Keraguan

1283 Words
Selamat membaca! Setelah menunggu dengan cemas, akhirnya Laura mendapatkan kabar baik dari dokter yang menangani Alan bahwa kondisi pria itu saat ini sudah melewati masa kritisnya. Kini Laura hanya tinggal menunggu Alan dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit. "Sekarang kamu sudah tidak perlu sedih lagi Laura karena Andrew akan baik-baik saja," ucap Jeff kepada putrinya sesaat setelah dokter pamit pergi untuk melanjutkan pekerjaannya. "Iya, Dad. Sekarang aku sudah lebih tenang." Di tengah percakapan keduanya, seorang wanita cantik mulai terdengar memanggil nama Laura dari kejauhan dan semakin mendekat. Ya, wanita itu adalah Diana Carson, ibu sambung Laura yang baru satu tahun dinikahi oleh Jeff. Wanita cantik berusia 28 tahun itu langsung mendekap tubuh Laura sesaat setelah tiba di hadapan putri sambungnya itu. "Sayang, kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Diana menampilkan raut wajahnya yang cemas. "Aku baik-baik saja, Mom." "Mommy tahu dari Daddy kalau temanmu terluka parah karena menyelamatkanmu? Dia pria yang sangat pemberani," puji Diana yang diawali dengan sebuah pertanyaan sambil mengurai pelukannya. "Iya, Mom, tapi sekarang kondisi Andrew sudah membaik." "Bagus kalau begitu. Bolehkah Mommy bicara dengan Daddy-mu sebentar saja?" Diana bertanya akan hal itu dengan mengerutkan keningnya. Tanda bahwa ia sebenarnya tidak enak pada Laura karena meminta waktu Jeff untuk bicara empat mata dengannya. "Silahkan, Mom!" jawab Laura tersenyum. "Sebentar ya, sayang." Jeff mengusap lengan Laura sebelum melangkah agak jauh bersama Diana. "Jeff, kenapa hal ini bisa terjadi? Kenapa Laura sampai bisa diculik?" tanya Diana yang terlihat penuh amarah. "Ini semua bermula karena aku memaksanya untuk bertemu dengan Daren." Raut wajah Diana seketika kembali menegang karena kecewa akan sikap Jeff yang terlalu memaksakan kehendaknya pada Laura. "Aku sudah bilang padamu, Jeff. Laura bukan anak kecil yang bisa kamu pilihkan pria untuk menjadi suaminya. Jadi biarkan dia memilih sendiri. Dia itu berhak atas hidupnya, Jeff." Diana terlihat begitu tegas saat mengatakannya. Membuat Jeff langsung menyadari kesalahannya. "Baiklah, aku minta maaf. Aku memang salah karena terlalu menekan Laura untuk menuruti keinginanku. Sampai akhirnya, dia nekat pergi dari rumah dan menjadi korban penculikan." Raut wajah Jeff tampak menampilkan rasa bersalahnya. Hal yang dapat terbaca oleh Diana jika suaminya itu kini sudah dapat mengerti tentang apa yang sering dikatakannya. "Tidak perlu minta maaf, Jeff. Sekarang yang terpenting putri kita baik-baik saja. Aku juga minta maaf ya karena sudah terlampau tegas padamu. Aku itu hanya ingin putri kita bisa bahagia, Jeff. Itu saja, tidak lebih." Diana mulai mengusap lengan suaminya dengan maksud agar dapat mengurangi rasa bersalah yang kian membebani Jeff. Terlebih karena keegoisannyalah, Laura nyaris menjadi korban perdagangan manusia yang memang sedang marak kala itu di kota Sydney. Bagaimana tidak, lebih dari 2 orang dalam satu hari wanita muda seumuran Laura menghilang. Bahkan yang lebih parahnya lagi, wanita-wanita muda tersebut seolah lenyap tanpa meninggalkan jejak hingga menyulitkan pihak kepolisian untuk melacak keberadaan mereka. "Terima kasih ya, Diana. Aku tidak salah memilihmu untuk menjadi istriku. Kamu adalah seorang ibu yang sangat baik. Laura juga pasti akan sangat bahagia jika mendengar tentang ini semua." Perkataan Jeff seketika membuat senyuman mulai mengembang dari kedua sudut bibir wanita cantik itu. Di saat percakapan mereka tentang Laura baru saja selesai, tiba-tiba ponsel Diana berdering. Menjeda kalimat yang ingin diucapkan kembali oleh Jeff. "Sebaiknya kamu jawab dulu teleponnya, siapa tahu penting!" titah Jeff sambil melihat ke arah tas Diana di mana benda pipih itu berada. Mendengar perintah suaminya, Diana pun dengan cepat meraih ponsel dalam tasnya. Seketika sorot matanya menajam dengan kedua alis yang saling bertaut di saat ia mulai menatap layar ponsel yang sudah digenggamnya. Raut wajah yang tegang itu hanya berlangsung sepersekian detik karena Diana kembali menampilkan senyuman. "Sebentar ya, sayang. Aku jawab dulu teleponnya. Ini dari klienku, biasalah aku sedang dikejar deadline." "Ya sudah, kamu jawab saja dulu teleponnya. Aku tunggu di sana ya bersama Laura!" Setelah keduanya saling melempar senyuman, Jeff pun mulai melangkah pergi menghampiri putrinya yang masih terlihat duduk di kursi tunggu. Meninggalkan Diana yang tengah menjawab panggilan telepon itu sambil menjauh beberapa langkah dari posisinya semula. *** 1 jam kemudian, kini Laura sudah berada di ruang rawat VVIP menemani Alan yang masih tak sadarkan diri hingga saat ini. Jeff sengaja memilihkan kelas VVIP untuk pria yang sudah dianggapnya sebagai pahlawan karena telah menyelamatkan putrinya sampai terluka parah. "Alan, sadarlah! Kamu harus ingat jika kamu punya misi balas dendam yang belum kamu selesaikan. Maka itu, kamu tidak boleh mati, bangun Alan!" pinta Laura dengan kedua matanya yang sudah dipenuhi bulir kesedihan. Menunjukkan bahwa saat ini Laura sangat bersedih dan takut kehilangan pria yang telah menyelamatkannya. Mendapati Alan yang masih bergeming dan tak merespon perkataannya, wanita itu pun mulai berdoa dengan penuh kesungguhan. Namun, di tengah doanya, Laura mulai mendapati kedua mata Andrew mengerjap secara perlahan. Tak hanya itu, jemari tangan Andrew yang sejak tadi digenggamnya mulai terasa seperti digerakkan. Membuat senyuman seketika mengembang di wajah Laura yang dengan cepat mengusap air mata pada kedua pipinya. "Alan, akhirnya kamu sadar." "Hi, di mana ini?" tanya Alan sesaat setelah pria itu membuka matanya dengan suara yang terdengar parau. "Ini di rumah sakit. Kamu telah menyelamatkanku, apa kamu ingat tentang hal itu?" jawab Laura diakhiri sebuah pertanyaan. "Tentu saja. Bagaimana bisa aku melupakannya. Tulang rusukku terasa patah dan bagian dalam perutku benar-benar sakit seperti ada yang meledak di dalamnya akibat ditendang pria itu." Walau hanya terdengar pelan. Namun, itu sudah cukup membuat Laura menjadi lega karena penantiannya melihat Alan sadar kini menjadi kenyataan. "Maafkan aku ya karena telah menyusahkanmu. Aku juga mau berterima kasih karena berkat kamu, Daddy jadi merestui hubunganku dengan Andrew." "Benarkah secepat itu?" tanya Alan yang tak menyangka bila Jeff begitu cepat luluh. "Iya benar. Jadi sekarang giliranku untuk membalas semua yang kamu lakukan ini. Aku akan membiayai seluruh kepergianmu ke London." "Benarkah itu? Tanpa ada syarat apa pun, kan?" tanya Alan yang masih ragu atas apa yang didengarnya saat ini. "Tentu saja benar, tapi tetap ada syaratnya." Alan kembali menampilkan raut masam pada wajah Andrew. "Aku sudah dapat menebak. Kamu ini memang tidak akan pernah memberikanku bantuan secara cuma-cuma," protes Alan sambil membuang pandangannya karena merasa kesal kepada Laura. "Apa pun syaratnya katakan saja, tapi tolong jangan minta aku untuk memenangkan kompetisi matematika itu!" sambung Alan melanjutkan perkataan sebelumnya. "Kau ini terlalu over thinking padaku!" jawab Laura dengan santai sambil bersedekap. "Syaratnya itu aku juga akan ikut ke London untuk menemani tubuh Andrew yang sekarang kau tempati itu. Aku tidak ingin ada sesuatu hal yang buruk terjadi pada Andrew. Maka dari itu, aku harus memastikan agar tubuh Andrew aman, saat nanti dia kembali pada tubuhnya." Alan coba mencerna dengan baik perkataan yang terlontar dari mulut Laura hingga ia pun mulai ragu akan hal itu. "Bagaimana jika kenyataannya aku tidak akan bisa pergi dari tubuh ini? Atau malah saat dendamku sudah terbalaskan nanti, ternyata Andrew tidak akan pernah kembali ke tubuhnya karena sebenarnya dia memang sudah mati sewaktu tenggelam di pantai." Tubuh Laura seketika menjadi lemah. Perkataan Alan sungguh membebani pikiran wanita itu hingga membuat harapannya kian tergerus keraguan yang perlahan menyelinap masuk dan memenuhi pikirannya. "Apa benar seperti itu? Bagaimana jika ternyata perkataan Alan itu benar? Andrew tidak akan pernah kembali dan jiwa Alan akan tetap di tubuh Andrew untuk selamanya. Apakah aku bisa menerima semua kenyataan itu suatu saat nanti?" batin Laura tampak merenungi perkataan Alan. Di saat Laura semakin hanyut dalam pikirannya. Alan kini mulai merasa lega karena pada akhirnya, Laura mau membantu dalam menuntaskan misi balas dendamnya dengan membiayai perjalanannya ke London. Hal yang membuat pria itu kembali teringat akan sosok Emilia, wanita yang sangat dicintainya. "Aku janji Em, aku pasti akan menghabisi mereka semua. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka hidup tanpa dosa setelah menghancurkan dan memisahkan keluarga kita," batin Alan dengan tekad yang membuncah bersama rasa dendam dalam dirinya. Bersambung ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD