Debaran Jantung

1172 Words
Hanan membuka pintu rumahnya. Saat dibuka, tepat bersamaan ia melihat Naya yang baru keluar dari kamarnya. Naya berpakaian rapi, seolah mau keluar rumah. "Mas? Kok sudah pulang?" sapa Naya dengan melihat ke arah jam dinding. "Ya. Aku pulang cepat hari ini," jawab Hanan. "Kamu sendiri, mau ke mana? Apa mau ke dokter?" tanya Hanan. "Aku, mau ke mall dekat sini, Mas," jawab Naya dengan wajah cemas. "Mall?!" ulang Hanan. "Untuk apa?" "Ponselku, ketinggalan waktu aku ke sana tadi," jawab Naya. Membuat Hanan mengkerutkan keningnya heran. "Ketinggalan? Apa kamu ke sana sebelumnya?" tanya Hanan lagi. "Iya, Mas. Tadi aku keluar karena ada salah satu penulis yang mengajak bertemu. Jadi, aku ke sana. Tapi, sekarang ponselku ketinggalan," jelas Naya. "Pantas saja, kamu tadi tidak mengangkat panggilanku," kata Hanan. "Mas Hanan, menelfonku?" tanya Naya lagi. "Aku, hanya khawatir karena kamu sakit. Tapi, kamu malah pergi ke mall?!" tanya Hanan tidak sadar meninggikan nadanya. "Karena aku dan teman penulisku sudah janjian sejak lama. Dan, aku tidak enak kalau harus membatalkannya," jelas Naya. "Lagi pula, aku sudah jauh lebih baik kok, Mas," lanjutnya sambil tersenyum. "Tapi, tetap saja. Seharusnya kamu masih harus istirahat di rumah," ujar Hanan. Naya menganggukkan kepalanya peka. "Maaf, Mas. Aku masih harus segera pergi," potong Naya begitu saja. "Ponselku tidak boleh hilang. Aku harus menemukannya. Karena, semua kerjaanku ada di sana," kata Naya lagi. "Aku akan mengantarmu," tawar Hanan cepat. "Antar?" ulang Naya. "Tapi, bukankah Mas Hanan baru pulang kerja? Aku bisa naik taksi kok, Mas," kata Naya. "Mana bisa aku membiarkanmu pergi sendiri dengan kondisi sakit? Membuatku khawatir saja," kata Hanan dengan sangat pelan pada kalimat terkahir. "Apa?" tanya naya yang tidak begitu mendengarnya dengan jelas. "Jadi, kita harus berangkat sekarang! Kita harus mengambil ponselmu secepatnya!" ujar Hanan yang segera mengalihkan pembicaraan. Takut jika Naya bisa mendengarnya. "Oh! Benar juga, Mas. Tapi, sebelumnya terima kasih," ujar Naya. Hanan hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum. Hanan yang bahkan masih belum sempat duduk setelah pulang kerja tadi, kembali keluar rumah. Mereka berdua, segera pergi ke departemen store dengan harapan bisa menemukan ponsel Naya kembali. *** "Ada seseorang yang mengantarnya ke sini. Jadi, saya menyimpannya," ujar seorang perempuan yang bekerja di layanan informasi. "Syukurlah," kata Naya sangat lega. "Terima kasih banyak," lanjut Naya sembari mengambil ponselnya dari salah satu pegawai di bagian informasi di mall tersebut. Sebelumnya, Hanan menghubungi ponsel Naya dengan ponselnya berkali-kali. Dalam waktu beberapa menit, untung saja ada yang mengangkatnya. Hanan segera meminta tolong pada orang yang menemukan ponsel Naya itu, untuk dibawa ke bagian informasi, sehingga Naya bisa mengambilnya. "Untung saja, ponselmu tidak jatuh di tangan yang salah," kata Hanan yang ada di sebelah Naya. Naya menoleh ke arah Hanan. "Iya, Mas," jawab Naya menganggukkan kepalanya. Naya kembali mengecek ponselnya. Tentu saja, panggilan Hanan sangat banyak sekali, agar orang-orang di sekitar menyadari ponsel Naya. Tapi, Naya merasa aneh dengan waktu yang tertera di saat Hanan menghubunginya. "Mas? Apa, tadi sore Mas Hanan menghubungiku?" tanya Naya pada Hanan. "Tentu saja! Bukankah kita harus memastikan ponselmu ada di mana?" "Maksudku, sebelum itu," kata Naya. "Sebelumnya, Mas Hanan sudah banyak sekali menelfon. Bahkan panggilan yang masuk sebelumnya, lebih banyak dari saat Mas Hanan menelfon untuk mencari ponselku," ujar Naya bingung. Hanan menjadi tercekat mendengarnya. "Apa ada hal penting? Kenapa Mas Hanan menelfonku sebanyak ini?" tanya Naya lagi. "Ee... aku pikir, dataku ada yang tertinggal di rumah. Jadi, aku minta tolong padamu untuk melihatnya," kata Hanan beralasan secepat mungkin. Padahal tentu saja, ia sangat mencemaskan Naya yang masih sakit. "Oh, begitu," kata Naya sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya!" Hanan menjawab cepat. "Data itu sangat penting, jadi