Dua

1549 Words
Kama tersenyum dengan miris selama dirinya berjalan menuju rumah. Seharunya penolakan dari Pita merupakan hal yang sudah dia duga sebelumnya, walaupun selama ini Pita baik padanya bukan berarti Pita menyukainya ataupun memiliki perasaan lebih sepertinya. Kama mengetahui jika Pita memanglah orang yang selalu baik pada semua orang, dan sebuah kebaikan yang ia terima selama ini pastilah tidak berarti apa-apa untuk wanita itu. Namun yang membuat Kama merasa terluka adalah fakta yang menyebutkan jika Pita sudah berpacaran dengan Rizal. Hal itu sama sekali tidak pernah ia duga karena selama ini Pita tidak pernah terlihat dekat dengan lelaki populer itu. Kama mendongak saat sebuah tetes air jatuh ke kepalanya, tidak lama setelahnya hujan turun dengan deras membuat Kama buru-buru menepi dan berdiri di pinggir toko. Dia tertawa kecil sambil mengeluarkan payung yang ia bawa tadi pagi berkat perkataan ibunya. "Untung bawa payung," gumamnya. Setelah membuka payungnya itu, Kama kembali berjalan. Membiarkan sepatunya bertemu dengan genangan air di sepanjang jalan. Hujan ini terasa mewakili perasaannya yang sedang terluka. Walaupun terdengar seperti pecundang, namun sepertinya bukan ide yang buruk untuk menangis di tengah hujan agar tidak terlihat oleh orang lain. Kama menertawakan pikiran gilanya itu, meskipun begitu ia akhirnya melipat kembali payung miliknya dan membiarkan tubuhnya itu diserang air hujan. "Padahal aku yang lebih dulu suka sama kamu, aku yang lebih dulu kenal kamu, aku yang selama ini ada di dekat kamu. Tapi kenapa dia dengan mudahnya ngambil hati kamu?" Monolog menyedihkan itu Kama ucapkan dengan sangat pelan, persis seperti apa yang biasanya ada di adegan film romantis ataupun novel romansa yang pernah dia lihat sebelumnya. "Apa karena aku engga ganteng? Karena aku engga populer? Karena aku engga banyak disukai sama semua orang?" lanjutnya lagi. Benar saja, dirinya langsung berhasil menangis dengan sangat menyedihkan hanya karena meratapi nasib buruknya yang baru saja ditolak karena wanita yang dia sukai sudah memiliki kekasih yang seratus persen lebih segalanya dari dia sendiri. "Harusnya sedari awal kamu engga usah jadi baik sama aku. Harusnya kamu buli aja aku kayak yang anak-anak lainnya lakuin jadi aku engga perlu suka sama kamu," ujarnya. Kama terisak, mengusap wajahnya yang tidak akan menjadi kering karena dirinya masih menangis dan masih di bawah guyuran hujan. "Aku suka banget sama kamu, aku sayang sama kamu sampai-sampai rasanya susah nerima kenyataan kalau kamu engga suka aku dan bahkan udah punya pacar." Ditengah tangisnya yang seperti itu, di saat dia bahkan tidak memperdulikan pandangan aneh dari orang sekitar karena dirinya yang membawa payung tapi tidak menggunakannya, Kama hanya sibuk menunduk sambil meratapi nasibnya. Terus bermonolog tentang betapa sakitnya dia, betapa hancurnya dia, dan betapa dia tidak rela membiarkan Pita bersama pria lain. "Dasar Rizal b******k! Harusnya lo cari cewek lain aja di saat lo dengan mudah dapetin apapun yang lo mau! Kenapa harus Pita? Kenapa harus Pita yang gue sayang yang lo ambil?!" Kama menggeram dengan sangat marah, kekesalannya dan segala kemarahan yang dia rasakan ia lampiaskan pada Rizal yang sebenarnya tidak bersalah sama sekali. Hingga di langkahnya yang entah sudah sampai mana, saat Kama baru saja mengangkat pandangannya ke samping karena ada suara yang mengganggu itu, dirinya sudah tidak bisa menghindar. CRAAK Sakit. Sakit sekali. Ada sesuatu yang sepertinya menusuk matanya dengan sangat dalam. Kama juga mendengar riuh yang ada di dekatnya, tapi dirinya tidak bisa bereaksi apapun karena semuanya terasa sakit. "Matanya berdarah! kacanya nembus ke mata!" Tubuh Kama langsung menggigil mendengar ucapan dari salah seseorang yang tampaknya ada di dekatnya, kemudian bersamaan dengan itu Kama merasa semakin berat dan berat seiring waktu dan teriakan orang-orang di sekelilingnya. Ini menyakitkan. Sangat-sangat menyakitkan. Bahkan tangisan sudah tidak bisa mengekpresikan bagaimana sakit yang dirasakan Kama saat ini. Hingga ia mencapai batasnya, di saat matanya tiba-tiba ingin terpejam dengan rasa sakit yang luar biasa. Ia menyerah pada kegelapan yang datang memeluknya. Dalam pikirannya dia berujar, 'Ah, sepertinya Pita akan menjadi orang pertama dan terakhir yang akan membuatnya jatuh cinta dan patah hati. Karena setelah ini sepertinya Kama tidak akan hidup lagi.' ~ "Lama engga ketemu, Kama. Apa kabar?" Sudah berapa lama dirinya hanya berdiri menatap Pita tanpa melakukan apapun? Sudah lewat beberapa tahun dan dirinya masih saja kagum pada wajah cantik yang selalu tersenyum itu. Juga, Kama tidak menyangka jika pertemuannya kembali dengan Pita akan mengulang ingatannya dulu hingga kecelakaan itu. "Saya baik. Gimana sama kamu? Kamu kelihatan berbeda," tanyanya balik. Wanita di depannya itu tersenyum tipis, senyum yang tampak sedih di mata Kama. "Aku juga baik, aku engga nyangka bakal ketemu kamu disini," katanya. Suara Pita terdengar pelan dan lembut seperti dulu, membuat perasaan samar muncul di hati Kama. Kama mengangguk sekali, memalingkan muka saat menyadari sejak tadi Pita tidak berhenti menatap ke arahnya. "Kamu hebat karena bisa kerja disini. Kalau engga salah, dulu juga kamu kuliah di kampus A kan? Kamu selalu pintar sejak SMA," Pita berujar dengan riang. Menatap gedung tinggi di hadapannya yang merupakan tempat kerja Kama. Kama tersenyum kecil, "Engga juga. Saya berusaha keras buat bisa masuk kesini," akunya. Walaupun terdengar merendah, namun kenyataannya memang sama seperti yang baru saja Kama katakan. Banyak yang terjadi padanya semenjak kejadian dulu saat dirinya masih SMA. Dirinya hanya siswa biasa yang baru saja patah hati saat tiba-tiba harus merelakan mata miliknya karena kecelakaan itu. Dan kemudian, Pita mendekatinya karena merasa bersalah. Menganggap kecelakaan itu terjadi karena penolakannya, dan bahkan hubungannya dengan Rizal kala itu hampir saja putus karena Rizal cemburu melihat Pita yang terus berada di dekat Kama. Kini Kama bahkan merasa takjub karena bisa merasa biasa saja saat berhadapan dengan Pita. Mungkin dulu tanpa sadar Kama juga berpikir jika kecelakaan itu memang karena penolakan dari Pita yang membuatnya meratap seperti orang bodoh hingga tertabrak pengendara di jalan raya, dan karena itulah dirinya perlahan membuang perasaan itu. "Kamu engga pernah datang ke reuni, padahal Reka aja yang kuliah di luar kota selalu datang," ucap Pita. Kama tertawa pelan, bingung juga menentukan alasan secara mendadak seperti ini karena kenyataannya yang membuatnya tidak pernah hadir adalah karena tidak ingin bertemu wanita di depannya ini. "Dulu kuliah saya engga berjalan baik, jadi saya bahkan engga punya waktu untuk diri saya sendiri," jawab Kama pada akhirnya. Entah adakah dari jawabannya yang sah sehingga Pita memasang senyum sendu seperti itu setelah mendengar jawabannya. "Kamu banyak berubah, Ka. Dulu kamu selalu pakai kata 'aku' dan bukan 'saya' setiap ngomong sama aku." Kama tertegun. Akankah itu yang membuat Pita tampak sedih tadi? Hanya karena dirinya merubah sebutan dirinya sendiri? Apakah itu penting bagi Pita? "Ah.. Iya, itu.. ehem.. Saya cuma ngerasa agak canggung karena kita udah lama engga ketemu," alibinya. Ia memalingkan muka, memperhatikan jalan depan kantornya yang cukup ramai di sore hai menjelang petang seperti ini. "Oh begitu," ujar Pita pelan. Kama hanya bisa mengangguk, mataya berkeliaran kesana-kemari menghindari tatapan dari Pita. Dirinya memang merasa bahwa semua sudah biasa saja saat berhadapan seperti ini dengan Pita. Tidak ada lagi rasa berdebar yang dirasakannya seperti ketika dia masih remaja, tapi entah kenapa Kama masih merasa sungkan untuk mengobrol secara normal dengan wanita di depannya ini. "Apa kamu buru-buru mau pulang?" tanya Pita. Mendengar pertanyaan itu, Kama mau tidak mau menoleh ke arah teman SMA nya itu. "Engga juga. Memang kenapa?" tanyanya balik. Pita tampak tersenyum dengan sangat cantik, tanpa mengatakan apapun wanita itu langsung menarik tangannya ke arah kanan dari tempat mereka berdiri. Kama terkejut, matanya langsung menatap ke arah tangan Pita yang menarik lengannya. Tidak berdebar lagi? Tidak ada rasa seperti dulu? Omong kosong! Pada kenyataannya jantungnya langsung berulah hanya karena tangan mereka bersentuhan. Kama menghela nafas berat sambil membuang pandangan ke samping. Hanya dengan sebuah sentuhan seperti ini saja Kama langsung sadar jika usahanya untuk melupakan Pita selama beberapa tahun ini, bahkan sampai tidak pernah datang ke acara reuni sekolahnya, semua itu menjadi sia-sia akibat pertemuan mereka kali ini. Sebuah cafe kekinian yang Kama tahu baru buka selama beberapa minggu ini menjadi tempat dimana tangan mereka terlepas. Pita mengambil duduk di depannya, wanita itu tampak santai setelah berhasil memporak porandakan pertahan yang susah payah Kama bangun untuk dirinya sendiri. Sebauh vaksin anti-Pita bahkan sudah tidak berguna lagi untuk sekarang. "Maaf ya karena aku narik kamu gitu aja kesini, aku cuma mau ngobrol lebih lama sama kamu karena kita udah lama engga ketemu," ucapnya. Tidak ada yang bisa Kama lakukan selain hanya mengangguk dengan senyum di wajahnya. "Engga apa-apa, saya cuma kaget karena kamu langsung narik gitu aja tanpa ngomong apapun," katanya. Mungkin bagi Pita, perkataannya itu adalah sesuatu yang lucu hingga membuat dirinya tertawa dengan sangat anggun sambil menutupi mulutnya. "Habis aku takut ditolak kalau bilang dulu," sanggahnya. Ah, takut ditolak, katanya. Padahal kalaupun Kama menolak, penolakan ajakan ke cafe tidak akan sesakit penolakan perasaan yang pernah didapati Kama dulu sekali dari Pita. "Aku mau pesen dulu ya, lumayan haus karena hari ini hari pertama aku kerja. Kamu mau pesan apa?" tanya Pita. Oh, pantas saja Pita mengenakan setelan hitam putih hari ini. Ternyata itu karena wanita ini baru pertama kali bekerja. Kama melihat ke arah menu sejenak sebelum akhirnya menyerah dan meminta Pita menyamakan saja pesanan mereka. Dari sejauh ini sejak pertama dia bertemu dengan Pita tadi, Kama masih bisa bersyukur karena dirinya tidak segila dulu. Karena jika ini adalah dirinya yang dulu, maka mustahil baginya untuk tetap duduk dengan tenang di saat yang berada di depannya adalah Pita, cinta pertama yang tidak pernah tergapai olehnya. ~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD