6. Awal Kehancuran

1063 Words
Kening Gilang mengernyit. "Bukannya kamu mau mandi?" "Aku bisa mandi nanti," jawab Gendis cepat. "Yakin enggak capek? Aku juga paling hanya sebentar saja. Nggak akan lama. Begitu mengantar Gita sampai apartemennya, aku langsung pulang." Mata Gendis menyipit, tidak mau percaya begitu saja dengan ucapan suaminya. Mungkin iya Gilang berencana akan langsung pulang. Tapi Gendis tidak yakin jika Gita akan semudah itu melepaskan Gilang. Entah kenapa hati Gendis mengatakan bahwa Gita memang sengaja ingin memasuki hubungan pernikahannya bersama Gilang. "Nggak papa, Mas. Pokoknya aku mau ikut kamu." Gilang pun menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Ayo! Nanti Gita kelamaan nungguin." Hati Gendis mencelos mendengar kekhawatiran Gilang pada wanita lain. Dia pun mengekor di belakang sang suami. "Jangan lupa kunci pintunya!" titah Gilang sebelum masuk ke dalam mobil. Gendis menurut. Mengunci pintu, lalu membuka pintu pagar agar Gilang dapat mengeluarkan mobil dan setelahnya wanita itu juga menutup pintu pagar sebelum masuk dan duduk di sebelah sang suami. Selama dalam perjalanan, tak ada kata yang keluar dari mulut Gendis. Wanita itu gelisah, sesekali melirik pada sang suami yang dengan tenang mengemudikan mobil. Gendis jadi bingung sendiri. Sebenarnya bagaimana perasaan Gilang untuk Gita? Sibuk melamun, Gendis baru tersadar jika Gilang mulai memelankan laju kendaraannya. Dari jarak pandangan mata, nampak oleh Gendis sosok wanita yang sedang berdiri di pinggir jalan di samping sebuah mobil. Rupanya benar mobil Gita sedang mogok. Begitu mobil Gilang menepi, lalu berhenti, pria itu melepas seat belt yang melingkari tubuhnya. "Tunggu di sini. Aku keluar dulu nemuin Gita." Gendis menurut saja, tanpa menjawab tapi matanya masih tak lepas menatap kepergian Gilang yang menghampiri Gita. Dan yah! Dadaa Gita merasakan sesak ketika melihat dengan jelas bagaimana Gita yang tampak sumringah melihat kedatangan Gilang. Bahkan yang tidak Gendis sangka, Gita dengan tidak tahu malunya malah memeluk Gilang begitu saja. Sampai-sampai Gendis meremas dengan kencang seat belt. Meski pelukan itu hanya sebentar, tetap saja Gendis tidak bisa terima melihat suaminya dipeluk-peluk sedemikian rupa oleh perempuan lain. Terlebih seorang wanita seksi dan cantik. Iya, Gita memang tampak seksi dengan dress sepanjang atas lutut. Bodinya aduhai sebagai seorang wanita lajang. Dan Gendis entah kenapa jadi insecure sendiri dibuatnya. Mencoba menormalkan ekspresi ketika menyadari jika keduanya sedang menuju mobil. Gendis tidak boleh terlihat menyedihkan di mata Gilang apalagi Gita. Gilang membuka pintu mobil, pun halnya dengan Gita yang dengan percaya diri juga ikut membuka pintu bagian depan, samping kemudi. Entah memang Gita tidak melihat keberadaannya, ataukah memang wanita itu pura-pura tidak melihat, Gendis tak paham. Karena detik selanjutnya, Gita seolah terkejut dengan keberadaannya. "Loh, kok ada Mbak Gendis?" Gendis hanya tersenyum sinis. Gilang lah yang langsung menjawab. "Ah, iya, Git. Maaf lupa tadi tidak memberitahumu jika Gendis ikut denganku. Nggak papa kan kalau kamu duduk di belakang?" Mata Gendis melotot, melirik ke samping dengan darah mendidih. Apa-apaan Mas Gilang? Kenapa seolah merasa bersalah begitu ketika meminta Gita duduk di bangku belakang? "Iya gimana lagi," jawab Gita seolah tidak terima dan jelas wanita itu kesal dengan keberadaan Gendis. Menutup kembali pintu dengan sedikit bantingan sampai Gendis memejamkan matanya. Namun, Gendis memilih bungkam sampai Gita duduk di belakangnya. Mobil pun mulai melaju. Bukan menuju arah apartemen Gita, tapi rumah Gendis dan Gilang. Diketahui dari Gilang yang balik arah kembali ke rumah. "Mas! Ini jalan menuju rumah kita, kan?" Gendis yang penasaran pun pada akhirnya bertanya. "Iya. Aku mau antar kamu pulang dulu karena setelahnya aku harus antar Gita ke rumah mamanya." "Apa? Kenapa begitu? Gita bisa naik taksi jika memang mau pulang ke rumah orangtuanya. Atau kita antar saja dia sampai di apartemen." Yang Gendis tahu Gita memang tinggal di sebuah apartemen. Itupun dia tahu dari cerita Gilang. "Nggak papa kali Dis kita bantu dia. Lagian ini sudah malam. Kasihan juga kalau dia harus naik taksi." Gendis sungguh kesal. Dia lelah dan entah kenapa merasa telah kalah dari sosok Gita. Dari kejadian ini Gendis pun makin yakin, mungkin keputusan yang akan dia ambil nanti adalah yang terbaik untuk rumah tangganya dengan Gilang. "Maaf ya Mbak karena aku harus menyusahkan Mas Gilang," ucap Gita yang hanya dijawab Gendis dengan decakan. "Kenapa harus minta maaf jika yang kamu susahkan saja melakukan ini untukmu dengan senang hati." Rupanya Gilang terkejut dan kurang suka dengan jawaban Gendis. "Dis, kok kamu bicara begitu?" "Lalu aku harus menanggapinya seperti apa, Mas." "Dis, tolong mengertilah. Kasihan Gita Rumah mamanya jauh. Lagian aku juga sedang free." "Ya sudah kan. Silahkan saja Mas mau ke mana saja. Mau nginap di rumah mamanya Gita juga nggak papa. Kasihan kan jika Mas langsung pulang. Rumahnya jauh. Nanti Mas capek." Sengaja Gendis berbicara demikian agar suaminya tersentil dan peka bahwa dia tidak suka dengan kedekatan serta perhatian yang Gilang berikan untuk Gita. Namun, rupanya bukan Gilang yang menanggapi ucapannya, melainkan Gita. "Jadi Mbak Gendis ngijinin Mas Gilang nginep di rumah mama? Tadinya aku mau minta ijin sih ke Mbak. Karena kasihan juga sama Mas Gilang. Eh nggak tahunya kita sepemikiran. Duh, Mbak Gendis ini memang istri yang pengertian. Pantas saja Mas Gilang begitu mencintai Mbak Gendis." Sungguh, ingin sekali Gendis mencabik-cabik mulut Gita saat ini. Dasar wanita tidak tahu diri. Dengan berani Gita terang-terangan ingin merebut Gilang darinya. Sejak pengakuan Gita waktu itu, Gendis sudah hilang repesct dengan Gita. Sayangnya, Gilang justru sama sekali tidak peka. "Ya ... ya. Terserah saja mau kalian seperti apa." Gilang tak paham dengan pembicaraan Gita dengan istrinya. Yang pasti, Gilang mulai merasakan hawa-hawa panas di dalam mobilnya sebab perang mulut di antara kedua wanita tersebut. Gilang memacu cepat kendaraannya agar segera sampai rumah lalu memisahkan Gendis dengan Gita. Gilang tidak mau terjadi masalah hanya karena hal sepele. Mobil pun pada akhirnya sampai juga di depan pagar rumah mereka. Tanpa mau repot-repot berpamitan, Gendis melepas seat belt dan membuka pintu mobil. Ia keluar begitu saja disusul oleh Gilang. "Dis, aku antar Gita dulu, ya? Kamu nggak usah nungguin aku pulang. Tidur duluan saja." Dengan sinis Gendis menjawab. "Siapa juga yang mau nungguin kamu. Habis ini aku juga mau keluar lagi. Ada acara." "Acara apa?" "Nggak usah kepo kamu Mas!" "Dis, jangan aneh-aneh. Kamu istriku. Wajar jika aku ingin tahu kamu pergi ke mana." Gendis menatap nyalang pada Gilang. "Urusin saja itu si Gita yang sebentar lagi akan jadi istrimu." "Dis!" Gilang mencekal pergelangan tangan Gendis, tapi ditepis oleh wanita itu. Dengan kasar Gendis membuka pintu pagar, lalu masuk ke halaman. Gilang yang masih belum selesai bicara dengan istrinya, ingin menyusul. Tapi urung dilakukan sebab panggilan Gita. "Mas, ayo buruan! Nanti keburu malam!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD