Selamat membaca!
Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, Laura terlihat sedang menghubungi Jeff untuk meminta izin agar Alan bisa tinggal sementara waktu di rumahnya. Alasannya adalah karena kondisi Alan yang masih belum sepenuhnya pulih pasca penyelamatan yang dilakukannya.
"Ayahku sudah mengizinkan. Jadi sementara waktu ini, kamu akan tinggal di rumahku ya," ucap Laura memberitahu Alan sesaat setelah mengakhiri sambungan teleponnya.
"Tapi Laura, kalau aku pulang saja juga enggak apa-apa. Kamu tidak perlu repot-repot. Jujur aku tidak enak nanti kalau tinggal di rumahmu. Lagipula kan aku tidak akan sendirian karena ada Callum," jawab Alan menolak secara halus tawaran Laura.
"Apa maksudmu? Ada aku? Tidak, tidak, akhir-akhir ini aku akan sibuk. Jadi sebaiknya kamu turuti saja keinginan Laura. Lagian juga semua itu demi kebaikanmu, Andrew." Seketika Callum meralat ucapannya. "Maksudku, Alan," sambung Callum masih merasa geram dengan semua kenyataan tentang tubuh Andrew yang bukan lagi dimiliki oleh sahabatnya.
Merasa tak punya pilihan lain, Alan pun akhirnya mengiyakan permintaan Laura. "Baiklah, aku akan tinggal di rumah Laura untuk sementara waktu."
"Nah, begitu dong. Lagipula benar kata Callum, semua ini demi kebaikan kamu. Semakin cepat kondisi kamu membaik, rencana kamu untuk pergi ke London pasti akan segera terlaksana."
"Tapi sepertinya aku akan menundanya sampai satu bulan ke depan," timpal Alan yang seketika membuat Laura dan Callum terkejut.
"Maksudnya?" tanya Laura heran.
"Bukankah jika lebih cepat akan lebih baik, apalagi kasus penembakan perdana menteri Inggris sampai saat ini masih belum menemukan titik terang. Kalau yang aku baca di beberapa berita online, sudah banyak yang mengarahkan tuduhan itu kepadamu Alan. Termasuk M16 sendiri yang memang berwenang dalam menangani masalah tersebut. Secara tidak langsung, mereka beranggapan bahwa menghilangnya Alan Walker secara misterius adalah sebuah pelarian karena kamu telah menembak perdana menteri."
Kali ini Alan yang dibuat terkejut, saat mendengar perkataan Callum. "Kau jangan bergurau. Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Alan penasaran.
"Tadi setelah mengetahui bahwa kamu ternyata bukanlah Andrew, aku langsung mencari tahu semua tentang kamu, Alan. Dari internet banyak aku temukan berita itu."
"Tidak mungkin. Apa berita ini baru dimuat?" tanya Alan kembali merasa aneh karena waktu pertama kali ia mencari tahu tentang berita pembunuhannya, pria itu tak menemukan berita yang dimaksud oleh Callum.
"Iya berita ini baru. Jadi M16 telah mengkonfirmasi bahwa pelaku pembunuhan perdana menteri kemungkinan besar adalah kamu dan setelah pernyataan itu, beberapa media di sana langsung memuat topik berita tersebut. Terhitung hari ini dan kemarin, headline berita "Alan Walker kill Frederick Spencer" benar-benar menjadi trending bahkan sampai ke twitter," ungkap Callum. Membuat raut wajah Andrew seketika menampilkan amarah yang mulai membuncah dalam dirinya.
"Sial! Jadi ternyata ini alasannya mereka melenyapkanku. Mereka sengaja mengkambinghitamkan aku untuk mencuci nama mereka agar kasus ini tidak lagi muncul ke permukaan."
"Sabar ya, Alan! Kamu harus tetap tenang agar bisa berpikir jernih untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Aku yakin, kamu pasti bisa menguak misteri kematianmu dan juga kasus pembunuhan perdana menteri. Aku percaya karena kamu adalah agen M16 yang luar biasa. Buktinya waktu itu kamu bisa menemukan keberadaanku hanya dari beberapa petunjuk kecil yang aku sebutkan. Jadi aku yakin sekali, kalau masalah ini pasti bisa kamu pecahkan juga."
"Tapi ini berbeda, Laura. Kasus ini adalah sebuah kasus yang besar, tapi aku punya firasat yang kuat bahwa pelakunya adalah Angela Mauren."
"Angela Mauren wakil perdana menteri yang sekarang naik jabatan menggantikan Frederick Spencer. Itu tidak mungkin, apa kau punya bukti?" tanya Callum begitu antusias menanggapi perkataan Alan.
"Saat ini aku belum punya bukti apa pun. Hanya saja aku sangat yakin jika dia melakukan ini tidaklah sendiri. Ada campur tangan beberapa agen M16 dalam rencananya," jawab Alan dengan kedua alis yang saling bertaut.
Mendengar kesimpulan Alan, Callum sampai lupa jika saat ini ia masih merasa kesal dengan Alan. "Wah seru sekali. Kasus ini seperti yang sering aku tonton dalam film Detektif Conan. Bolehkah aku ikut kalian ke London? Aku jadi ingin terlibat langsung dalam memecahkan kasusnya."
Laura langsung menaikan kedua alisnya sambil melihat sinis ke arah kaca tengah mobil yang mengarah pada Callum.
"Tadi katanya kamu tidak mau terlibat sama sekali dalam urusan Alan dan Andrew, tapi sekarang kamu malah mau ikut pergi ke London. Sepertinya saat sahur tadi kamu sudah salah makan ya, Callum? Sampai kamu bisa melupakan apa yang sudah kamu ucapkan," sindir Laura sambil bersedekap dengan sorot mata yang menajam.
Callum yang juga melihat kaca tengah mobil pun seketika meralat ucapannya. "Eh tidak jadi deh. Benar kata kamu Laura. Ya, anggap saja tadi aku khilaf. Pokoknya aku tidak mau terlibat dalam urusan kalian. Aku tidak peduli!" Callum kembali fokus dengan kemudinya. Ia coba untuk mengabaikan percakapan yang kembali berlangsung antara Alan dan Laura. Walaupun jauh di dalam hatinya, pria itu benar-benar tertarik untuk terlibat dalam kasus yang tengah dihadapi oleh Alan.
"Tapi apa sebaiknya aku ikut saja ya. Lagipula aku sudah diamanahkan oleh Nyonya Claude untuk menjaga Andrew selama dia pergi ke luar negeri," batin Callum mengingat pesan terakhir yang disampaikan ibu kandung Andrew.
Setelah menempuh perjalanan selama 1 jam, mobil yang dikendarai oleh Callum pun mulai memasuki area pelataran kediaman Laura.
"Akhirnya kita sampai juga," ucap Callum sambil menghentikan laju mobil tepat di teras rumah.
"Lho, kok pada diam saja." Callum menoleh ke belakang. Dilihatnya, Alan dan Laura yang tengah terlelap saling bersebelahan.
"Halo, Tuan Alan dan Nona Laura terhormat! Bangun!" titah Callum sambil berteriak keras diakhir kalimatnya. Membuat Laura dan Alan seketika terperanjat kaget setelah beberapa menit lalu terlelap tanpa sengaja.
"Kita sudah sampai ya, Call?" tanya Laura sambil melihat sekeliling. Memastikan bahwa mereka kini sudah berada di rumahnya.
"Jadi kalian anggap aku sopir apa? Kalian enak-enakan tidur," protes Callum dengan raut wajah yang masam.
Alan yang juga terbangun dari tidurnya pun hanya bisa menepuk pundak Callum sambil beranjak keluar dari mobil mengikuti Laura yang sudah lebih dulu keluar. "Sabar, Call. Kamu kan sahabat yang baik."
"Oh ya, Call. Aku juga minta tolong ya, kamu keluarin barang-barang yang ada di bagasi dan bawa masuk ke dalam ya!" pinta Laura yang kini mulai menuntun Alan untuk melangkah masuk ke rumah.
"Sabar, sabar. Tidak boleh marah, ingat Call! Jangan sampai puasamu batal karena mereka berdua," batin Callum yang memang tengah menjalankan ibadah puasa karena pria itu adalah satu dari beberapa mahasiswa muslim di kampus tempat Andrew dan Laura kuliah.
Setelah masuk dan tiba di ruang tamu, Alan yang merasa tidak enak pun kembali melontarkan sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam pikirannya. "Oh ya, Laura, kalau ayahmu sudah mengizinkan, bagaimana dengan ibumu? Apa dia juga mengizinkan aku untuk tinggal sementara waktu di sini?"
"Tidak perlu ditanya karena dia pasti akan setuju. Sudah kamu tidak perlu memikirkan tentang itu. Sekarang ini, kamu harus fokus dulu dengan pemulihanmu agar bisa secepatnya menuntas misimu di London karena itu adalah yang paling penting. Ayo kita ke kamarmu di lantai 2!"
"Terima kasih ya, Laura. Aku beruntung karena Andrew memiliki seorang wanita yang sangat baik sepertimu."
Raut wajah Laura seketika merona mendengar pujian Alan. "Kamu ini ngomong apa? Apa itu sebuah pujian?"
"Tidak, aku mengatakan hal yang sebenarnya."
"Sudah ah, ayo sekarang ke kamarmu! Aku sudah lelah sekali mau istirahat." Laura langsung mengalihkan pembicaraan agar Alan tak melihat rona merah yang masih tersisa di raut wajahnya. Kini wanita itu kembali melanjutkan langkah kakinya dengan menggenggam erat lengan Alan untuk membantunya kembali melangkah. Hal yang membuat jarak keduanya menjadi semakin dekat hingga menimbulkan getaran aneh di hati Laura.
"Ya Tuhan, apa yang aku rasakan ini? Kenapa aku jadi merasa nyaman ya ada di dekat Alan? Apa mungkin karena aku sering menghabiskan waktu bersamanya ya? Tidak, tidak, aku tidak boleh berpikir aneh-aneh. Ingat, Laura! Kamu itu sudah punya Andrew, lagipula Alan sudah punya anak dan istri. Jadi kamu tidak boleh memiliki perasaan lebih padanya!" batin Laura dengan segala dilema yang tengah bergelut dalam pikirannya.
Bersambung ✍️