aku harus memastikannya!" lanjut Hanan yang masih terlihat kelabakan saat mencari alasan. "Benarkah?! Kalau begitu, kenapa tadi Mas Hanan langsung mengantarku ke sini? Mas Hanan tidak mencari dulu di kamar Mas Hanan? Bahkan tadi Mas Hanan tidak sempat masu juga ke kamar?" tanya Naya lagi. Hanan kembali tersentak. Ia tidak berpikir panjang, karena Naya terlalu kritis menyadarinya. "I..itu karena ternyata dataku sudah ada di kantor. Terselip di dalam tasku," kata Hanan. Ia kembali merasa bersyukur karena bisa mencari alasan secepat kilat. "Oh, begitu. Syukurlah." Naya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Hanan akhirnya bisa menghela nafas leganya. Ia tak sadar, jika ia sangat gugup dalam sekian detik tadi. Untung saja, otaknya juga bisa cepat bekerja. "Terima kasih ya, Mas," kata Naya pada Hanan. Membuat Hanan menoleh ke arah Naya. "Mas Hanan, sudah banyak sekali membantuku. Mas Hanan bahkan belum sempat ganti baju atau membersihkan diri setelah pulang kantor tadi," kata Naya merasa terharu. "Tidak apa-apa. Yang penting, sekarang ponselmu sudah ketemu," kata Hanan. Naya menganggukkan kepala. "Karena semua pekerjaanku ada di sini," tambah Naya menunjukkan ponselnya. Naya kemudian kembali mengecek ponsel miliknya. Hanan memperhatikan istrinya itu. "Nay?" panggil Hanan. Naya mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Hanan. "Iya, Mas?" jawab Naya. "Kamu, kelihatan pucat sekali. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Hanan kembali merasa cemas. "Sebenarnya, aku sedikit pusing," jawab Naya. "Benarkah?! Kalau begitu, kita langsung pulang saja!" ajak Hanan. Naya hanya menganggukkan kepala menuruti suaminya. Mereka berdua yang ada di lantai tiga, berjalan ke arah lift. Setelah berada di depan lift, mereka menunggu sampai lift terbuka. Mereka akan turun ke bawah. "Sepertinya, di mall hari ini lumayan ramai?" ungkap Hanan sembari melihat-lihat sekitar. Naya tidak membalas kalimat Hanan. Ia memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Sepertinya, ia masih pusing juga. Hanan pun bisa melihatnya. "Nay, apa kamu tidak apa-apa?" tanya Hanan. "Oh! Tidak kok, Mas. Tidak apa-apa," jawab Naya tersenyum. Hanan masih memperhatikan Naya. Ia khawatir jika Naya masih merasa sakit. Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka. Mereka kemudian masuk ke dalam lift. Di dalam lift, Hanan memencet tombol turun ke lantai satu. Di mana mereka berada di lantai tiga, sebelumnya. Setelah itu, Hanan kembali mengamati Naya, untuk mengkhawatirkannya. Saat di lantai dua, pintu lift terbuka. Ada orang yang akan masuk ke dalam lift. Hanan dan Naya tentu ikut menunggunya. Ternyata, saat itu orang yang akan masuk ke dalam lift, lumayan banyak sekali. Membuat lift mendadak menjadi penuh. Hanan melihat Naya yang mundur untuk memberi ruang pada penumpang lift yang lain. Hanan, langsung refleks menggerakkan tubuhnya. Ia segera berjalan mendekati Naya untuk berada di depannya. Hanan bermaksud agar Naya tidak terkena gesekan oleh penumpang lift yang lain. Untuk melindungi Naya. Sehingga, Naya tepat berada di depan d**a Hanan. Naya, tentu saja terkejut dengan perlakuan Hanan. Seolah jantungnya berhenti berdetak. Ia bahkan sampai mengangkat kedua pundak. Karena, pergerakan Hanan baru saja, terlalu cepat. Tapi, bukan itu masalahnya. Saat ini, mereka berhadapan. Meskipun Hanan sedikit lebih tinggi, namun mereka masih bisa saling tatap dengan jarak sangat dekat. Naya berusaha mengalihkan pandangannya, mencari cara agar tidak saling berhadapan. Tapi, justru terlihat semakin canggung. Akhirnya, ia menundukkan pandangannya dengan tersipu malu. Jantung Naya yang tadinya sempat terhenti, mendadak berdebar kencang tidak beraturan. Seolah mau meledak saja. Ia juga mengalami sesak nafas, dalam waktu sekian detik. Masalah lain adalah, waktu seolah menjadi lebih lambat dari biasanya. Jika waktu yang dibutuhkan untuk menuruni lift hanya sekitar kurang dari satu menit, tapi saat ini, seolah Naya merasa lebih dari satu jam. Selama itu, Naya masih harus terus menahan nafasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD