1 🌺 Rahasia hati manusia
Allah Maha Baik. Setelah kesulitan akan ada kemudahan, begitulah janji-Nya. Maka, Allah ciptakan sebagian manusia punya kelebihan dari harta dan hati mereka sebagai perantara pertolongan bagi manusia lainnya.
🌺🌺🌺
Hari ini Bagas Wandawarma datang ke perusahaan permata Abinaya dengan dua tujuan. Satu, memberi peringatan kepada putra sambungnya. Kedua, menelisik seperti apa sosok gadis bernama Windi Ayu Putri.
Sampai di lantai tujuan Bagas hanya berdiri di depan meja sekretaris, sementara gadis di belakang meja tersebut masih terus menutup wajah dengan kedua tangan selama beberapa saat. Dia tampak hati-hati saat menjauhkan tangannya dari sana.
“Anda siapa?” tanyanya terkejut dan heran.
Mata bening berwarna cokelat teh menatap Bagas. Bingkai wajahnya bulat dengan jilbab dan bersuara lembut. Dialah Windi Ayu Putri itu. Sekelebat informasi yang selama ini sudah Bagas terima tentangnya berkumpul utuh. Bagas lalu menjawab pertanyaan itu, “Aku mertua Khumaira. Namaku Bagas Wandawarma. Aku ingin bertemu putraku, Khalid.”
Bagas peka bahwa ada sesuatu dalam ekspresi Windi saat ia menjawab tadi. Namun, itu berlangsung sangat singkat berganti sopan dan santun sikapnya.
Kesempatan Bagas untuk menelaah Windi datang dua kali. Pertama selama dia mengabarkan kepada Khalid kedatangan Bagas melalui panggilan. Kedua saat Windi meletakkan cangkir di meja. Bagas sempat melihat pemberontakan dari mata bulat gadis tersebut saat Khalid menolak teh untuknya. Wajah cantiknya menunjukkan rasa tak suka, tetapi dengan mulut rapat tetap Windi mematuhi perintah Khalid sebagai atasan.
“Sudah menikahkah dia?” tanya Bagas setelah Windi keluar dari ruangan.
Khalid menyadarkan punggung di sofa dengan tatapan heran. “Abi bertanya seolah ingin membawanya ke hadapan penghulu.”
“Kamu akan setuju jika dia jadi ibumu yang baru?”
Khalid tercengang, tak berkedip sekian puluh detik. Bagas suka reaksi putranya. Makin ia tertarik memanasi Khalid. “Tak sering aku ingin mendesak seorang wanita ke dinding untuk merayunya. Pertama dan terakhir dulu efek itu dihadirkan Nasila, ibumu.”
Bagas merinding, tubuhnya seperti tersengat listrik sesaat. Tergelak ia sendirian, tanpa alasan yang masuk akal untuk disebutkan. Bagaimana bisa di kepalanya muncul adegan berbahaya mendesak gadis muda itu ke dinding?! Sudah berapa lamakah ia menduda?!
“Abi ....” panggil Khalid ragu.
Bagas berdeham menikmati isi cangkirnya lagi. Sesaat dia memejamkan mata lalu menggeleng. “Takarannya kurang. Tak masalah, aku perlu dia di ranjangku bukan di dapur. Ah, bisa juga di dapur. Masalahnya aku sudah cukup tua untuknya.”
“Yah, benar sekali. Dia lebih muda daripada menantumu bahkan. Namun, Itu tidak masalah. Kurasa sudah waktunya Abi kembali merasa muda.”
Bagas bangkit. Cawan tehnya telah kosong. Sesaat dia merapikan rambutnya, penampilannya. “Aku boleh merayunya?”
“Jangan mendesaknya ke dinding sebelum selesai akad diucapkan,” kata Khalid sungguh-sungguh.
Bagas tersenyum mengejek, “Kamu jadi kolot setelah bergabung jadi Abinaya. Memangnya aku pernah begitu?”
“Abi sudah cukup tua. Bisa saja sakit pinggang setelahnya.” Khalid menepuk pundak ayahnya, berlagak bijak pula. “Aku akan memastikan Abi naik lift dengan selamat.”
Bagas tergelak. Jika ada satu detik dalam hidupnya pernah menyesal menjalin hubungan dengan Nasila, maka sesal itu urung tiap ia mengenang sosok putranya. Khalid serasa anak kandung bagi Bagas tak pernah mereka canggung bersikap satu sama lain.
Windi lekas berdiri, tersenyum menyapa tanpa kata. Bagas berdeham meletakkan tangan di saku celananya. “Mengapa kamu tidak langsung masuk, Khalid?”
“Aku akan memastikan Abi naik lift ... dengan se-la-mat.” Khalid bersedekap tangan di d**a.
Bagas menggulung bibirnya. Jelas anak menyebalkan itu tak mau hanya duduk diam menunggu hasil. Dengan rasa percaya diri yang maju mundur, Bagas mendekati meja sekretaris itu. Bukan sungguhan Bagas tertarik kepada Windi seperti pembicaraannya dengan Khalid, tetapi lebih kepada tugas yang sedang diembannya.
“Ada yang bisa dibantu, Tuan?” tanya Windi sopan.
Bagas menilai Windi tak sangat cantik jika dibanding menantunya. Tak bisa juga dianggap pantas menyaingi Nasila, tapi sesuatu tentang caranya berontak, Bagas suka. “Ini sedikit berlebihan.”
Windi masih melepaskan senyum selagi menunggu kalimat tamu itu tersampaikan.
“Kamu kebetulan punya kekasih?” Bagas bertanya.
Gelak tawa Khalid di belakang terdengar. Bagas berbalik, ekspresi ancamannya ditunjukkan, tapi Khalid tak bereaksi takut. “Masuk sana!”
Bagas melihat Windi lagi, “Kamu punya jawaban untuk pertanyaanku barusan?”
Windi ragu-ragu melihat bergantian ayah dan anak itu. “T---tuan, pertanyaan Anda tidak ada korelasi dengan pekerjaan saya. Mohon maaf saya tidak bisa menjawabnya.”
Memang tak ada sangkut-paut dengan pekerjaan Windi, tetapi besar kaitannya dengan tugas Bagas saat ini. “Aku tahu. Di sini kalian dilarang berpacaran, tapi di luar dinding-dinding ini kalian tetap individu yang merdeka. Bukan begitu?”
“Ya.”
Bagas berbalik sesaat melihat putranya yang bersandar punggung di pintu. Kemudian kalimatnya tertuju kepada Windi lagi, “Pukul 3.50 kamu akan mendapatiku di depan pintu keluar.”
Windi bingung, jelas sekali. “Jam kerja berakhir pukul 4. Saya belum akan melihat Anda pada pukul 3.50.”
Bagas berdecih, “Maksudku adalah ... aku akan mengantarmu pulang, Nak. Mana tahu kamu butuh tumpangan.”
Windi menggeleng segera. “Saya bawa kendaraan pribadi.”
Tawa Khalid terdengar menyela pembicaraan mereka.
Bagas mendesah. Artinya tak ada kesempatan bagi Bagas untuk mengobrol selain saat ini. “Kamu masih punya orang tua laki-laki?”
“Ya. Mengapa Anda bertanya begitu?” tanya Windi masih saja tak mengerti apa rencana dua lelaki itu. Kemudian dia mengerjap polos, “Anda mungkin seusia beliau. Mangkinkah bekas teman pula?”
“Jangan beritahu alamatmu!” Khalid menyela sambil mendekati dua orang itu. “Ayahku tertarik padamu, berminat jadi ibuku, Windi?”
Windi tercengang. Telinganya tak mungkin salah menangkap informasi, tapi tak bisa percaya ia atas apa yang didengarnya. Di hatinya ada Khalid, mengapa ayah lelaki itu yang malah tertarik kepadanya?! Padahal ia bertemu Bagas baru sekali ini saja.
Bagas langsung saja menempeleng pelan kepala Khalid detik itu juga. “Kubilang kamu masuk saja!”
Khalid tak mengambil hati tindak anarki ayahnya. Malah senyumnya lebar sekali melihat Windi meringis. “Kamu punya waktu hingga 3.50 untuk menimbangnya sebagai calon suami.”
Windi tertinggal melongo. Sementara Khalid membawa ayahnya menuju lift.
“Begitu caramu membantu, Khalid?!”
“Tidak banyak putra se-peka aku, Abi.” Khalid tersenyum sendiri begitu lift mulai membawa ayahnya turun.
“T---tuan, beliau tidak serius, bukan?” tanya Windi ragu ekspresinya.
“Aku tidak pernah melihatnya seserius itu. Jadi, kamu harus mempersiapkan diri dengan semua perjuangannya. Dia duda selibat selama beberapa tahun, baru kali ini terang-terangan tertarik kepada lawan jenis lagi,” jelas Khalid dengan senyum ejekan.
“Beliau seusia ayah saya!” Windi tercengang.
“Mengapa protes kepadaku?” Khalid tak acuh masuk ruangannya dan menutup pintu.
Windi tertegun sendiri.
Takhbib atau merusak hubungan rumah tangga orang, menjadi pelakor atau pebinor adalah terlarang dalam Islam. Windi menyadarinya dalam hati dan telah memberitahu Khalid tentang perasaannya. Berawal dari Khalid yang menolak tehnya, barangkali dengan begitu akan mulai luntur pesona suami Khumaira di mata Windi. Demi Allah, lebih baik Windi dengan duda berusia dua kali umurnya daripada suami orang.