3. Tetap Di Sini

1062 Words
"Aku sangat merindukan mu!" Binar dibuat terkejut oleh apa yang dilakukan Langit padanya. Pelukan itu sungguh membuatnya mematung dengan kedua kakinya yang terasa melemas. Bukan! Bukan Binar tertarik pada Kakak sepupunya itu. Hanya saja, perempuan mana yang tidak akan melemas ketika dipeluk oleh laki laki tampan dan mapan seperti Langit. Apalagi laki laki itu pernah akan dijodohkan dengannya meski akhirnya tidak jadi juga. Perlahan Langit melepaskan pelukannya dan menatap Binat begitu lekat. Jantungnya berdebar tidak karuan. "Maaf, Binar. Tolong lupakan untuk apa yang telah aku lakukan sama kamu, barusan." Langit sungguh takut adik sepupunya itu kembali menghindarinya. Langit harus tetap menutup semua perasaannya itu, sehingga Binar tetap berada di jankauannya seperti dahulu. "I-iya, mas." Binar tidak boleh salah paham. Mungkin saja, Langit memang sedang merindukan kekasihnya, dan barusan mereka hanya terbawa suasana saja. "Aku mau pulang. Jaga diri kamu di sini. Jangan ijinkan siapapun masuk ke dalam apartemen ini." kemudian setelahnya adalah Langit yang pergi meninggalkan Binar. Perempuan itu mematung dengan tubuhnya yang kaku. Ia bingung dengan semua kebaikan yang diberikan Kakak sepupunya itu. Laki laki itu jelas tidak mungkin menyukai dirinya. Namun pelukannya barusan, sungguh membuat jantungnya berdetak tidak biasa. Ah, tolong jangan salah paham Binar. Mungkin dia memang sedang merindukanmu, dan tentu saja hanya sebagai adik sepupunya. Atas rekomendasi Langit, akhirnya Binar bisa kerja di sebuah restoran. Dia yang memang tidak sampai lulus kuliah, hanya memiliki satu kesempatan saja, yaitu sebagai pelayan restoran. "Di sini gajihnya dua juta delapan ratus, kamu dapat jatah makan dua kali, dan kalau lembur, kamu akan digajih lima puluh ribu setiap satu jam." itu penjelasan Pak managernya, yang bernama Anton. Lelaki 30 tahun yang katanya masih saja betah menjomblo. Anton ini adalah temannya Langit, Binar pernah sempat melihat laki laki itu ke rumahnya Langit, ketika laki laki itu masih sekolah SMA. dan Binar masih kelas satu SD kala itu. Binar jelas masih mengingat laki laki itu, meski sedikit agak lupa lupa ingat. Umurnya dan Langit terpaut sembilan tahun, makanya aneh, jika saat ini Langit dan lelaki yang menjadi managernya itu masih saja betah menjomblo. "Baik, pak." ujar Binar.. "Pak?" Anton membeo. "Apa saya terlihat setua itu?" tambahnya. Binar tercenung, karena setahunya atasan akan dipanggil Pak, oleh bawahannya. "Maaf, apa saya salah panggil?" tanya Binar ragu dan bingung. Antonio mengangguk angkuh. "Tentu saja. Di sini tidak ada yang memanggil saya dengan sebutan kolot itu. Mereka semua memanggil saya, Tuan. jadi kamu pun harus memanggil saya dengan panggilan itu. Mengerti?" "Ba-baik Tuan." Baru pertamakalinya Binar menemui atasan yang tidak mau dipanggil, dengan sebutan pak. Tapi apa boleh buat, sultan mah memang bebas. "Tunggu apa lagi, kamu sudah boleh kerja hari ini." "Baiklah, Pa-tuan ...." karena kebiasaan Binar di restoran yang dulu dengan panggilan itu. Maka lidahnya mungkin belum terbiasa, dan terpaksa harus belajar lagi untuk membiasakannya. Ah, temannya Langit memang aneh. "Bukan pak tuan! jangan sebarangan kamu!" Anton sungguh tidak suka dengan perempuan muda. Karena perempuan muda akan menghina dirinya yang sudah tua ini. Antonio telah ditinggalkan oleh kekasihnya yang juga seumuran dengan perempuan yang ada di depannya ini. "Jadi kamu baru berusia 22 tahun?" tanya Antonio dengan sinis. "Iya, tuan." Binar menghentikan langkah, padahal ia hendak keluar dari ruangan itu. "Tapi sudah menikah? dan janda pula? anak jaman sekarang memang gila. Yang dipikirin ko cuma laki. Seharusnya wajah yang kaya kamu itu sukses dan menjadi perempuan yang memiliki karir yang hebat. Bukan malah jadi janda diusia muda. Kasihan sekali ya, orang tua kamu!" entah kenapa Antonio ingin sekali memaki perempuan itu. Binar mengerjap. Kenapa atasannya itu malah mempermasalahkan statusnya? bukankah yang penting ia bisa kerja dan memenuhi kualifikasi di sini? "Maaf, Tuan. Bukankah itu bukan urusan tuan?" Binar tidak akan gentar meski Antonio ini adalah atasannya. Siapapun tidak boleh menghakimi masa lalu seseorang. Karena setiap orang yang hidup di dunia ini memiliki sisi buruknya masing masing. Tidak kecuali seorang Antonio di depannya ini. Antonio berdecih. "Memang! tapi saya sangat benci pada orang yang tidak patuh terhadap kedua orang tuanya. Karena orang yang seperti itu, hidupnya akan melarat!" apa katanya! Binar kesal dengan mengepal kan erat kedua tangannya. Ia segera keluar dan meninggalkan atasannya tersebut. "Permisi pak!" "SAYA BUKAN BAPAK KAMU!" *** Kembali ke apartemen, Binar merasa kalau tempat itu tidak lah pantas untuknya. "Kenapa berdiri saja?" suara familiar membuat Binar yang masih berdiri di depan pintu apartemen mengerjap. "Mas Langit kenapa ada di sini?" Melihat Langit berdiri tidak jauh darinya, membuat Binar seperti akan kehilangan keseimbangannya. Berdua di ruangan yang sama, dengan laki laki tampan dan mapan seperti Langit. "Ini kan apartemen aku. Kamu lupa?" baiklah, Binar tahu itu. Tapi bukankah laki laki itu mengatakan akan tinggal di rumah kedua orang tuanya, selama ada Binar di sana kan. Apakah Binar yang salah mendengar waktu itu. "Maksud aku, mas ada apa ke sini? apa ada yang perlu dibicarakan?" Binar merasa tidak nyaman jika Langit sering datang ke apartemennya. Bukannya menjawab pertanyaan Binar. Langit malah tidur di atas sopa. "Boleh aku minta secangkir kopi?" pintanya. Binar mengangguk, dan pergi ke dapur. Bagaimana pun Langit adalah pemilik apartemen ini. Dan dia sudah menampung dirinya untuk tinggal di sana secara gratis pula. Jadi secangkir kopi bukanlah hal yang memberatkan seorang Binar. Apalagi Langit adalah kakak sepupunya. "Mas, ini kopinya." Binar meletakan kopi itu di atas meja, di depan Langit. "Bagaimana kerjaan kamu?" Langit duduk, dan meraih cangkir yang berisi kopi hangat itu. Sambil menyesap kopi itu, kedua matanya menyorot dalam pada perempuan di depannya. "Tuan Antonio menerima ku, Mas." "Tuan?" Langit terkekeh. Dia meletakan cangkir kopi yang berisi setengah kopinya. "Kamu panggil dia Tuan?" beonya. "Dia yang mau." "Oh, lucu sekali." "Mas, bagaimana kontrakan untuku. Apa mas sudah menemukannya?" Binar ingin segera pindah. Ia merasa tidak pantas tinggal di apartemennya Langit. Ia takut Pak de dan Bu de nya tahu, kalau dia tinggal di sini. Sementara dulu, ia pernah menolak perjodohan dengan Langit. Itu akan sangat memalukan sekali. "Kamu tidak betah tinggal di sini? apakah ada sesuatu yang bikin kamu enggak nyaman?" sejujurnya, Langit ingin menahan Binar di sini, hanya untuk dirinya. Seperti saat ini, ia lelah pulang kerja. Namun semua itu menghilang ketika bertemu Binar di sana. "Bukan." "Lalu?" Binar merasa di interogasi. Dan tatapan Langit mulai mengimintimidasi. "Mas, aku--" "Mas, pulang dulu!" Lihat! laki laki itu pergi begitu saja, tanpa mengindahkan apa yang dikeluhkannya. Binar menghela napas dalam. "Mas Langit!" protes Binar. Dan laki laki itu berbalik dengan tatapan dalamnya. "Tetap di sini, Binar! jangan ke mana mana!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD