Seorang gadis muda, cantik, lulusan salah satu universitas di Singapore diperkenalkan oleh Ibu Amita sebagai anggota baru di tim mereka. Renata ternganga menatap kecantikan gadis itu. Benar – benar kecantikan yang hakiki. Mata Renata semakin terbelalak ketika Manager yang menurut timnya tingkat kegalakannya seperti singa yang sedang lapar itu memberikan mandat pada Renata untuk membimbing si anak baru.
Gadis cantik yang usianya masih muda itu mendapatkan meja kerjanya di samping meja kerja Renata. Renata pun membimbing gadis cantik itu dalam menggunakan e-mail kantor mereka yang tampilannya sedikit berbeda dari tampilan e-mail kantoran pada umumnya, mengajarkannya cara menggunakan aplikasi yang digunakan oleh perusahaan tempat mereka bekerja dan memberi tahukan informasi lainnya seperti cara berpakaian di kantor itu. Walau nantinya gadis itu akan mendapatkan informasi lebih detail saat mengikuti Induction bersama karyawan baru lainnya, tetapi Renata merasa wajib memberi tahukannya informasi itu terlebih dulu agar gadis itu tidak akan menyalahkan Renata nantinya jika ia melakukan kesalahan.
Renata merasa tidak nyaman berada di samping gadis itu. Melihat kecantikan paripurna, kecerdasan otak dalam mengerti semua ajaran Renata padanya, terlebih aroma parfum gadis itu yang menyeruak ke dalam penciuman membuat Renata menjadi rendah diri. Mendadak ia merasa sia-sia terlahir sebagai wanita ke dunia ini.
"Kakak kenapa kok ngelamun?" tanya sang karyawati baru tersebut.
"Eh, gapapa. Gimana? Udah ngerti, kan?"
"Iya, aku kerjain dulu sampai selesai, nanti Kakak cek kerjaan aku, ya."
"Sip."
***
Jam istirahat makan siang, Nathan datang ke ruang kerja Renata untuk mengajaknya makan di luar gedung kantor mereka.
"Re, makan yuk. Katanya kemarin mau makan di mekdi,” ujar Nathan yang seketika membulatkan matanya ketika melihat seorang gadis duduk di sebelah Renata.
"Kinta, gue makan dulu, ya,” ujar Renata pada junior barunya.
"Iya, Kak,” balas si karyawati baru.
Saat sudah berada di luar ruangan Renata, Nathan pun langsung memburu Renata dengan pertanyaan mengenai gadis cantik itu.
"Re, tadi siapa di sebelah lo?"
"Oh, itu anak baru."
"Anak baru? Kok gak gabung di tim gue aja sih?"
"Yee ...."
"Kok gak lo ajak makan siang bareng? Jahat lo!"
"Dia bawa bekal."
"Kenalin ke gue dong!"
"Dia udah punya lakik!"
"Yah ... sayang banget semuda itu udah ada yang punya. Jangan-jangan udah punya buntut."
Renata terkekeh mendapati wajah kecewa Nathan. "Ya udah, nanti gue kenalin."
"Gak usah!"
Renata pun tertawa terbahak-bahak.
***
Hari Minggu sore yang sangat cerah, tetapi hati seorang gadis manis yang sedang berada di tengah-tengah keluarga besarnya tidaklah secerah mentari yang bersinar. Terjadi lagi pembicaraan yang memuakkan yang membuat dirinya ogah pergi ke pertemuan semacam ini. Kalau bukan karena ibunya yang terus-terusan memaksa dirinya untuk menemaninya hadir di acara arisan keluarga itu, tidak sudi ia datang ke kandang singa yang akan memakan mood-nya habis-habisan.
"Renata, anaknya temen Tante ada yang baru lulus S2 Arsitektur lho. Dia punya biro arsitektur sendiri. Umurnya gak beda jauh sama kamu. Sekitar 35 atau 36-an. Kamu pasti suka deh. Orangnya ganteng. Mau Tante kenalin ke kamu. Kamu kapan punya waktu kosong? Minggu depan bisa?" ujar Rini seraya mengipas-ngipas dirinya menggunakan kipas souvenir yang didapatnya saat pergi kondangan.
"Aduh, Tante, arsitek tuh suka begadang sampai pagi kalau lagi ada proyek. Nanti Renata dianggurin. Males, ah,” balas Renata.
"Eh, dia punya kantor biro arsitektur sendiri. Mapan!"
"Gak mau, ah. Nanti diduain sama maket!"
"Mbak Rini mau ngenalin Renata sama Julian anaknya jeng Kirana ya?", ujar Dino, adiknya Rini.
"Iya, No."
"Sama anaknya temen Om Dino aja, Re. Umurnya baru 29 sih. Lebih muda dari kamu, tapi ya tak apalah cuma lebih muda setahun,” ujar Dino.
"Kerjanya?"
"Lawyer."
"Lawyer? Ogah ah. Nanti orangnya galak kayak mas Arkan!"
***
Sore hari itu, Renata dan Nathan mempunyai janji dengan teman kuliah mereka untuk datang ke kafenya di daerah Sudirman Central Business District (SCBD) setelah pulang kerja. Namun, karena Nathan masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, maka Renata pergi duluan ke kafe teman mereka itu. Saat akan menyusul Renata ke kafe, Nathan berpapasan dengan gadis cantik karyawati baru di tim Renata yang sempat ia taksir, tetapi harapannya hancur hanya dalam beberapa menit karena Renata mengatakan bahwa gadis cantik itu sudah menikah.
"Kok baru pulang?" tanya Nathan saat mereka naik lift bersama.
"Nunggu dijemput,” jawab Kinta seraya tersenyum.
"Dijemput suami ya?"
"Aku belum nikah, Kak. Aku dijemput supir."
"Oh,” balas Nathan singkat. 'Sial! Awas lo, Re!' gumamnya dalam hati. Semangatnya pun kembali berkobar. Ia akan melakukan pendekatan pada gadis cantik itu dan memperistrinya secepat mungkin.
Setelah 30 menit berjibaku dengan kemacetan jalanan kota tersibuk di negeri ini, Nathan tiba di kafe yang sudah dipadati pengunjung itu. Niat untuk mendamprat Renata sirna ketika melihat Jeanette, sang pemilik kafe, tertawa terbahak-bahak.
"Kenape lo?" tanya Nathan pada Jeanette.
"Ini si Renata. Mau dijodohin keluarganya sama duda anak satu."
Tawa Nathan pun seketika membahana membuat Renata memukul lengan sahabatnya itu.
"Jahat banget sih!" protes Renata pada Nathan.
"Karma buat orang yang suka bohongin temennya."
"Kapan gue bohongin lo?"
"Kinta belum nikah!"
Renata terkekeh. "Kinta kebagusan buat lo!"
"Kampret!"
George, suami Jeanette yang berdarah Jawa Tengah campur Jerman, datang dengan membawakan segelas orange juice untuk Nathan lalu ia duduk di sebelah Jeanette.
"Thanks, Bro!" ujar Nathan pada George.
"Re, gak baik lho nolak banyak orang sebelum lo ketemu dan kenal sama orang itu. Kenalan aja dulu kan gak masalah,” ujar George menyemangati Renata yang terlihat murung.
"Iya Re. Lagian sih lo dari kemarin mau dikenalin sama yang single nolak mulu,” sambung Jenette.
"Au ah. Pusing gue,” balas Renata.
Nathan teringat sesuatu. Ia buru-buru menelan orange juice yang baru saja ia tuangkan ke dalam mulutnya. "Eh iya, ada club baru lho. Gue mau ajak kalian ke sana. Mau gak? Baru banget buka minggu lalu."
"Boleh,” ujar George dengan semangat 45 berhubung dia adalah penyuka dunia malam.
"Ayo deh daripada kepala gue makin mumet!" balas Renata.
***
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Yoga dan Arkan pergi ke night club milik kakaknya Yoga yang baru saja launching minggu lalu. Malam ini, Radit tampil mengisi acara di club itu sebagai Disk Jockey. Sebagai sahabat yang baik, mereka akan menyemangati Radit malam ini.
Saat sedang menikmati permainan Radit yang begitu apik, Yoga pamit keluar sebentar ke tempat yang tidak terlalu berisik untuk menerima telepon dari ibunya.
"Iya Ma, besok Yoga pulang ke rumah kok." ... "Iya Ma, daaah ...."
Setelah sambungan telepon itu berakhir, Yoga memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya dan berlalu dari tempat itu. Namun, saat ia melewati toilet, ia mendapati pesan dari kakaknya di ponselnya. Ia pun berhenti sejenak di depan pintu toilet untuk membalas pesan kakaknya. Tak sengaja matanya melihat ke dalam toilet yang tidak tertutup pintu itu. 'Renata?' gumamnya saat melihat Renata berada di dalam toilet. Ia pun sengaja mendengar pembicaraan dua orang wanita yang sedang merapikan make up di depan kaca toilet.
"Re, si Gilang kirim salam buat lo."
"Oh."
"Gak salam balik?"
"Dih, ngapain?"
"Gilang cakep gitu. Anak orang kaya. Yakin gak mau?"
"Biasa aja sih menurut gue."
"Ya ampun, Re. Kalau semua cowok lo anggep gak menarik, kapan lo mau nikah?!"
Buru-buru Yoga merekam pembicaraan itu di ponselnya. Jeanette yang kesal karena Renata tidak menggubris perkataannya pun kembali berbicara.
"Lo mau nunggu Haikal jadi duda?!"
"Ya terus, kalau gue mau nunggu Haikal jadi duda kenapa emangnya?"
"Hah?! Gile ya lo, Re?! Haikal kan sekarang udah jadi kakak ipar lo!"
"Ya kan sebelum bendera kuning berkibar, apa pun bisa terjadi."
Jeanette menggelengkan kepalanya melihat kelakuan temannya itu.
"Re, kalau pun akhirnya Haikal cerai dari kakak sepupu lo itu dan menikah sama lo, keluarga kalian akan hancur. Lo pasti dimaki abis-abisan dan ditendang dari keluarga lo!"
"Ya masalahnya gue mau nikahnya ya cuma sama Haikal. Dan yang salah itu mbak Rinda! Dia rebut Haikal dari gue!"
"Renata! Mbak Rinda gak rebut Haikal dari lo! Haikal gak cinta sama lo! Buktinya dia cuma deketin lo waktu hubungannya sama mbak Rinda renggang, setelah dia baikan sama mbak Rinda, dia balik ke istrinya itu dan ngebuang lo gitu aja."
"Ya tapi gue cinta sama Haikal!" teriak Renata.
Jeanette melongo melihat Renata berteriak padanya. Ia tidak menyangka Renata akan semarah itu mengungkapkan perasaannya. Renata merasa air matanya akan terjatuh. Ia pun bergegas keluar dari dalam toilet disusul oleh Jeanette yang menarik lengannya.
"Re, maafin gue, ya."
Renata hanya menganggukkan kepalanya. Jeanette pun memeluknya lalu mereka kembali masuk ke dalam arena lantai dansa. Yoga juga ikut kembali ke dalam club itu dan duduk di hadapan Arkan di sofa yang telah mereka pesan.
"Ada adek lo sama temen-temennya,” ujar Yoga.
Arkan mengikuti arah pandang mata Yoga dan mendapati Renata sedang asyik di lantai dansa bersama Jeanette, Nathan dan George yang memegang gelas vodka. Ia pun mengalihkan pandangannya pada layar ponselnya. Ia tidak peduli Renata pergi dugem kek, jadi DJ kek, atau teler di lantai dansa pun ia sebodo teuing. Namun, tak berapa lama kemudian matanya kembali melirik ke arah Renata yang sedang menunjukkan kekesalannya pada seorang pria yang terus menggodanya.
"Ih apaan sih lo! Sana jauh-jauh!" ujar Renata ketika pria paruh baya itu dengan sengaja memegang lengan Renata dan menghirup aroma tubuh Renata melalui celah ceruk leher Renata.
"Cuma mau dansa aja sama kamu kok,” ujar pria tak tahu diri itu.
Arkan mencengkeram gelas vodka-nya lalu membanting gelas itu. Dari sorot matanya terlihat jelas ia murka dengan apa yang dilihatnya. Ia berjalan mendekati kerumunan orang-orang yang kebanyakan setengah teler akibat minuman laknat yang ditenggak. Ia menarik tangan Renata dan berjalan meninggalkan arena lantai dansa. Pria tak tahu diri itu marah pada Arkan yang sudah seenaknya merebut mangsanya begitu saja.
"Eh, jangan ambil cewe gue dong. Cari cewe yang lain sana!" ujar pria itu.
"Anda mau saya jebloskan ke penjara atas perbuatan tidak senonoh anda?!"
"Eh, anak ingusan. Lo siapa seenaknya aja ngancem gue?"
"Gue kakaknya dan gue pengacara sekaligus saksi mata bahwa anda sudah berlaku kurang ajar kepada adik saya.” Arkan mendekat ke tubuh pria itu dan berbisik. "Mau langsung gue jeblosin ke penjara atau mau ke rumah sakit dulu?"
Arkan menyeringai meremehkan pria tak tahu diri itu untuk mengejeknya karena tidak berani melawan. Arkan pun kembali menarik tangan Renata dan membawanya paksa keluar dari dalam club. Saat mereka sampai di halaman parkir, Arkan menghempaskan tangan Renata. Sedari tadi Renata menangis. Ia takut melihat ekspresi marah Arkan yang sangat menakutkan baginya.
"Lo kapan sih bisa gak bikin gue marah?! Kalau lo gak bisa jaga diri dan gak punya orang yang bisa jagain lo, gak usah ke tempat kayak gini! Umur lo berapa sih?! Tau kan caranya jaga diri?! Tau kan mana tempat yang bisa lo datengin, mana yang enggak?!"
Renata tidak menjawab perkataan Arkan sepatah kata pun. Tangisannya semakin menjadi.
"Pulang sana! Ngapain lo masih di sini?!"
Dengan wajah memerah menahan amarah, Arkan beranjak dari tempat itu. Yoga yang sedari tadi mengikuti mereka pun merasa iba pada Renata. Ia mendekati Renata dan mengeluarkan sapu tangan dari balik jaketnya dan memberikannya pada Renata. Renata mendongakkan wajah untuk melihat orang yang menyodorkan sapu tangan padanya. Ia ternganga mendapati wajah orang yang sama yang dulu pernah melakukan hal yang sama untuknya. Renata mengambil sapu tangan itu lalu Yoga tersenyum dan mengusap kepalanya.
"Mau aku anter pulang?"
Arkan yang tadi pergi dari hadapan Renata untuk melabrak Nathan karena sudah membawa Renata ke tempat itu pun kembali menghampiri Renata. Ia mendapati Yoga dan Renata saling menatap dan Renata menganggukkan kepalanya pada Yoga.
"Kan, gue pulang duluan, ya,” ujar Yoga seraya menggandeng tangan Renata.
Arkan melepaskan genggaman tangan Yoga pada tangan adiknya itu. "Gak usah repot – repot. Gue yang anter dia pulang!"
"Emosi lo lagi gak stabil, Kan."
Arkan mendekatkan wajahnya pada Yoga. "Gue gak mau lo nidurin adik gue!" bisiknya.
Arkan menarik tangan Renata dan berjalan menuju mobilnya. Saat berjalan mengikuti langkah kaki Arkan, Renata sempat melirik Yoga yang tersenyum padanya.