Ingatan Alan

1387 Words
Selamat membaca! Tempat yang pekat dan gelap. Tak ada cahaya selain kilau yang ada di ujung lorong sana. Sebuah lorong panjang yang sedang dilalui seorang pria bernama Alan Walker. Tubuhnya kini tak ada lagi dalam kuasanya karena dua sosok berjubah putih tengah memapahnya menuju ke tempat di mana kilau cahaya itu terlihat. "Di mana ini?" tanya Alan pada kedua sosok yang terus memegangi kedua lengannya. Sosok itu tak menjawab dan terus membawa tubuh Alan menelusuri lorong itu. Alan pun coba berontak, tetapi ia gagal. Kekuatan yang dimilikinya saat di dunia seakan hilang. Ia hanya bisa pasrah dan mengikuti ke mana langkah membawanya saat ini. "Apa aku sudah mati?" tanya Alan melihat ke sekeliling tempat di mana ia berada saat ini. Sampai akhirnya, ingatan itu pun kembali muncul. Sebuah ingatan saat terakhir kali ia melihat Emilia, istrinya dan juga putri kecilnya yang bernama Bella Walker. Kala itu pukul 10.00, tepatnya hari Minggu. Hari di mana Alan mendapatkan libur setelah hampir dua bulan dirinya tak mendapatkannya. Kesibukan bekerja di kesatuan MI6 membuatnya sering menerima protes dari Bella, putrinya yang berusia 5 tahun. Tak ingin mengecewakan sang putri, Alan akhirnya mengajukan cuti karena tepat hari ini putrinya berulang tahun dan Alan berencana akan merayakannya. "Sayang, bangun! Bella sudah menantimu di bawah. Bukankah kamu berjanji akan mengajaknya ke tempat bermain untuk merayakan ulang tahunnya hari ini?" ucap Emilia sambil duduk di tepi ranjang dan mendekatkan wajah cantiknya di hadapan wajah Alan yang masih terpejam. Alan pun mulai mengerjapkan kedua matanya, walau rasa kantuk masih terasa berat bergelayut di kelopak matanya. "Iya sayang, 10 menit lagi ya. Katakan kepada Bella, aku akan segera ke bawah!" Dengan suara parau, Alan mengatakan semua itu. Kedua matanya masih terasa enggan untuk terjaga hingga kembali terpejam sambil diikuti gerakan tangan Alan yang mendekap guling di samping tubuhnya. "Tidak, tidak! Cukup! 10 menit bagimu pasti akan membuat Bella bosan menunggu karena bisa jadi satu jam. Ayo bangun, sayang!" Emilia menarik guling yang berada dalam kuasa suaminya dengan paksa, lalu mulai mencubit hidung lancip Alan hingga pria itu beringsut dengan kedua mata yang terbuka. "Sakit tahu, sayang!" Alan masih memegangi hidungnya yang terasa perih karena cubitan dari istrinya. Namun bukannya bangun, Alan malah menarik tubuh Emilia ke atas ranjang hingga keduanya kini saling mendekap dengan wajah yang sangat dekat. "Kenapa kamu tidak menciumku saja, sayang? Kalau dicubit itu kan sakit," protes Alan sambil terus menatap wajah Emilia yang kini berada di atas tubuhnya. "Tidak ada lagi ciuman! Semalam kan sudah cukup, sayang. Sudah ayo bangun! Kasihan Bella sudah menunggu sejak tadi." Emilia berusaha mengurai dekapan suaminya yang begitu erat. Namun, Alan tetap enggan melepasnya dan nyaman berada dalam posisi seperti saat ini. Baginya, kebersamaan dengan sang istri yang sangat terbatas membuatnya begitu rindu saat-saat berdua dengan Emilia. "Baiklah, berikan aku ciuman satu kali saja! Setelah itu aku akan langsung mandi, bagaimana deal?" ungkap Alan dengan idenya yang diakhiri sebuah pertanyaan. Tak ingin berlama-lama, Emilia langsung memberikan kecupan singkat pada bibir suaminya. "I love you, Alan." Emilia terdengar begitu tulus saat mengatakannya. "Aku juga Emilia, maaf ya aku selalu menomorduakanmu dari tugas negaraku. Sekarang dan besok kita akan menghabiskan waktu bertiga dengan Bella," ungkap Alan dengan senyumnya yang mengembang. "Itu adalah suatu kebanggaan untukku, sayang. Aku bangga bisa menjadi seorang istri dari Alan Walker." Keduanya saling melempar senyuman dan menatap dalam dengan penuh cinta. Sampai akhirnya, suara teriakan Bella terdengar keras membuat kedua insan yang sedang bertaut rindu itu terkejut dan langsung bangkit dari posisinya. "Daddy, Mommy, apa yang kalian lakukan? Apakah kalian melupakan ulang tahunku?" protes Bella yang baru saja membuka pintu kamar dengan tergesa-gesa. Alan yang kini sudah duduk di tepi ranjang pun mulai menatap wajah putrinya yang terlihat mencebik manja karena merasa diabaikan. "Tidak dong sayang, Daddy ingat." Alan pun mulai menggerakkan tangannya untuk membuka laci pada nakas yang berada di samping ranjang tidurnya. Sebuah kado yang berukuran sedang tampak dikeluarkan Alan dari sana. Membuat wajah Bella seketika mulai cerah dengan senyum yang mengembang. "Daddy." Bella pun berlari untuk melabuhkan tubuh mungilnya ke dalam dekapan Alan yang sudah menyambutnya. Momen kala itu menjadi situasi haru yang membuat Emilia tak kuasa menahan air matanya hingga membasahi wajahnya. Hal yang dapat dibaca oleh Alan. "Sini sayang!" titah Alan yang langsung dituruti oleh Emilia dengan ikut berlutut di samping tubuh suaminya dan mereka pun saling berpelukan. "Ya Tuhan, jaga selalu suamiku dalam menjalani tugasnya. Aku dan putriku sangat mencintainya," batin Emilia yang terus mendekap Bella dan juga Alan dengan penuh haru. ()()()() 1 jam kemudian, Alan kini sudah terlihat tampan dengan kemeja bermotif panel yang dipadupadankan celana jeans yang ia kenakan. Membuat penampilannya kala itu terkesan sangat casual. Pria itu pun langsung menuruni anak tangga dengan tergesa karena takut putri dan istrinya menunggunya terlalu lama. Suara hentakan kaki Alan saat menuruni anak tangga sudah dapat terbaca oleh Bella yang langsung menunggunya di ujung anak tangga. "Daddy, ayolah! Ini sudah jam 11 siang. Apa kamu mau teman-temanku menunggu terlalu lama?" gerutu Bella sambil melipat tangannya dengan wajah yang mencebik kesal. Bagaimana tidak, Alan membutuhkan waktu satu jam lamanya untuk mandi dan bersiap-siap. Membuat gadis kecil itu sangat bosan menunggunya. "Sudah aku bilang sayang, putrimu ini bukan orang yang sabar menunggumu! Ayolah cepat! Aku sudah memindahkan mobil untuk kita berangkat," timpal Emilia yang baru saja kembali dari teras rumahnya setelah selesai memanaskan mesin mobil. "Terima kasih ya sayang dan untuk kamu putri kecil Daddy, maafkan Daddy ya, sekarang jangan cemberut lagi! Ayo kita jalan!" ucap Alan sambil merengkuh tubuh mungil Bella, lalu menggendongnya. Pria itu berusaha membuat putrinya tersenyum dengan menggelitik bagian perut Bella hingga gadis kecil itu tertawa kecil, walau sudah sekuat tenaga ditahannya. "Stop Daddy, stop, aku geli. Oke fine, aku maafkan, tetapi turunkan aku karena aku sudah besar jadi tidak perlu digendong lagi!" protes Bella yang terdengar sangat pintar dalam berkata-kata hingga membuat Alan tersenyum. "Baiklah putri kecil Daddy yang katanya sudah besar. Sekarang kamu ke mobil duluan dengan Mommy ya!" titah Alan yang sudah menurunkan tubuh mungil Bella dari gendongannya. "Ayo sayang kita ke mobil!" titah Emilia sambil menggenggam tangan putrinya untuk melangkah ke teras rumahnya. Baru saja menurunkan Bella dari dekapannya. Pria itu tiba-tiba tersentak kaget saat kedua matanya melihat sebuah berita yang terpampang jelas di televisi. Berita yang memuat kejadian terbunuhnya sang perdana menteri pagi ini saat menghadiri pidato perdamaian. "Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Alan yang membuat langkah Emilia terhenti diambang pintu karena mendengar ucapan suaminya. Emilia pun langsung menoleh untuk menatap Alan dengan tanda tanya di raut wajahnya. "Ada apa sayang?" tanya wanita itu dari tempatnya berada. Tak ingin putrinya melihat berita pembunuhan yang saat ini sedang dilihatnya, Alan pun tak menjawab pertanyaan Emilia. "Tidak apa-apa sayang, masuklah ke mobil! Aku akan segera menyusul setelah melihat berita ini!" jawab Alan yang tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari layar televisi yang terletak di ruang tamu rumahnya. Saat pandangan Alan terus fokus menatap berita tersebut. Tiba-tiba dering ponsel miliknya berbunyi. Alan pun langsung mengambil benda pipih itu dari saku jeansnya dan melihat layar pada ponselnya tertera nama Mike, sahabatnya di kesatuan M16. "Mike." Alan langsung menjawab sambungan telepon itu dengan kedua alis yang saling bertaut. "Alan, apakah kau melihat berita pagi ini?" tanya Mike pada sahabatnya. "Ya, aku lihat Mike. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Alan dengan kedua mata yang masih mengarah pada berita itu. "Aku sendiri tidak tahu, tetapi atasan memintamu untuk datang ke kantor pusat," ucap Mike menyampaikan perintah dari Bryan, atasan mereka di kesatuan MI6. Alan pun berpikir sejenak sebelum menjawab perkataan Mike. Ia sangat paham keadaan saat ini memang sangat darurat. Namun di sisi lain, ia benar-benar tak ingin merusak kebahagiaan Bella di hari spesialnya. "Baiklah Mike, aku akan datang sekarang," ucap Alan dengan berat hati. "Aku mengerti ini hari ulang tahun Bella, pasti berat untukmu, tetapi sebaiknya kau datang saja dulu untuk mendengar apa yang ingin disampaikan Bryan. Setelah itu kau bisa pergi lagi," ucap Mike yang coba mengerti situasi yang saat ini menimpa Alan. Sebuah situasi yang sulit, antara tugas negara dan membahagiakan putri kecilnya di hari ulang tahunnya. "Terima kasih, Mike, tetapi Emilia dan Bella pasti akan mengerti." "Oke brother, kita bertemu di kantor!" Sambungan telepon pun terputus. Sementara Alan masih terus melihat berita yang benar-benar membuatnya sangat terkejut. Bagaimana tidak, kematian seorang perdana menteri pasti akan menjadi sebuah berita yang sangat menggemparkan bukan hanya di negara itu sendiri, tetapi di seluruh dunia. Bersambung ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD