Kamar yang Berbeda

1590 Words
Akhirnya, sepasang pengantin yang baru menikah itu resmi keluar dari rumah kedua orang tua Ashana. Kepindahan mereka diantar dengan doa-doa baik oleh Hendrawan dan Minati. Keduanya berharap anak dan anak menantu mereka bisa hirup rukun dan bahagia di tempat tinggal yang baru. Beberapa wadah makanan pun turut dibawa untuk bekal makanan selama beberapa hari ke depan. Maklum, Ashana belum begitu pandai dalam memasak. Keadaan apartemen sudah rapih. Sebenarnya, setiap harinya juga rapih. Rakyan jarang datang berkunjung. Hanya sesekali, saat dirasa pikirannya begitu suntuk. Seperti saat akhirnya ia harus menikah dengan Ashana dan harus terpaksa membuat komitmen yang sangat ia hindari selama ini. “Kalian yang akur, ya. Masalah sekecil apapun, dibicarakan berdua. Papa dan Mama harap Kian bisa membimbing Shana,” pesan Hendrawan. Sepasang pasutri yang tengah diguyur dengan wejangan-wejangan itu mengangguk. Betapa pun ia kecewa dengan semua kejadian yang sudah terlanjur terjadi, terlepas dari semuanya, Ashana tetaplah putri kesayangannya. “Sering-sering main ke rumah kalau kalian libur, ya.” “Iya, Pa,” sahut Rakyan. Lagi-lagi, drama dimainkan. Laki-laki itu menggenggam erat tangan istrinya. Ashana tak menolak sama sekali. Wanita itu tahu kalau ia juga harus menjalankan skenario ini. “Kami pastibakal sering main ke rumah, Pa. Papa dan Mama nggak perlu khawatir.” Kedua netranya melirik ke arah Ashana. “Iya kan, Sayang?” “Iya, Bie. Papa sama Mama jangan khawatir. Aku sama Kian pasti baik-baik aja di sini. Kian pasti bisa jadi suami yang baik. Aku yakin Kian juga pasti bisa jadi ayah yang baik untuk anak kami.” “Kian sudah tau kan kalau bayi kalian ....” Ucapan Minati terhenti saat dilihatnya sang putri menatap ke arahnya. Ashana mengirim sinyal pada sang Mama. Berharap wanita itu tak menyampaikan kabar soal bayi kembar yang dikandungnya. Biarlah. Rakyan sendiri yang memintanya menyimpan semua informasi tentang janin yang ada di kandungannya. Rakyan tak peduli. Jadi, buat apa diberi tahu. “Maksud Mama, bayi kalian sehat. Sudah tau, kan?” Minati melanjutkan ucapannya, meskipun harus mengganti topik pembicaraan. Dalam hati, wanita itu jelas bingung. Kenapa kabar sebaik itu harus disembunyikan sang putri dan suaminya? Apa mungkin Ashana ingin memberikan kejutan tersendiri? Mungkin saja. “Sudah, Ma. Sudah. Shana sudah kasih tau aku kalau bayi kami sehat,” Rakyan tiba-tiba mengusapi perut Ashana. Bukan sensasi menenangkan yang Ashana dapatkan. Wanita itu justru merasa tidak nyaman yang bercampur dengan rasa sedikit ngeri. “Aku senang anak kita sehat di sini. Aku nggak sabar pengin cepat-cepat ketemu dia.” “Tunggu sebentar lagi ya, Bie.” Hanya ingin terlihat lebih natural di hadapan kedua orang tuanya. Tangan Ashana pun turut bergerak di atas tangang suaminya, ikut mengusapi wadah di mana kedua calon anak mereka tumbuh. “Yang sehat ya, Sayang. Papa sama Mama nggak sabar mau ketemu kalian.” Ada rasa getir di lidahnya. Mungkin hanya dirinyalah yang menantikan kelahiran anak-anaknya. Nyatanya, memang hanya dirinya yang menginginkan kehadiran mereka. Hanya dirinya yang bersikeras mempertahankan mereka. Hanya ia seorang. “Papa sama Mama pulang dulu. Lauk-pauk yang Mama bawain bisa dibuat makan selama beberapa hari ke depan. Simpan di kulkas. Ambil secukupnya setiap kali mau makan. Panasi sebentar di wajan. Paham ya, Dek?” “Iya, Mama. Paham. Kalau cuma manasin makan aku bisa, kok,” sahut Ashana terkekeh. “Pelan-pelan kamu juga perlu belajar masak. Lumayan membantu kalau saatnya MPASI.” Rakyan merangkul lembut pinggang sang istri yang sudah mulai berisi di usia kehamilannya yang sekarang. Keduanya tengah mengantarkan kedua oerang tua Ashana sampai ke basement apartemen. Melambaikan tangan saat mobil meninggalkan basement pun dilakukan. Namun, setelahnya tangan itu mengempas begitu saja. Rakyan meninggalkan Ashana seorang diri dan memilih kembali ke unitnya sendirian. Ashana berdiri terpekur. Sosok hangat penuh cinta itu sudah hilang entah ke mana. Jauh sebelumnya, laki-laki itu akan sangat memanjakannya. Membukakan pintu mobil, menggandeng erat tangannya sampai masuk ke unit apartemennya. Pil penuh kepahitan harus Ashana telan seorang diri. Menjadi istri Rakyan memang benar impiannya sejak lama. Namun, dicampakkan seperti ini jelas sama sekali tak masuk ke dalam daftar impiannya. “Sampai kapan aku harus terus begini, Bie?” Setetes air mata meluncur ke pipinya. Wanita itu harus menahan dirinya untuk terus kuat. Kesepakatan sudah dibuat di antara mereka berdua. Berpisah setelah kedua anaknya dilahirkan. Ya, bercerai. *** Ashana tak menemui sosok Rakyan saat masuk ke kamar. Ke mana perginya laki-laki itu? Wanita itu kembali melangkah ke luar. Ada dua kamar di sini. Kamar pertama adalah kamar di mana biasanya mereka gunakan untuk menghabiskan wakti bersama sampai akhirnya perutnya membuncit karena berisikan dua janin, sedangkan kamar lainnya adalah kamar yang biasa digunakan Rakyan untuk mengerjakan semua pekerjaan. Ashana dibuat terkejut saat membuka kamar itu. Semuanya benar-benar sudah berubah. Ruang kerja itu berubah menjadi sebuah kamar dengan tempat tidur berukuran queen yang diletakkan menempel dengan tembok. “Bisa kamu lebih sopan masuk ke kamar orang?” tegur Rakyan saat menyadari kedatangan Ashana. Wanita itu seketika merasa tidak enak hati. “Seenggaknya kamu ngerti kan caranya ketuk pintu? Kamu sudah melanggar privasiku. Ini kamarku.” “Bie, aku mohon jangan begini. Kita tidur di kamar kita, ya. Please.” Ashana memohon. Berharap hati suaminya melunak. “Aku bisa tidur di lantai kalau kamu mau. Yang penting, kita sekamar, ya. Mau ya, Bie? Aku bisa gelar kasur lipat. Aku nggak akan ganggu kamu. Aku—“ “Keluar,” ucap Rakyan dengan nada penuh ketegasan. “Aku bilang keluar!” “Iya, aku keluar.” Ashana menyerah. Sudahlah. Pikirnya, sudah tak ada gunanya mengiba pada suaminya sendiri. Status suami hanyalah aksesoris belaka. Pernikahan mereka hanyalah sebagai sarana untuk memberikan status pada kedua anaknya kelak. Langkah Ashana gontai memasuki kamarnya. Wanita itu duduk di atas ranjang berukuran kingsize. Ranjang ini begitu besar jika harus ditempatinya seorang diri. Diusapnya bagian kosong yang biasa ditempati Rakyan. Ia tersenyum setiap kali mengingat kenangan-kenangan yang pernah mereka lewati di kamar ini, telebih saat laki-laki itu mengerang dengan begitu kencangnya saat mencapai puncak kepuasan yang diburu. Ashana mulai membongkar koper dan menata baju-bajunya di lemari. Ternyata, Rakyan sudah menyisakan tempat kosong agar bisa digunakannya untuk menyimpan pakaiannya. Setidaknya, ada secuil perhatian yang laki-laki itu berikan. Tak apalah, daripada tidak sama sekali. Selesai beberes, jam menunjuk hampir waktu makan malam. Ia pun mengeluarkan semua wadah lauk yang dibawakan Minati sebelumnya. Ada rendang daging, sambal goreng kentang, capcay sayur, tumis brokoli dan tumis teri kacang. Ashana mengambil porsi yang sekiranya cukup untuk dirinya dan suami, kemudian memanaskan makanan-makanan itu di atas kompor. Makanan siap. Teringat akan peringatan sebelumnya, ia mengetuk pintu. Beberapa kali mengetuk, tapi ada juga ada jawaban dari seseorang di dalam sana. Ia pun memutuskan untuk membuka pintu. “Bie, makan dulu. Sudah aku panasi lauk-pauknya. Makan dulu, yuk! Kamu pasti lapar, kan.” Ternyata Rakyan tertidur. Ashana mengguncang pelan tubuh suaminya. Tak ada respons. Suaminya masih tidur sambil mendengkur seperti biasanya. “Bie, bangun dulu. Kita makan sama-sama.” Kedua mata Rakyan terbuka. Laki-laki itu mendengkus kesal dan menepis tangan Ashana yang masih bertengger di lengannya. “Ganggu banget! Sana kamu makan sendiri. Habisin semua makanannya. Keluar kamu! Aku mau tidur.” Derai air mata kembali muncul saat Ashana menutup kamar Rakyan. Ia hanya ingin menikmati lezatnya makanan berdua bersama suaminya. Namun, penolakan yang didapatnya. “Kita makan dulu ya, Sayang.” Ashana bermonolog seorang diri. Apapun kondisinya, ia tetap harus memikirkan kedua calon anaknya. Ia harus makan karena mereka membutuhkan nutrisi. “Mama bakal makan yang banyak supaya kalian selalu sehat di dalam sana.” *** Di dalam kamarnya, Rakyan merutukki dirinya tanpa henti. Kenapa ia bisa berubah menjadi laki-laki sekejam itu? Wanita yang diusirnya tadi adalah istrinya sendiri. Wanita yang begitu dicintainya 3 tahun terakhir ini. Kenapa sekarang dirinya justru membenci wanita itu? Rakyan benci melihat Ashana kesulitan dengan perutnya yang sudah membuncit itu. Rakyan benci karena bayi yang dikandung Ashana begitu menyusahkan wanita yang dicintainya. Bahkan, setiap tengah malam, Ashana akan terbangun. Wanita itu akan keluar kamar dan kembali ke kamar dengan sepiring makanan atau mungkin segelas s**u. Kenapa bayinya begitu menyusahkan? “Itu pilihan kamu sendiri. Kamu yang ngeyel mau mempertahankan bayi sialan itu.” Keputusannya untuk menceraikan Ashana setelah wanita itu melahirkan pun tercetus begitu saja. Rakyan ingin tahu bagaimana respons Ashana. Ternyata, meskipun diancam dengan sebuah perceraian pun Ashana tetap memilih anak mereka. Ternyata, anaknya yang belum lahir saja harus menanggung beban sama yang dirasakannya dulu. Anak sialan dan pembawa sial jelas tak ada bedanya. Sama-sama kasar. Kenapa pengalaman pahit di masa lalu justru membuat Rakyan menjadi laki-laki seperti itu? Kenapa rasa sakit hati itu mematri hatinya menjadi besi yang dingin? Kenapa ia tak bisa hanya menerima anak—darah dagingnya sendiri? Laki-laki itu mengusap wajahnya kasar. Ia akan benar-benar kehilangan Ashana. Sebenarnya, rasa cinta tak pernah hilang di hatinya. Rasa cinta itu selalu ada. Tak pernah berkurang, bahkan selalu bertambah. Namun, setiap kali ia mendapati Ashana yang begitu terlihat bahagia sembari mengusapi perutnya sambil bermonolog selalu sukse membuatnya geram. Lagi-lagi bayi yang belum lahir itu berhasil merebut wanita kesayangannya dari dirinya. Cintanya dikalahkan oleh makhluk kecil di rahim sang istri. Rakyan menyambar jaketnya. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu di luar ketimbang harus menyiksa diri dengan kondisi ini. Ia mendapati Ashana yang sedikit terkejut saat melihatnya keluar kamar. Wanita itu tersenyum kemudian. “Aku siapin nasinya, ya. Makan dulu. Rendangnya Mama enak banget. Kesukaan kamu, kan.” “Nggak perlu. Aku nggak nafsu makan,” sahut Rakyan. “Kenapa, Bie?” tanya Ashana. “Kita makan sama-sama. Aku sudah panasi lauknya.” Tanpa menjawab sepatah kata, Rakyan pergi meninggalkan sang istri. Pintu apartemen dibanting cukup keras. Tanpa Rakyan sadari, isakkan pun terdengar setelahnya. Ya, Ashana menangis dengan begitu pilunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD