Bab 16. Perasaan Yang Tersembunyi

1038 Words
Adrian terbangun lebih dulu, menemukan Karin sedang memeluknya seperti tengah menganggapnya guling. Adrian menguap dengan perlahan dan juga hati-hati agar tidak membangunkan Karin. Anehnya setelah itu, dia jatuh menatap istrinya dengan tatapan yang sulit diartikan. Adrian menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Karin. Adrian membuang nafasnya kasar. Dia miris pada dirinya sendiri yang sudah sejahat itu pada istrinya dan luka yang ditorehkan olehnya. Akan tetapi, dia juga akhirnya tersadar soal tangan mereka yang masih diborgol. Dengan sebelah tangan Adrian meraih kuncinya. Itu tidak ditempatkan seperti yang dikatakan pada Karin, melainkan di atas nakas, tepat di bawah ponselnya yang diletakkan di sana. Cklek! Borgolnya berhasil dibuka, Adrian segera melepas lantas menaruhnya di nakas. Sebelum kemudian kembali dan memperhatikan istrinya lagi. "Harus luka ini tidak pernah ada. Maaf ...." Adrian mengusap luka memar di dahinya pipi yang sedikit membiru dan juga sudut bibirnya yang mengalami hal serupa. "Andai kamu tahu, sebenarnya aku sudah lama menyukaimu, dan aku sudah pernah merelakanmu. Membiarkan kamu bahagia dengan laki-laki lain. Namun, saat kejadian kamu hampir ditabrak mobil, dan hampir saja celaka, jika seandainya Thania tidak menyelamatkanmu," ungkap Adrian mengingat masa lalu mereka. Dia tahu cerita itu, sebab saat mulai tertarik pada teman dari adiknya itu, Adrian mulai mengawasi Karin di tengah kesibukannya. "Akan tetapi, kenapa kamu tidak berterimakasih dan setelahnya kamu justru berubah. Kamu bahkan menjauhi Thania, bahkan memusuhinya. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?" Adrian bingung memikirkan perubahan Karin. Tidak ada perasaan yang berubah, melainkan bertambah. Di sisi cinta, Adrian tanpa sengaja memupuk obsesi bersama kebencian akan sikap Karin yang menurutnya berubah. Seharusnya dia memang punya cara lain untuk membuat Thania bahagia, dengan memisahkan Karin dan Brian. Dia bisa memaksa Brian bersama dengan Thania tanpa menikah dengan Karin, tapi Adrian lebih memilih jalan yang sulit, demi keuntungan pribadi. "Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur. Hanya saja aku sadar sepertinya kamu memang harus bersamaku agar menjadi orang yang lebih baik, karena dengan begitu aku bisa mengontrol keburukanmu. Membuatmu berubah dan seperti Karin yang lama," ungkap Adrian terbayang sosok istrinya yang ceria dan itulah yang membuat tertarik, selain memang penampilan Karin yang merupakan type-nya. Sebelum menjadi musuh seperti sekarang, sebenarnya Karin dan Thania, memang lumayan dekat. Mereka seumuran dan bahkan kuliah di jurusan yang sama. Beberapa kali mengerjakan tugas atau bahkan bermain bersama. Hal itulah yang kemudian membuat Adrian mengenal Karin. Meski hubungan Karin dan Thania, tidak sedekat hubungan Karin dengan Mila, namun mereka bukanlah musuh seperti sekarang. Itu semua bermula dari pertemuan Thania dan Brian. Di hari yang sama, saat Karin hampir saja celaka dan tertabrak mobil. Pada saat menolongnya, baik Thania atau Karin mengalami luka memar. Brian yang mendengar berita itu, segera menemui Karin dan mengetahui segalanya. Dari sanalah Thania dan Brian saling mengenal. Sebagai ucapan terimakasihnya, laki-laki itu membantu Thania mengobati lukanya. Namun, bukan hanya itu. Beberapa kali sejak kejadian itu, Brian bersikap ramah pada Thania, dengan menyapanya setiap berpapasan atau bahkan memberinya cokelat. Mungkin hal itulah yang akhirnya menyebabkan Thania mempunyai perasaan lebih pada Brian. Karin yang akhirnya mengetahuinya, menjadi kecewa dan memperingatkan Thania. Namun, bukannya menurut, Thania yang terlanjur mabuk perhatian Brian, bahkan tanpa tahu malu meminta balasan kebaikannya yang pernah menyelamatkan nyawa Karin. Dengan meminta Karin merelakan Brian. Pertengkaran dan bahkan putus, Karin dan Brian melewatinya. Hingga pada akhirnya, Brian tak tahan lagi melamar Karin dan mereka bertunangan. Sayangnya masalah bukannya selesai, tapi malah menjadi jauh lebih buruk, dan tidak bisa diperbaiki. ***** "Arghh ... sssttt!" keluh Adrian saat tangannya tiba-tiba digigit. Mendengar hal itu, Karin yang masih tertidur dalam pelukannya pun terbangun, dan terkejut melihat posisi mereka. Wanita itu segera menjauh, tapi Adrian segera menariknya kembali. "Mau kemana kamu? Jangan pikir bisa kabur begitu saja setelah menggigit tanganku. Lihatlah, apa yang sudah kamu lakukan, gigimu sampai meninggalkan jejak di sini!" kesal Adrian menuntut. Karin bingung, bagaimana dia bisa melakukan apa yang suaminya katakan. Padahal dia merasa tak melakukannya, dan bahkan dia masih merasa pusing setelahnya bangun tidur. "Sudahlah! Lupakan hal itu, karena sekarang sudah bangun lebih baik kita makan dan minum obat. Sepertinya sudah waktunya," ungkap Adrian. "Tapi tanganmu bagaimana?" tanya Karin perhatian. Dia bukan peduli, tapi karena Adrian mengatakan kalau itu karena dirinya yang menggigit tangannya, maka Karin merasa perlu bertanggungjawab. "Tidak usah dipikirkan. Ini cuma luka kecil dan tidak sakit," jelas Adrian dengan tatapan yang sulit diartikan oleh Karin, tapi sebenarnya hal itu membuatnya mengurangi rasa bersalahnya. Setidaknya dia mendapatkan sesuatu karena sudah kelewat kasar pada istrinya sendiri. Sementara Karin masih berpikir keras mengenai hal itu. Ah, ternyata dia mimpi makan daging yang dipanggang kesukaannya, tapi siapa sangka dia malah menggigit daging mentah yang dibencinya. Karin segera mendengus kasar menyadari hal itu dan merasa sial. "Lebih baik kita makan, sepertinya kamu sangat kelaparan sampai mengigit sembarangan," ceplos Adrian terdengar menjengkelkan. Karin tanpa mengangguk pun bangkit, tapi hal itu malah membuatnya diserang rasa pusing dan membuatnya jatuh kembali dan terduduk di atas tempat tidur. "Tidak bisa bangkit?" Karin menggelengkan kepala. "Pergilah sendiri, kepalaku masih pusing, aku akan menyusul secepatnya." Adrian menggeleng, dia bangkit dan mengitari tempat tidur. Menghampiri Karin dan memaksanya untuk bangkit, sebelum kemudian Adrian menggendongnya ke ruang tengah. Adrian kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya dan memesan makanan dari aplikasi pintarnya. Kemudian menghampiri Karin dan duduk di sisinya. ***** "Aku tidak bisa ke sana. Istriku sakit dan aku akan menemaninya," jelas Adrian di telepon. Malam itu selanjutnya dia menghadiri acara bersenang-senang temannya sebelum menikah. Sejenis pesta lajang untuk para pria. "Ah, sial! Padahal aku sudah mengundangmu secara eksklusif, tapi baiklah. Tunggu istrimu lebih baik, kamu harus datang ke pesta lajangku!" ceplos Arland. Dia tak sendiri dan sepertinya teman-temannya yang lain sudah di sana. "Apa kau gila? Sampai kapan kamu akan mengadakan pesta lajang-mu brengs*k?" kaget Andra yang mendengar pembicaraan Arland di telepon. "Ini demi Adrian beg*, dia sahabat terbaikku, jadi aku tidak akan membuatnya melewatkan hari terbaikku!" ungkap Arland yang masih terdengar Adrian, dan hal itu membuatnya mengumpat jijik. "Sial*n!! Tidak usah membawa namaku dalam kepentingan pribadimu. Aku tahu bajing*n sepertimu suka bersenang-senang!" kesal Adrian. "Dan aku akan mengabadikan setiap momen ini, agar saat dia macam-macam. Aku akan mengirimnya pada calon istrinya!" timpal Andra. "Hei, Playboy cap mau, apa maksudmu? Kau ingin jadi benalu dalam pernikahanku?!" Setelah mendengar kalimat Arland yang terakhir, telepon mati secara sepihak. Sepertinya dua temannya itu tengah melanjutkan acara dengan bergulat. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD