2 🌺 Bunga di tengah badai

1334 Words
Takdir kadang menempatkan kita dalam dilema. Kadang kala rasanya seperti sedang diajak bercanda oleh Pemilik Semesta. 🌺🌺🌺 Gelegar guruh terdengar. Cahaya putih dari kilat menyambar bagai pedang yang menyayat malam. Jalanan yang basah dihunjam hujan membuatnya lenggang dari pengguna jalan. Bagas berada dalam kendaraan yang telah menepi sejak sepuluh menit lalu, menikmati hujan yang seolah tak akan segera reda. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya hendak mengirimkan pesan, tetapi malah panggilan muncul lebih dulu dari nomor yang diniatkannya untuk dihubungi. “Aku di depan rumahmu. Masih lama?” tanyanya sambil memandangi bangunan yang dimaksud. “Aku bawa bunga juga,” katanya lagi dengan senyuman. Tak lama lelaki tersebut melesakkan ponselnya ke dalam saku celana bahan yang ia kenakan. Mengambil payung kemudian turun sambil menenteng seikat bunga. Bagas membelah hujan dengan gerakan buru-buru, tapi mendadak seseorang melaju di sisinya. Pandangan Bagas langsung menajam kepada lelaki tersebut yang menerobos hujan tanpa payung serta meninggalkan aroma khas pekat seorang yang baru saja meneguk banyak alkohol. Namun, Bagas tak mau ambil pusing meski orang itu masuk pekarangan rumah yang sama dengannya. Ia melihat lelaki tersebut berbelok dari rumah utama menuju ke kontrakan di sekitar pekarangan sana. Mungkin salah satu yang mengontrak, pikirnya tak mau ikut campur. Bagas kemudian sampai di teras rumah tujuannya, yakni rumah pemilik semua kontrakan di sana. Ia terpaksa menunggu beberapa saat lagi sambil menunggu temannya yang sedang dalam perjalanan pulang. Bagas meletakkan bunga di kursi terdekat lalu menguncup payungnya sebentar. “Ayo, buka mulut. Aaaaa!” Suara istri temannya dari dalam rumah terdengar. Bagas mengukirkan senyuman. Pastinya Ivy sedang menyuap makan putrinya dengan Bakhtiar. Bagas merasa turut bahagia untuk pernikahan harmonis mereka. Tak lama, ada suara lain yang samar mulai terdengar. Nadanya panik dan mendesak hingga kening Bagas berkerut dan sigap. “Tolong! Tolong! Tolong!” Bagas menajamkan telinga. Tanpa peduli payungnya Bagas menerobos hujan menuju asal suara. Firasatnya mengatakan lelaki beraroma alkohol tadi pasti berbuat sesuatu. Entah apa itu dan siapa dia, Bagas menuju lolongan minta tolong suara seorang perempuan. Napas Bagas memburu ketika sampai di sebuah pintu setengah tertutup. Di dalamnya menampilkan adegan mengerikan. “Jangan! Demi Allah, jangan, Yah!” lirih perempuan itu dengan nada ketakutan. Bagas menerobos. Sementara nafsu memburu dari lelaki mabuk yang kini melepas sabuknya, matanya fokus kepada tubuh beraroma wangi perempuan itu yang meringkuk di sudut layaknya tikus terjepit. Dengan satu pukulan keras Bagas berhasil menarik perhatian lelaki mabuk itu. “Siapa kamu?! Selingkuhannya?! Kamu selingkuhan istriku?!” teriaknya marah. Mata memerah sebab pengaruh barang haram menyala kepada Bagas. “Sialan!” Keduanya beradu fisik. Bagas diserang, tetapi tak diam saja. Meski berusia lebih dari setengah abad, Bagas sehat fisik dan bugar. Dibalasnya pukulan demi pukulan lelaki itu hingga berhasil membuatnya terdesak kalah. Selagi ada kesempatan Bagas mengambil sebuah kain panjang dan mengikat tangan lelaki mabuk yang wajahnya berantakan itu. “Puas kamu! Puas, hah?!” maki lelaki mabuk yang loyo kehilangan tenaganya. Rasa kesal Bagas naik ke ubun-ubun lalu dengan satu pukulan keras dihantamnya wajah lelaki itu hingga pingsan. Suara gemetar bergemeletuk menarik perhatian Bagas. Ia memejamkan mata sebelum berbalik. Seonggok tubuh berkulit putih tanpa kain penutup meringkuk di sudut lain. Dia Windi Ayu Putri. Baru beberapa hari yang lalu Bagas bertemu dia. Ada carut memanjang di betis dan samping punggungnya yang seperti telah ada lama sebelum hari ini. Bagas menarik kain lain yang bisa dijangkaunya lalu menyelimuti gadis berpandangan kosong nan takut itu. “Jangan! Jangan! Jangan!” teriaknya histeris. Bagas hanya melepaskan kain itu agar menutup Windi kemudian bangkit menjauh. Kejadian beberapa hari yang lalu itu berpendar di ingatan Bagas. Memang sudah lama ia menjadi duda, tapi tetap salahnya waktu itu telah memanfaatkan situasi hingga membawa Windi dalam candanya dengan Khalid. Tak tahu jika akan ada takdir naas begini yang menimpa Windi di kemudian hari. Bagas hendak menghubungi Ivy atau Bakhtiar, pasangan suami istri pemilik kontrakan yang semula akan ditemuinya. Namun, seorang gadis lain muncul dan memekik di pintu. Payungnya terlepas dan bungkusan yang dia bawa juga jatuh dari pegangan. Perempuan itu mendekat dengan mata melotot dan panik. Dia lalu menusuk tatapan kepada Bagas selagi memeluk sahabatnya yang terpaku menggigil. “Jangan!” lirih Windi seperti kaset rusak. “Tolong, Yah. Ja---jangan,” ucapnya sambil menangkupkan kedua tangan lalu menggosoknya, memohon. Sejak tadi suara dan kalimat itulah yang terus mendera telinga Bagas. Tangis Kitha langsung banjir melihat sahabatnya yang menyedihkan. Iba dan syok menjadi satu. “Anda siapa?! Anda apakan sahabat saya?! Katakan apa yang terjadi?!” Bagas menarik napas panjang. “Bukan aku, tapi ---“ “Bagas!” seru Bakhtiar muncul di pintu, teriakan Kitha pasti yang memanggilnya. Bagas memberitahu keberadaan tersangka lewat matanya, kemudian beralih kepada sosok Windi. “Dia perlu dibawa ke rumah sakit.” “Menjauh!” usir Kitha yang memeluk Windi erat saat Bakhtiar hendak mendekat. “Jangan berani-berani menyentuhnya!” “Dia pemilik kontrakan ini,” sahut Bagas tenang. “Saya dokter juga, Nona,” kata Bakhtiar meyakinkan sambil menunjukkan kartu identitas pegawainya. “Aku akan menghubungi polisi,” kata Bagas menekan layar ponsel. “JANGAN!” Windi bereaksi. Kata polisi membuatnya ingat akan nasihat mendiang neneknya. “Polisi! Jangan,” katanya menggeleng keras disertai tangis rindu. Bagas menghela napas sesaat supaya kesal tak terlalu mendominasi kalimatnya. “Dia hampir saja menyakitimu!” “Bagas!” Bakhtiar menggeleng. “Dia Jefri, ayah kandung Windi.” Jawaban Bakhtiar itu membuat Bagas terdiam seketika. Ayah kandung hendak memperkosa putrinya?! Sungguh Bagas sensitif sekali apabila mendengar kasus seperti ini, apalagi ia sendiri yang jadi saksi, pencegah aksi itu. Bukan mereda, rasa kesalnya makin meningkat tajam. Bagas hendak menyerbu lelaki mabuk yang pingsan itu. Namun, suara Bakhtiar mencegahnya lagi. “Bagas! Aku perlu kamu yang waras. Tolonglah. Jangan memperkeruh suasana.” Bagas dikenal sebagai lelaki yang punya pemikiran matang dan tenang menghadapi suatu masalah, sampai saat ini. Entah kemana perginya semua kebaikan-kebaikan itu yang mendadak lenyap terbawa emosi. Dua menit kemudian Bagas dan Bakhtiar masih menatap tirai hujan yang samar terlihat selagi menunggu Kitha mempersiapkan Windi di dalam. Bagas mengetuk ponsel, mengirimkan pesan singkat kepada seseorang. Ia kemudian mengangkat kepala, menatap tajam sahabatnya, “Seseorang harus di sini hingga laki-laki itu bangun. Jangan aku! Allah tahu aku akan memukulnya lagi begitu dia sadar. Mungkin juga aku akan mencuri-curi kesempatan untuk mengulitinya pelan-pelan sepanjang malam!” Bakhtiar tak tersenyum meski kalimat sarkas Bagas terdengar lucu di telinga. Dia menepuk pundak sahabatnya itu, “Kamu setuju untuk membantunya?” Bagas termenung memandang hujan. Tujuan Bagas malam ini bertemu Bakhtiar memang untuk mengusut masalah Windi. Bagas berencana membantu. Dari yang disampaikan sebelum mereka bertemu bahwa ayah Windi punya hutang dan menjadikan itu sebagai alasan memeras uang kepada putrinya. Bagas sendiri bergerak sebagai pemimpin dari klan Sayap Mulia, sebuah komunitas yang ia bangun bersama dua sahabatnya, Bakhtiar Bahdina dan Bintang Abimayu. Mereka bertiga berkoalisi sejak dulu, sejak masih muda. Memang ketiganya terlahir dari orang berpunya semua. Bagas punya ayah pensiunan TNI sementara ibunya pemilik usaha estat. Bintang sendiri pewaris perusahaan permata Abinaya. Sementara Bakhtiar adalah anak sepasang pemilik rumah sakit. Mereka dibesarkan dalam keluarga yang utuh secara materi dan agamis. Kesamaan diantara ketiganya yang begitu kuat dalam empati membuat mereka mendirikan komunitas tersebut dan telah berjalan puluhan tahun memberi bantuan kepada yang layak mendapatkan. “Kita membantu Windi, bukan ayahnya,” kata Bakhtiar lagi. “Aku pikir bantuan juga percuma selagi dia masih bebas berkeliaran. Kita harus membuatnya berhenti! Berhenti membuka peluang hutang itu lagi. Dia sumber masalahnya, penjarakan dia, lunasi hutangnya. Nah, itu seharusnya yang kita lakukan.” Bakhtiar menyunggingkan sebuah senyuman singkat, “Kamu masih belum benar-benar dingin.” Bagas akui, tetapi bukan berarti jalan pikirannya akan berkelok. Bagas matang memikirkan hal itu sebelum berniat membahasnya dengan Bakhtiar. Miris di hati, bagaimana bisa seorang ayah bisa begitu hina. Bukannya memberi keamanan dan rasa nyaman, Jefri malah membebani putrinya dengan hutang dan trauma mendalam. Pintu di belakang mereka terkuak perlahan. Bakhtiar berbalik sementara Bagas tetap membelakangi. Ia tahu bahwa Windi pasti malu jika bersitatap dengannya setelah semua yang terjadi malam ini. Ia sendiri pun amat sangat malu tiap ingat kejadian dengan Windi beberapa hari yang lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD