu, sayang," tanya Edwin mengeratkan pinggang Ayu.
"Sejak aku tahu, kalau sekertaris itu merangkap tugasnya," jelas Ayu lantang.
"Jaga mulut kamu Ayu!" teriak Edwin dengan nada penuh emosi. Edwin tidak terima dengan ucapan Ayu seakan menghina Dyah.
"Jaga mulut? Sudah berapa lama, Mas? Sudah berapa lama kamu bermain dibelakangku dengan sekertarismu itu!" teriak Ayu semakin keras membentak.
PLAK!
Dengan gagah berani Edwin menampar pipi Ayu dengan keras secara spontan.
"Sudah pintar memfitnah suami kamu, Ayu!" teriak Edwin dengan raut wajahbegitu marah.
"Fitnah? Mulai sekarang kita cerai! Aku mau ke rumah Kakek!" ucap Ayu pada Edwin.
Ayu mendorong keras tubuh Edwin hingga mundur ke belelakang. Ayu mengusap pipinya yang mulus terkena tamparan Edwin. Rasanya perih sekali dan sakitnya menusuk hingga d**a.
Ayu berusaha menahan air mata agar tetap tidak keluar dari matanya. Walaupun hatinya rapuh.
"Cerai! Aku tidak mau cerai Ayu!" treiak Edwin yang berjalan mengikuti Ayu masuk ke dalam rumah.
Ayu mengambil tas pakaiannya yang tadi siang baru ia rapikan. Ayu mengisinya kembali dengan pakaiannya dan memasukkan beberapa barang pribadinya.
Edwin menarik tangan Ayu dan menatap lekat dua bola mata Ayu dengan tangan mencengkeram wajah Ayu.
"Kamu tidak boleh pergi! Aku tidak akan menceraikan kamu dan aku tidak mau kamu ceraikan! Susah payah aku menyimpan drama ini di depan Kakek dan Papa. Jangan sampai kamu merusaknya!" titah Edwin pada Ayu.
Ayu tersenyum sini, "Benar kan dugaanku. Selama ini aku sudh curiga dengan kamu, Mas! Lalu apa fungsiku untuk kamu, Mas?!"
"Kamu itu mesin penggerak uang yang aku miliki, Ayu! Dulu aku memang mencintaimu. Lama -lama semuanya terasa hampa. Apalagi, kamu itu mandul!" teriak Edwin kasar.
"Apa?! Mandul? Kamu punya bukti, Mas? Kalau aku mandul?" tanya Ayu menatap tajam.
"Ada!" ucap Edwin menyeringai dengan licik.
"Ya sudah. Kamu tunjukkan pada Kakek. Lalu ceraikan aku. Selesai!" teriak Ayu kesal.
Berbekal ilmu bela diri yang Ayu miliki. Ayu berhasil menendang perut Edwin dan berlari pergi dari paviliun itu menuju kamar Al.
"Al! Al! Bawa aku pergi dari sini!" teriak Ayu dengan keras sambil membawa tas pakaiannya.
Al mendengar teriakan Ayu dari dalam kamarnya dan keluar. Ia melihat Ayu yang berlari sambil mennagis dan Edwin mengejarnya.
Al langsung masuk ke dalam kamarnay dan mengambil barang berharganya lau berlari menuju mobil yang parir di depannya.
"Ayo Nona!" teriak Al keras membuka pintu mobil dnegan lebar agar Ayu bisa cepat masuk ke dalam.
Ayu masuk ke dalam dan menutup pintu obil lalu menguncinya. Al juga masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin mobil itu lalu melajukan mobil itu dengan laju sangat cepat meninggalkan area tempat wisata itu.
Ayu mengusap wajahnay dengan kasar dan menghapus sisa air matanya.
"Ada apa?" tanya Al lagi.
"Aku minta cerai pada Mas Edwin," jawab Ayu singkat dan tak mau menjelaskan lebih lanjut.
Al tersenyum bahagia di dalam hatinya. Kebahagiaannya tak ditampakkan sama sekali.
"Lalu kita mau kemana?" tanya Al lagi.
"Kemana saja. Asal tidak kembali ke rumah besar yang dihuni oleh orang -orang sombong dan rakus akan harta," jelas Ayu.
"Ke rumah Ibuku di Kampung. Nona mau?" tanya Al menawarkan suasana baru yang pastinya tak pernah Ayu rasakan selama ini.
"Jauh?" tanya Ayu.
"Dari sini sekitar delapan jam saja. Disana banyak kebun teh yang indah. Suasananya nyaman dan sanagt indah. Udaranya juga begitu sejuk bahkan cenderung dingin," jelas Al lagi.
"Apa aku akan merepotkanmu, Al?" tanya Ayu lagi.
"Tentu saja tidak, Nona," jelas Al lembut dengan senyum manisnya yang membuat wajahnya semakin tampan.
"Al ..." panggil Ayu.
"Ya ..." jawab Al pelan sambil melirik ke arah Ayu.
"Wajahmu mirip dengan Kakek," ucap Ayu yang melihat perawakan Al memiliki kemiripan dengan Kakek Raga.
"Mungkin hanay kebetulan saja. Banyak yang bilang begitu. Aku tidak pernah tahu siapa Ayahku dan bakan sampai saat ini. Tapi, Anehnya Ibuku selalu bisa mmebuat aku bahagia dan hidup kami seperti terjamin. Bahkan pekerjaan supir ini juga inisiatif dari Ibu," jelas Al lagi.
"Oh begitu," jawab Ayu singkat.
Banyak rahasia yang tesembunyi. Hanya Kakek Raga yang tahu semuanya.