Tiga

1570 Words
"Ini salahku. Ini semua gara-gara aku. Aku minta maaf, tolong bilang apa yang harus aku lakuin  buat nebus kesalahan aku." Tangisan pilu dari seorang gadis yang memakai seragam SMA, setengah berlutut di samping ranjang rumah sakit dimana tubunya saat ini berbaring, membuat Kama menggigit bibirnya dengan kuat sambil memalingkan wajah. Sempat terpikir olehnya juga jika kecelakaan yang dia alami adalah karena Pita. Karena gadis itu yang menolaknya dan membuat dirinya terluka, sehingga Kama akhirnya terluka, berlalu lalang di jalanan di tengah hujan seperti orang bodoh kemudian tertabrak mobil hingga harus kehilangan dua matanya. Ini lah kenyataan yang paling pahit yang dia dapatkan. Mata miliknya rusak terkena kaca, sehingga Dokter menggantinya dengan mata lain dari seorang yang katanya juga mengalami kecelakaan di waktu yang sama dengannya. Namun yang menjadi masalah adalah karena mata itu berwarna hijau yang indah, yang tidak pantas dengan Kama yang wajahnya sangat Indonesia. "Sudah sore, Pit. Kamu harus pulang," kata Kama tanpa menatap ke arah wanita itu. Dia merasa marah, namun dia tahu betul jika amarahnya sama sekali bukan untuk Pita. Gadis itu tidak bersalah karena memilih Rizal daripada dirinya, mungkin jika dia menjadi Pita pun dia akan lebih memilih lelaki tampan dan menonjol seperti Rizal daripada dirinya yang sama sekali tidak memiliki kelebihan apapun. "Aku mau tetap disini buat nemenin kamu. Aku enggak bisa pergi begitu aja, Ka," tolak Pita masih dengan isak tangis yang tersisa. Kama menarik napas berat, tangannya memjijit batang hidungnya sekilas. "Kamu tahu enggak, kalau dengan ngeliat kamu yang begini malah bikin aku semakin terluka?" tanya Kama dengan nada pelan. Sejak kedatangan Pita kesini, dia sama sekali tidak menatap gadis itu sedikitpun. Kama tidak percaya diri, menghadapi gadis yang sangat dia sukai itu dengan kondisi yang seperti ini. Tampaknya Pita terkejut mendengar ucapannya. Gadis itu langsung berhenti menangis, menatap ke arah Kama yang masih memalingkan muka dengan mata yang melebar. "Apa?" tanyanya tidak percaya. "Ta-tapi aku cuma mau nemenin kamu, karena aku ngerasa semua yang terjadi sama kamu ini adalah ulah aku!" Kama menggeleng, kepalanya ia tundukan dengan senyum miris mampir di wajahnya. "Ini sama sekali bukan salah kamu. Ini kecelakaan, enggak ada sangkut pautnya sama kamu. Jadi kamu jangan pernah berpikir kalau ini salah kamu lagi, dan kamu juga harus ingat kalau akan ada yang enggak senang kalau kamu berlaku kayak gini sama aku." Kama yakin betul Gempita akan dengan mudah mengerti ucapannya. Bagaimana pun gadis itu sudah memiliki kekasih, dan sebagai sesama pria Kama bisa menebak jika Rizal tidak akan suka pacarnya malah menghabiskan banyak waktu untuk menangis di depan pria lain. "Rizal pasti bisa mengerti kok. Bagaimana pun aku cuma--" "Kamu tahu apa memangnya? Apa karena kamu pacaran sama dia, kamu jadi bisa baca isi hatinya? Gimana kalau ternyata Rizal yang di depan kamu masang senyum demi bikin kamu tenang dan enggak terbebani, tapi malah nyimpen rasa enggak tenang karena pacarnya malah ketemu sama cowok lain? Cowok yang suka sama pacarnya dan kecelakaan sehabis ditolak sama pacarnya?" Tertawa remeh, Kama kemudian mendongak sebelum kemudian menatap wajah Pita yang terkejut. "Mungkin Rizal memang pria yang baik yang akan berusaha mengerti perasaan pacarnya, tapi kalau aku jadi dia, aku enggak akan senang pacarku nangis di depan cowok lain selama beberapa jam," tukasnya kemudian. Dia terdengar kejam, namun dia hanya tidak ingin mendapati tatapan iba dan kasihan dari Pita, gadis yang sangat disukainya. Tangannya terkepal di samping tubuh saat Pita begitu terkejut, mungkin setelah ini gadis itu akan langsung berlalu keluar karena merasa sakit hati dengan ucapannya. Namun yang tidak Kama duga malah terjadi. Bukannya marah akibat ucapannya, Pita malah tampak bangun dan mengulurkan tangannya ke arah Kama yang kebingungan. "Mata kamu, Kama..." ujar gadis itu pelan. Kama balik terkejut, secepat kilat dia langsung memalingkan wajah. Dia lupa jika ada yang berubah dari dirinya saat ini. Matanya sudah tidak sama lagi. ~ Hah! Kama melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Sepatu kerjanya masih melekat tanpa sempat dia lepas, dia sudah terlalu lelah hingga tidak terpikirkan hal lain, selain merebahkan dirinya dengan nyaman. Bukan lelah secara fisik yang dia rasakan, namun lebih ke mental karena harus menghabiskan waktu dengan gadis yang dulu sangat disukainya. Gempita Lucy masih tidak berubah, masih mempesona seperti dulu. Cara gadis itu bicara, cara gadis itu tersneyum, semua hal yang dulu menjadi hal yang paling Kama sukai. Menghabiskan beberapa jam bersama dengan gadis itu membuat kepala Kama dengan cermat memutar kembali kenangan semasa SMA, masa sulit setelah dia mengalami kecelakaan dan merebut perhatian gadis itu. Pita merasa bahwa semua adalah salahnya, sehingga gadis itu beberapa saat menempel padanya, menanyakan keperluan apa yang Kama butuh, dan dia bisa membantunya. Padahal Kama sudah menolak, bahkan sampai mengatakan kata-kata yang mungkin menyakiti hati gadis itu, namun Pita masih tidak menyerah. Malah, karena hal itu juga Pita dan Rizal nyaris putus saat itu. Kama memejamkan mata, melepaskan kaca mata yang dikenakannya kemudian menaruh di atas nakas. Sudah berapa lama dia hidup dengan mata pemberian orang lain ini? Awalnya, Kama yang terkejut bahkan menolak menatap dirinya dari cermin. Dia merasa takut, merasa bahwa mata itu sama sekali tidak cocok dengannya. Namun menyadri jika hidupnya akan lebih sulit kalau saja mata itu tidak ada, maka Kama mencoba untuk menerima semuanya sebagai hadiah dari Tuhan. Tapi.. Saat itu ada yang terjadi padanya. Ada hal aneh yang terjadi setelah dia mendapatkan mata indah ini, hingga Kama berpikir bahwa memang tidak ada hal yang bisa didapatkan dengan gratis, tanpa resiko apapun. "Aku suka sama kamu, Kama. Aku mau ada di samping kamu, saat kamu susah maupun senang. Aku akan minta putus sama Rizal, asalkan kamu mau nerima aku. Tolong, Kama, tolong bilang iya." Kama menggeram tertahan. Kenangan gila sesama SMA nya itu selalu saja membuat Kama emosi. Baginya, momen saat itu merupakan hukuman terberat yang diberikan oleh Tuhan, karena dia harus berhadapan dengan pernyataan cinta Pita yang semu, yang sempat membuat Kama kebingungan. "Kamandanu! Makan dulu!" Memutar bola matanya malas, Kama langsung bangun dari posisi rebahannya. "Ma, jangan panggil aku dengan lengkap begitu," protesnya. Dia selalu saja merasa aneh setiap kali ada orang yang memanggilnya dengan nama lengkap seperti itu. Dia jadi teringat dengan smeua ejekan Reka dulu, yang selalu saja mengatainya sebagai orang sakti. Kama bergerak, kembali menggunakan kacamatanya itu kemudian keluar dari kamar. Karena di dalam ruangan, meskipun dirinya mengenakan kacamata sekalipun, mata hijau nya itu masih saja terlihat dengan jelas. Karena kacamata yang dia gunakan hanya akan menggelap jika di luar ruangan, saat matahari menimpanya. Walaupun begitu, Kama masih bsia bersyukur karena efek lainnya bisa terhalang. "Kamu kalau pulang tuh, makan dulu dong. Jangan langsung masuk kamar, masa sih udah tua begini masih harus Mama bilangin juga?" omel Mamanya. Kama tidak membantah, tidak juga membalas, dia hanya membalik piring yang ada di hadapannya kemudian mengisinya dengan nasi dan lauk. Padahal dia masih kenyang karena banyak meminum kopi saat bersama dengan Pita tadi, tapi melewatkan makan malam juga bukan bagian dari kebiasaannya. "Kamu tahu engga, Ka? Ferdi yang anaknya Bu Lisa itu, katanya baru tunangan minggu lalu. Hebat kan? Padahal katanya dia baru kenal sama tunangannya itu sekitar satu bulan aja, tapi ternyata dia berani ngelamar langsung gadis itu. Ah! Lelaki memang harusnya punya sifat berani kayak gitu. Sayang banget karena kamu malah mewarisi sikap Papa yang selalu banyak pertimbangan dan jadi lambat dalam segala hal." Kama hanya berusaha menelan dengan baik makanan yang masuk ke mulutnya. Percaya lah, jika ini bukan pertama kalinya Mama tercintanya itu melemparkan banyak sindirian dan pancingan semacam itu. Walaupun Kama selalu bersikap abai, hebatnya Mamanya itu tidka pernah menyerah. "Bukannya banyak pertimbangan itu bagus? Akhirnya aku milih kamu kan? Dan ternyata pilihan aku enggak salah, karena dari sekian banyak cewek yang ngejar-ngejar aku, kamu adalah yang terbaik." Jika tadi Kama berusaha menelan dengan baik, kini usahanya merembet pada mengingat rasa masakan agar tidak terasa hambar saat mendengar kalimat sanggahan dari Papanya yang baru keluar dari kamar dengan rambut basah. Kini, dia jadi merasa iri pada dua adiknya yang tinggal di asrama karena tidak perlu melihat adegan menggelikan antara Papa dan Mama mereka. "Ya itu dia, untungnya ceweknya itu aku. Gimana kalau aku waktu itu malah nerima cinta dari Kak Rus, dan berpaling dari kamu karena kamu kelamaan mikir?" tukas Mamanya dengan nada tajam. Kama sudah mendnegar cerita tentang masa muda orang tuanya itu lebih dari seratus kali, hingga jika ada yang menanyakan detail kejadian rumitnya hubungan kedua orang tuanya itu, Kama akan bisa dengan lancar menceritakan ulang. Merasa sudah gerah dengan keadaan meja makan ini, Kama akhirnya menyerah. Dia meraih gelas air putih yang ada di hadapannya kemudian meneguknya hingga tandas. Setelah itu dia sedikit mendorong piring miliknya yang belum kosong, mendorong kursi yang didudukinya untuk bisa bangun. "Kama udah selesai makan, sekarang Kama mau istirahat dulu," pamitnya kepada kedua orang tuanya itu. Ketika dia berbalik hendak masuk ke dalam kamar, dia masih bisa mendengar kedua orang tuanya yang saling menyalahkan, keduanya beranggapan bahwa masing-masing dari mereka sudah membuat Kama jengah hingga lebih awal meninggalkan meja makan. Ya, anggapan mereka memang tidak salah. Karena Kama memang sudah merasa bosan dan jengah dengan tingkah kedua orang tuanya itu.  Tapi alasan lainnya adalah karena butuh menyiapkan diri untuk bertemu dengan Pita di kesempatan lainnya, karena berkat pertemuannya dengan gadis itu tadi, dia jadi tahu jika Pita diterima kerja di salah satu perusahaan yang letaknya tepat di sebelah tempat kerja Kama. Bukankah ini terlalu mengerikan untuk disebut sebagai kebetulan? Bahkan Kama sampai berpikir jika ini merupakan bentuk konspirasi Tuhan untuk membuat upaya Move on yang dia lakukan selama beberapa tahun ini, menjadi sia-sia. ~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD