Bab 1. Hasrat Terpendam

1166 Words
“Tubuh Tante Melisa sangat indah,” bisik Rahes yang baru saja membuang dress yang dikenakan oleh Melisa. Wanita paruh baya itu berdebar-debar karena mendengar ucapan pemuda yang seharusnya lebih pantas menjadi anaknya. Ia tak menyangka akan bisa menikmati malam dengan Rahes. Pria muda yang dijadikan teman-teman sosialita Melisa sebagai hadiah ulang tahun bagi wanita itu. “Jangan berlebihan, Rahes. Aku sudah sangat tua,” ucap Melisa seraya menahan rasa gelinya karena tangan Rahes yang kekar mengusap lengannya yang putih bersih. Wanita itu menatap mata pria di depannya dengan nanar karena paham jika ini hanya akan terjadi malam ini. Ia hanya menuruti apa kata teman-teman arisannya. Tadi, mereka memberikan sebuah cardlock untuk Melisa. Dan ia diminta masuk ke kamar yang telah dipesan. Tak disangka, Rahes telah menunggu di sana dan mengaku sebagai hadiah bagi Melisa dalam ulang tahunnya yang ke 42 kali ini. “Usia hanya angka, Tante. Aku tidak memperdulikan hal itu. Bagiku, Tante Melisa masih sangat menggoda,” ucap pria itu seraya mengecup punggung tangan Melisa yang mulai terbuai. “Benarkah? Tapi, aku sudah lama tidak melakukan ini, Rahes,” jawab Melisa. “Ya, aku tau. Maka, lepaskan semuanya malam ini bersamaku, Tante,” kata pria itu penuh kelembutan. Tangan Rahes kemudian terulur demi bisa menarik kaitan di belakang tubuh Melisa. Saat itu, wanita yang sudah hampir 2 tahun tak merasakan sentuhan sang suami meremang. Ia membuka sedikit mulutnya yang kemudian disambar oleh Rahes yang mulai menggila. Keduanya larut dalam kesenangan dunia tanpa peduli kubangan dosa yang mengepung. Kenikmatan yang bergulung-gulung didapatkan Melisa malam itu benar-benar membawanya ke awang-awang. Sentuhan, dekapan, bahkan usapan yang dilakukan Rahes pada wanita paruh baya itu membuatnya kepayang. Sampai pada satu titik keduanya melepas semuanya bersama. Melisa masih dalam dekapan Rahes ketika tenaganya mulai pulih. Ia menoleh ke arah pria yang kini masih melingkarkan lengan di pinggangnya yang ramping. Sementara matanya memejam dengan wajah tampan paripurna. Melisa memejam sesaat. Ia mulai menyadari kekeliruan yang ia lakukan. Tidak seharusnya ia membalas pengkhianatan sang suami dengan hal yang sama. Nyatanya, bercinta dengan Rahes tadi membuatnya lega setelah memendamnya selama ini. Ya, ia masih wanita normal yang butuh belaian dan rayuan seperti tadi. “Tante sudah bangun?” tanya Rahes tak lama kemudian. Mata pria itu baru terbuka setelah tidak mendapatkan sahutan dari Melisa. Rahes menyipitkan mata demi melihat wanita yang kini tampak menatapnya dengan saksama. Pria itu tersenyum, lalu mencium kening Melisa lembut. “Kenapa ngeliatin aku begitu, sih?” tanya Rahes seraya merangsek ke d**a Melisa. “Entahlah, Rahes. Aku merasa kita pernah bertemu sebelumnya,” ucap Melisa. “Dan kita akan sering bertemu setelah ini, Tante. Aku janji,” sahut pria itu mantap. Melisa mengernyit. Kenapa Rahes begitu yakin dengan apa yang baru saja ia katakan? Bukankah ia hanya dibayar malam ini saja oleh teman-temannya. “Kenapa kamu–” “Tante, entah kenapa setelah melihat Tante Melisa untuk pertama kali semalam, aku merasakan menemukan seseorang yang selama ini aku cari. Apa Tante percaya hal ini, aku sangat berdebar-debar saat menyentuh Tante Melisa untuk pertama kalinya. Aku bahkan sampai gemetar. Tante boleh percaya atau tidak, tapi aku serius Tante,” aku Rahes kemudian. Melisa terdiam. Ia sudah terlalu tua untuk merasakan cinta. Ya, ia sudah mati rasa pada yang namanya cinta. Namun, pria di depannya benar-benar membuatnya gila. Pengakuan Rahes disertai dengan tatapan mata penuh keyakinan. Lantas, apa ini serius? “Tapi kita tidak punya celah, Rahes. Tante punya suami dan keluarga. Mana mungkin–” “Ssstts, Tante tak perlu menjelaskan semuanya. Aku paham, aku juga sadar siapa aku. Jadi, aku tidak akan meminta yang lebih dari ini,” ucap Rahes kemudian. Pria itu kembali memulainya. Melisa sendiri tak bisa mengelak. Pesona berondong di hadapannya tidak terbendung. Bagaimana ia menjadi lebih dewasa dan membuat Melisa kembali menjadi wanita muda dalam sekejap dengan sentuhan dan belaiannya. Mereka kembali melakukannya sampai beberapa jam kemudian. Melisa telah bersiap dengan pakaiannya untuk pulang. Wanita itu menyematkan make up tipis di wajahnya dan merapikan rambutnya dengan sisir. Sementara Rahes terus menatapnya dari atas ranjang. Pria itu masih bersandar di sana dan memindai Melisa dengan lekat. “Tante mau aku antar?” tanya pria itu. “Jangan! Kamu istirahat saja. Aku bisa pulang sendiri,” sahut Melisa. “Baiklah. Kapan kita bisa bertemu lagi?” tanya Rahes lagi. Melisa menoleh. Ia menatap mata Rahes yang sayu dan penuh candu. Lantas, mendekati pria itu dan duduk di tepi ranjang. “Aku enggak tau, Rahes. Mungkin juga tidak akan bisa bertemu lagi,” ucap Melisa. Rahes membuang napasnya dengan kasar. Ia tampak menyesal dan kesal mendengar jawaban Melisa. Saat itu, Melisa menyodorkan ponselnya pada Rahes dengan tersenyum. “Simpan nomer HP dan berikan nomer rekeningmu,” katanya. Dengan malas Rahes melakukan apa yang diminta oleh Melisa. Ia hendak memberikannya kembali ketika kemudian ia menarik wanita itu lebih dekat ke dadanya. “Aku butuh lebih dari uang, Tante. Jangan lupa hubungi aku kapan pun Tante mau. Aku akan datang, atau kalau tidak, aku yang akan mendatangi Tante Melisa,” ucapnya. Melisa tersenyum, lalu mengangguk lemah. “Baiklah, Sayang,” katanya. Melisa mengetik di ponselnya, lalu menunjukkan angkanya pada Rahes. Pria itu kemudian mengangguk lemah. “Terima kasih, Tante,” katanya. “Iya. Aku harus pulang sekarang. Hotel ini sudah aku bayar, istirahatlah,” ucap Melisa yang kemudian meninggalkan Rahes seorang diri. Usai wanita itu berlalu, Rahes tersenyum kecil. Ia merebah dengan euforia yang ada dalam dadanya. “Sebentar lagi. Tunggu saja sebentar lagi, Tante Melisa,” ucapnya. *** Melisa memeriksa sekali lagi penampilannya sebelum masuk ke rumah. Ini sudah hampir pagi, ia yakin semuanya sudah tidur. Namun, ternyata sang putri masih terjaga dan turun usai mendengar deru mobil yang masuk ke halaman. “Mama dari mana?” tanya Anna penuh selidik. Sejak beberapa bulan yang lalu, Anna sering melihat sang mama pulang larut malam. Bahkan sampai pagi begini. Tak jarang acara arisan yang dilakukan hingga ke luar kota. Gadis itu tahu apa yang dirasakan Melisa karena sikap Sanjaya–sang papa–yang kelewat gila dengan wanita yang lebih muda. Namun, haruskah menjadi seperti ini? “Mama dari … Mama baru saja merayakan ulang tahun dengan teman-teman mama,” kata wanita itu kemudian. Melisa mencoba mencari alasan. Tidak mungkin ia bilang jika ia baru saja menghabiskan malam dengan berondong hadiah dari teman-temannya. “Sampai sepagi ini? Mama enggak ke kelab, kan?” tanya Anna lagi. Melisa mulai kesal. Anak gadisnya itu memang terlalu berlebihan. Memangnya kenapa jika ia pergi ke kelab. Melisa pernah ke sana dan di sana sangat menyenangkan. “Jaga bicara kamu, Anna. Apa mulut mama bau alkohol? Mama hanya memesan restoran dan makan-makan saja. Jadi, jangan berpikir terlalu jauh. Kamu tidak berhak menghakimi mama. Sudahlah, mama capek. Mama mau istirahat,” kata Melisa kemudian. Wanita itu berjalan pelan melewati sang putri yang menatapnya dengan nyalang. Sampai satu hal terlihat dan tak luput dari pandangan Anna. Tanda merah di leher Melisa yang kemudian membuat gadis itu kembali melempar ultimatum. “Mama enggak pergi sama pria lain, kan?” tanyanya yang kemudian membuat Melisa langsung tersentak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD