Bab 2. Si Pria Perkasa

1142 Words
“Jangan lancang kamu, Anna. Kalau sampai ada yang dengar, semua orang akan menganggap itu benar,” sentak Melisa tanpa menatap sang putri. Sebenarnya, ia terkejut mendengar ucapan putrinya. Kenapa Anna bisa menebak hal demikian. Apakah ia sudah ketahuan atau apa ada yang membuatnya mencurigai hal itu? Melisa berlalu, sedangkan Anna terdiam di tempat. Ia tak mungkin salah lihat dan terka. Bekas merah di leher sang mama adalah bekas cupangan. Lantas, mengapa Melisa melakukan hal yang sama dengan apa yang papanya lakukan? Anna menutup wajahnya dengan telempap. Ia merasa begitu sial karena hidup di keluarga seperti ini. Tidak papanya atau mamanya, tidak ada yang pernah memikirkan perasaannya. Anna membuka matanya. Ia menatap meja makan yang kini terasa begitu hampa. Dulu, waktu semuanya masih baik-baik saja, di sana mereka sering bersenda gurau. Nyatanya, semuanya lenyap karena sebuah nafsu semata. Sanjaya yang tergoda oleh wanita yang lebih muda dan bahkan terang-terangan di depan Melisa membuat semuanya hancur berantakan. Entah apa yang harus Anna lakukan sekarang. Sementara itu, Melisa masuk ke kamarnya dan menguncinya dari dalam. Ia bersandar pada pintu dan memejam. Inilah yang selalu ia takutkan sejak lama. Jika ia juga berkhianat, Anna akan tahu lebih dulu. Nyatanya, ia sama sekali tak bisa melupakan Rahes begitu saja. Saat kemudian, ponselnya berdenting. Satu pesan masuk dari pria yang masih bercokol di pikirannya saat ini. [Tante sudah sampai rumah?] Itu hanya pertanyaan sederhana. Namun, bisa membuat hati Melisa berdebar-debar. Jadi, ia mencoba menenangkan dirinya. Baru setelah itu membalasnya. Tak disangka, Rahes langsung melakukan panggilan. Melisa dengan gugup mengangkat panggilan itu usai memastikan tidak akan ada yang mendengar percakapan mereka. “Rahes, kenapa kamu menelepon?” tanya Melisa. “Apa … aku membuat Tante Melisa susah? Ada suami Tante di sana?” tanya Rahes balik. “Enggak ada. Tapi kamu membuatku cemas. Aku tidak bisa melakukan panggilan dengan pria lain. Ada anakku,” kata Melisa kemudian. “Oke. Aku tidak akan menelepon lagi. Maaf, Tante.” “It’s, oke. Tutup teleponnya dan istirahatlah,” ucap Melisa kemudian. “Iya, Tante.” Sambungan telepon terputus. Melisa membuang napasnya dengan kasar. Ia sangat berdebar-debar mendengar suara Rahes. Apakah ia mulai gila? Wanita itu kemudian melempar tubuhnya ke ranjang. Ia hendak memejam, tapi belaian Rahes masih ia rasakan menyentuh kulitnya. Sampai akhirnya, Melisa menyambangi dunia mimpi. *** “Gimana, Mel? Rahes bikin kamu jadi muda lagi, kan?” tanya Ratna yang duduk di sebelah Melisa kali ini. “Iya, gimana Rahes, Mel? Duh, aku penasaran. Dia yang paling susah dibooking sejak dulu. Akhirnya bisa kamu dapatkan,” ucap Denia yang juga penasaran dengan cerita sang rekan. “Kalian ini, kepo banget. Ya, jelas memuaskanlah. Lihat, tuh, wajah Melisa berseri-seri begitu,” celetuk Susan. Melisa hanya bisa tersenyum kecil mendengar celotehan rekan-rekannya. Tentu saja, ia begitu senang. Malam bersama Rahes adalah yang terbaik setelah Sanjaya mengabaikannya. “Kalian memang terbaik. Thanks banget, ya. Aku sampai terbayang-bayang,” jawab Melisa jujur. Sorak sorai terdengar dari para wanita sosialita tersebut. Restoran yang mereka pesan jadi sedikit gaduh gara-gara mereka. “Rahes selalu pilih-pilih, Mel. Sama kita bertiga aja dia enggak mau. Eh, pas kita bilang kamu yang mau, dia langsung bilang iya. Semangat banget lagi. Kamu beruntung, Mel,” kata Denia. “Beneran?” tanya Melisa. “Iya. Memangnya kalian sudah pernah ketemu sebelumnya?” tanya Ratna. “Belum. Cuma kalian tau enggak dia ngomong apa setelah kita melakukan itu?” “Apa Mel?” Ketiganya begitu penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Rahes. Saat itu juga, Melisa menceritakan apa saja yang diucapkan oleh pria itu. Semua perhatiannya juga tatapannya yang penuh kasih sayang kepada Melisa. Hingga salah satu rekannya mengambil asumsi dari apa yang dikatakan oleh wanita itu. “Kayaknya Rahes suka sama kamu, Mel. Ya, enggak, sih? Sekarang coba pikir, kita tawarin uang lebih banyak waktu itu buat nemenin kita, dia nolak. Giliran sama kamu, baru lihat foto kamu dia langsung iya. Padahal kita belum tentukan harga waktu itu,” jelas Susan. Melisa terdiam. Apakah benar, pria seperti Rahes akan jatuh cinta padanya? “Udah, sikat aja, Mel. Cakep ini Rahesnya. Aku yakin, dia juga sangat memuaskan di ranjang, kan?” kata Ratna. “Iya, iih. Aku jadi pengen,” celetuk Denia yang juga merasa gemas. “Iya, Mel. Suami kamu, kan, udah enggak peduli sama kamu. Ya, udah. Kalau kamu butuh, telepon aja si Rahes,” ucap Susan. “Kalian apaan, sih? Kalian mau aku juga selingkuh begitu?” “Ya, kenapa memangnya? Sanjaya juga harus tau kalau masih ada pria yang bisa memuaskanmu,” ucap Ratna. Melisa terdiam. Ia hanya tersenyum kecil mendengar ucapan rekan-rekannya itu. Ya, jika ia mau bisa saja ia selingkuh. Namun, Melisa kembali berpikir ulang. Anna sudah dewasa, apakah ia bisa terima jika kedua orang tuanya menggila? Usai bertemu dengan rekan-rekannya, Melisa pulang ke rumah. Baru saja ia masuk, Darman–sopir Anna–memanggilnya. “Iya, ada apa, Pak?” tanya Melisa. “Maaf, Nyonya. Saya harus pulang kampung secepatnya. Istri saya sakit di kampung. Jadi, saya harus menjaganya,” katanya. “Oh, gitu. Jadi, saya harus cari sopir baru untuk Anna, ya, Pak.” “Sebenarnya, sudah ada yang mau gantikan saya, Nyonya. Tapi, apa Nyonya mau?” tanya Darman. “Kalau dia bertanggung jawab dan bisa melakukan tugasnya dengan baik tidak masalah, Pak. Saya akan terima,” kata Melisa kemudian. “Iya, Nyonya. Dia baik dan bertanggung jawab. Saya kenal baik dengan dia. Kalau begitu, biar nanti sore saya minta dia datang ke sini,” kata Darman. “Oke. Saya tunggu,” ucap Melisa. *** Sore itu, Anna yang turun dari kamarnya berencana pergi ke toko buku untuk membeli perlengkapan kuliahnya. Saat ia melihat keluar, Darman sudah tidak ada. Jadi, ia bertanya pada ART-nya yang saat ini ada di dapur. “Pak Darman ke mana, Bik?” Marni yang sedang sibuk dengan cucian piringnya menoleh, lalu tersenyum pada nona muda keluarga Sanjaya. “Loh, Pak, Darman udah pamit tadi siang, Non. Pulang kampung. Istrinya sakit,” kata Marni. “Astaga, iya. Aku lupa. Terus aku pergi sama siapa ini?” ucap Anna kemudian. Saat itu, Melisa turun dari lantai atas dan menghampiri sang anak yang sedang kebingungan. Anna memang tidak bisa menyetir mobil. Lebih tepatnya ia trauma, jadi tidak berani lagi melakukannya. Jadi, selama ini ia selalu menggunakan sopir. Dengan begitu, Melisa juga bisa mengontrol pergaulan sang putri. “Tunggu sebentar lagi. Sopir penggantinya Pak Darman akan segera datang,” ucap Melisa. Anna menoleh. Ia mencari kepastian dari apa yang dikatakan oleh sang mama barusan. Ketika kemudian terdengar suara dari arah pintu utama. “Selamat sore.” Anna dan Melisa kompak menoleh. Pada ambang pintu, sosok Rahes berhasil menarik perhatian ibu dan anak itu bersamaan. “Saya Rahes. Saya yang akan menggantikan Pak Darman sementara beliau pulang kampung,” imbuh pria itu. Dada Melisa berdebar-debar. Pria itu sungguh mengejutkannya. Rahes benar-benar datang ke rumahnya saat ini. Jadi, apakah ia harus sesenang ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD