7. Usaha Gita Untuk Jadi Orang Ketiga

1608 Words
Selama dalam perjalanan, jujur Gilang jadi tidak tenang sebab Gendis. Mengenai ucapan Gendis yang mengatakan bahwa Gita akan menjadi istrinya. Apa maksudnya? Gilang meraup kasar wajahnya dengan pandangan mata masih berusaha fokus pada jalanan. Tapi pikirannya kacau dan awut-awutan. Menebak, apakah Gendis tahu bahwa Gita pernah mengutarakan rasa suka padanya. Perasaan ... Gilang tak pernah cerita mengenai pengakuan Gita kala itu karena menurut Gilang, Gita tidak serius dengan perasaan suka yang pernah gadis itu lontarkan padanya. Gilang mencoba untuk berpikir positif bahwa Gendis bersikap demikian mungkin saja karena istrinya sedang cemburu. Sehingga ada saja kelakuan dan juga tak mampu menjaga ucapan. Gilang rasa nanti dia akan mencoba untuk menegur dan mengajak bicara Gendis secara baik-baik. Menjelaskan lagi pada sang istri bahwa Gita hanyalah rekan kerjanya. Memang Gilang akui jika dia dekat dengan Gita. Selain Gita adalah partner kerja yang baik, perempuan itu juga sosok yang sangat enak diajak bertukar pikiran. Gita yang tinggal sendirian di sebuah apartemen karena keluarganya memang tinggal terpisah dengan wanita itu. Kadang Gilang kasihan jika mendengar cerita tentang Gita yang kesepian. Dengan senang hati Gilang pun mau menjadi teman. Teman baik malah. Sayangnya kedekatannya dengan Gita justru mematik api cemburu di hati sang istri. Juga menyebabakan timbulnya perasaan Gita padanya. Sejak kejadian di luar kota tempo hari, Gilang memang sengaja tidak lagi membahas hal pribadi dengan Gita karena dia ingin menjaga perasaan Gendis. Meski sebenarnya, sebagai seorang lelaki, Gilang akui jika dia takut khilaf. Bayangkan saja, bagaimana mungkin ada seorang wanita muda, cantik, pintar yang mengatakan jujur bahwa menyukainya serta bersedia untuk jadi istri kedua dengan alasan ingin membantunya memberikan keturunan. Ya, Tuhan! Andai Gendis tahu, entah akan jadi seperti apa. Saat kedua wanita itu dipertemukan saja sudah menciptakan suasana yang panas. Apalagi jika sampai tahu Gita akan menjadi orang ketiga, bisa-bisa Gendis akan semakin murka dan rumah tangga mereka lah yang akan dipertaruhkan nantinya. Ehem! Gita berdehem untuk kesekian kalinya demi menarik perhatian Gilang. Pasalnya pria itu sejak tadi hanya diam seolah sedang kepikiran sesuatu. "Mas! Kamu kenapa sih sejak tadi diam terus. Apa kamu memang nggak ikhlas antar aku ke rumah mama? Jika begitu ... turunkan saja aku di sini. Biar aku naik taksi," ucap Gita yang dibuat-buat demi menarik hati Gilang untuk mengasihaninya. Gilang jadi tak enak hati. "Maaf, Git. Aku hanya kepikiran pada Gendis. Maaf ya jika ucapan dan sikap Gendis sudah keterlaluan." "Mungkin Mbak Gendis cemburu." "Wanita jika cemburu memang suka aneh-aneh," jawab Gilang asal. Dalam hati Gita tersenyum. Memperhatikan wajah Gilang dari samping. Pria itu memang sangat menarik dan Gita makin terpesona saja pada sosok Gilang yang tak hanya tampan, tapi juga penuh perhatian. Betapa beruntungnya Gendis karena sudah menjadi istri pria itu. Tak ada perbincangan yang lebih banyak lagi kecuali hanya obrolan-obrolan ringan karena jika Gita dan Gilang sedang bersama, maka akan ada saja bahan obrolan di antara mereka. Satu jam lebih perjalanan, mobil Gilang berhenti di depan rumah orangtua Gita. "Akhirnya sampai juga. Untung ada kamu, Mas. Jika tidak ... entahlah siapa yang akan aku repoti tadi. Mobil juga pakai acara mogok segala." "Nggak papa kali, Git. Selagi aku bisa membantu. Makanya kamu cari pacar atau calon suami sekalian." "Kamu jangan pura-pura bodoh begitu lah, Mas. Bukankan kamu sudah tahu sendiri siapa pria yang aku inginkan dan harapkan untuk jadi suamiku." Glek. Gilang kesusahan menelan saliva. Kenapa juga Gita harus membahas hal ini lagi. Lebih baik dia mencari topik obrolan yang lain saja karena rasanya Gilang masih takut andai sampai benar-benar tertarik pada tawaran Gita. "Eum ... Git. Karena kita sudah sampai ... Aku langsung pulang saja, ya? Maaf tidak bisa mampir." Gita langsung cemberut. "Kamu ini kenapa sih, Mas? Setiap kali membahas tentang perasaanku padamu, selalu saja kamu berusaha menghindar. Kamu takut sama Mbak Gendis?" "Git, please! Aku hanya tidak mau kamu salah menyukai lelaki. Aku ini sudah menikah. Masih banyak pria lajang yang mau menikahi wanita cantik dan mandiri seperti kamu." "Tapi sayangnya aku maunya hanya kamu, Mas." Gilang memaksakan senyuman. "Git, kita bahas ini lain kali saja, ya. Sudah malam. Aku harus segera pulang." Gilang pamit untuk kali sekian. Tapi rupanya Gita juga tak menyerah untuk menahan Gilang. "Masuk dulu. Kita ngopi atau ngeteh. Lagipula kamu juga harus istirahat karena sudah capek nyetir." Gilang ingin menolak, dan Gita melihat gelagat pria itu sehingga spontan memaksa. "Ayolah, Mas. Jangan terus menerus memikirkan Mbak Gendis. Kamu juga harus memikirkan kesehatan dan keselamatan dirimu sendiri. Ayo turun! Mama pasti senang jika tahu kamu datang." Ya, mamanya Gita yang seorang janda sudah kenal dengan Gilang. Ada beberapa kali Gilang pernah mengantarkan Gita ke rumah ini sehingga Gilang pun bisa berkenalan dengan mamanya Gita. Gita sudah lebih dulu turun dari dalam mobilnya. Mau tak mau Gilang pun ikut turun juga. Benar kata Gita. Dia memang butuh menyelonjorkan punggung barang sekejab saja karena duduk di balik kemudi rasanya capek sekali. "Masuk, Mas!" Gilang mengangguk dan mengekori Gita masuk ke dalam rumah. Sambutan yang Gilang dapat dari mamanya Gita, membuat pria itu pada akhirnya tertahan juga di rumah ini. Tidak hanya ngeteh, tapi sekaligus makan malam. Andai saja Gilang tidak terus menerus kepikiran Gendis yang tidak dapat ia hubungi hingga sekarang, mungkin Gilang akan khilaf dan menginap di rumah ini. "Mas! Beneran kamu mau pulang?" Gita masih keukeh mencoba manahan Gilang. Tapi, pria itu pun dengan halus menolak. "Iya, Git. Lagian apa nanti kata orang jika tahu kamu pulang dengan membawa laki-laki dan menginap di rumah ini." Gita malah tertawa. "Halah, palingan nanti kita dikawinkan." Mata Gilang melotot mendengar ucapan Gita yang begitu santai. Pria itu pun mendengus. "Kamu ini! Jangan-jangan kamu sengaja mau menjebakku agar aku menginap, lalu digrebek dan berakhir dinikahkan paksa." Gita menjentikkan jarinya. "Nah, itu kamu tahu! Habisnya kamu itu didapatkan dengan cara baik, halus dan penuh kejujuran susahnya kebangetan. Siapa tahu saja jika dengan cara paksaan ... maka bisa lebih mudah bagiku dapat memilikimu, Mas!" Kepala Gilang sudah geleng-geleng. Tidak kaget dengan Gita yang suka bicara asal dan ceplas-ceplos tanpa saringan. Namun, hal itulah yang justru membuat Gilang seolah tertantang untuk menerima tawaran Gita. Gilang ingin melihat, apa reaksi Gita andai dia membalas cintanya. Apakah Gita akan berhenti mengejar-ngejarnya sebab hanya terobsesi semata. Ataukah Gita benar-benar menyukai dan jatuh cinta dengan tulus padanya. "Dasar kamu ini lama-lama makin ngawur saja!" "Ngawur-ngawur gini aku yakin jika sebenarnya kamu juga penasaran dan tertarik padaku. Iya, kan? Ngaku saja kamu Mas." Gilang makin salah tingkah dibuatnya. Terlebih saat Gita kembali berucap, "Aku ini nggak hanya sebatas terobsesi sama kamu, Mas Gilang. Tapi aku benar-benar mendapatkan sosok lelaki impianku ada semua di diri kamu. Kamu ini tak hanya tampan wajahnya, tapi juga baik hatinya. Mau menolong siapa saja yang membutuhkan. Kamu juga pekerja keras. Dan satu hal lagi yang makin membuatku kagum padamu. Kamu adalah tipe pria setia. Buktinya meski pun Mbak Gendis belum hamil juga hingga sekarang, kamu masih anteng saja berada di sisinya. Jika ini semua dialami oleh pria lain, aku yakin sekali jika mereka pasti akan berpaling." Keduanya diam untuk sesaat sehingga menciptakan suasana hening. "Kenapa juga takdir justru mempertemukan kamu dan Mbak Gendis duluan. Bukan aku yang mengenalmu lebih dulu. Aku yakin sekali jika akan menjadi wanita paling beruntung di dunia andai berhasil menikah denganmu." "Itu tandanya kita berdua ini tidak berjodoh, Gita. Jadi jangan lagi berharap terlalu banyak padaku karena aku telah beristri. Mungkin jika aku belum menikah, tak akan berpikir dua kali untuk menjadikan kamu istri. Habisnya kamu juga baik. Apa yang tadi kamu sebutkan untukku, juga ada dalam diri kamu." Wajah Gita berbinar cerah. "Benarkah? Jadi sebenarnya kamu juga menyukaiku, Mas?" Gilang hanya mengedikkan bahu karena tak mau memberikan harapan palsu pada wanita itu. Gita sedikit kecewa. Namun, bukan Gita namanya jika tidak punya cara untuk mendapatkan cintanya. "Jika kamu nggak ada istri, berarti mau kan menerima cintaku dan menikah denganku?" "Kamu ini bicara apa? Jelas-jelas aku ini sudah menikah dan punya istri, Git!" "Ya kan bisa saja kamu dan Mbak Gendis pada akhirnya berpisah. Lalu, statusmu akan berubah. Tidak lagi punya istri." "Jangan bicara seperti itu, Gita. Apa kamu memang berharap aku dan Gendis berpisah?" "Sayangnya iya, Mas. Aku memang berharap kamu dan Mbak Gendis bercerai. Buat apa mempertahankan pernikahan jika tak ada keturunan. Lagipula, aku juga sudah terlanjur berkata jujur pada Mbak Gendis jika aku menyukaimu, Mas." Untuk kesekian kalinya Gilang harus dibuat terkejut akan pengakuan Gita. "Apa? Coba ulangi lagi, Git. Kamu tadi bicara apa?" "Iya, Mas. Aku beneran dan nggak bercanda yang mengatakan pada Mbak Gendis jika aku menyukai suaminya." Gilang meraup kasar wajahnya. "Astaghfirullah, Git. Kapan memangnya kamu mengatakan itu pada Gendis." "Saat acara family Gathering." Gilang mengingat-ingat. Saat acara itu, dia didapuk menjadi panitia acara sehingga sangat sibuk dan hampir nggak bisa menemani Gendis di sepanjang acara berlangsung. Bahkan karena dia merasa kasihan pada istrinya yang kesepian sebab tidak bisa terus berduaan dengannya, alhasil Gilang pun memiliki pemikiran untuk memulangkan istrinya lebih dulu. Padahal acara masih berlangsung sampai dua hari lamanya. Jika para rekan kerjanya yang sudah berkeluarga akan sibuk dengan anak-anak mereka, lain dengan Gendis dan Gilang yang bahkan belum ada momongan. Jadi jika ada acara kantor yang melibatkan keluarga, Gilang suka sedih dan tidak bersemangat. "Git! Apa reaksi Gendis saat kamu mengatakan itu semua?" "Biasa saja. Bahkan jawabannya hanya oh saja." Fix, pantas saja ketika bertemu Gita tadi, Gendis tidak segan-segan menunjukkan ketidaksukaan pada Gita. Ternyata ini alasannya. Ah, Gilang telah sangka karena sempat mengira bahwa istrinya cemburu pada Gita. Rupanya lebih daripada kata cemburu. "Kalau begitu aku langsung pulang saja, Git. Mama mana? Aku mau pamit." Gita manyun. Tidak suka dengan Gilang yang memaksa untuk tetap pulang. Dia sungguh merasa kehilangan. Semakin berhayal, andai nanti dia dan Gilang menikah ... betapa bahagianya dia yang bisa setiap detik setiap waktu bersama-sama dengan Gilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD