Lima

1336 Words
%%% Hari mulai petang. Nasya dapat melihat lampu-lampu Kota Jogja yang mulai dinyalakan melalui jendela apartemen Bara. Sementara itu, matanya sesekali melirik ke arah kamar mandi yang masih terkunci dari dalam. Ia baru sadar, ternyata Bara mandi cukup lama untuk ukuran pria biasanya. Ya, setidaknya dibandingkan dengan Bayu, kakak iparnya. Merasa bosan, Nasya beralih ke ruang makan. Ia meraih dua lembar roti tawar lalu mengolesinya dengan selai coklat. Dia sangat suka coklat. Jadi dia mengolesinya cukup tebal. "Kamu sudah lapar lagi? Mau makan malam pakai apa?" tanya Bara yang baru saja menyusul Nasya ke ruang makan. Nasya menoleh meski dengan mulutnya yang masih asyik mengunyah roti. "Terserah, seadanya," jawab Nasya sebelum mendudukkan dirinya di sebuah kursi. Bara terkekeh melihat bibir Nasya yang cemong selai coklat. Belum lagi, gadis itu terlalu semangat mengunyah, seperti orang kelaparan, dan Bara dapat melihat jelas semua itu. 'Aku kira dia sudah tumbuh jadi dewasa sekarang. Ternyata masih sama seperti dulu,' batin Bara. "Hmm.. memangnya tidak apa-apa ya kalau aku terlalu lama di sini? Lumayan menguras uang juga loh kalau kamu nanggung makan aku," ujar Nasya menakut-takuti. Toh bukan rahasia lagi jika Nasya memang sangat boros dalam hal makanan. Bara pun pasti sudah tahu itu, jika ia ingat. Bara terkekeh mendengar ucapan gadis itu. 'Ya. Kan kamu juga harus menghidupi cacing-cacing di perutmu,' batin Bara yang sontak mengundang tawanya sendiri. Nasya menyerit. Ia tau, jika pria itu sedang berpikiran aneh-aneh tentangnya sekarang. "Ngetawain aku?" tanya Nasya sembari menyeritkan alisnya. Bara menggeleng kemudian membuka kancing lengan kemejanya. Nasya menyerit bingung. Namun ia segera tahu apa yang sebenarnya akan lelaki itu lakukan. Masak. Ya, Nasya tahu, Bara memang cukup memiliki keahlian di bidang itu. Bahkan sejak SMA, tepatnya sejak mereka masih berstatus sebagai pasangan kekasih. Nasya tersenyum. Ia kembali tersentuh dengan sikap Bara padanya. "Boleh aku bantu?" tawar Nasya. Terdengar tawa Bara pecah. Nasya pun berdecak karenanya. "Memangnya kamu bisa?" tanya Bara dengan nada mengejek. Nasya mencoba mengingat-ingat pengalaman masaknya. Telur gosong, tempe tidak matang, mie goreng menempel di teflon. Oke. Ia tidak punya catatan keberhasilan di bidang satu itu, selain ketika ia masak air. Ya .. walau tidak sempurna karena pada kenyataannya air yang ia masak sudah berkurang hampir setengah ketika apinya ia matikan. Tapi setidaknya, saat itu Nasya berhasil tak merusak satu alat pun. "Terus aku cuma suruh ngelihatin seperti ini?" tanya Nasya. Bara mengangguk sambil menoleh sekilas. "Dari pada dapurku berantakan, aku lebih suka kamu duduk diam di situ," jawabnya santai. Nasya tak pernah melepaskan pandangannya dari Bara. Ia cukup kagum melihat kepiawaian pria itu di dapur. Dulu, Bara sering membawa bekal ke sekolah karena malas sarapan di rumah. Dan Bara selalu mengajak Nasya untuk memakan bekal itu bersama. Meskipun hanya menu sederhana, tapi masakan Bara cukup enak untuk ukuran remaja laki-laki saat itu. Sekali lagi, Nasya terkesima dengan karisma yang Bara pancarkan. Apakah tidak apa-apa kalau Nasya jatuh hati sekali lagi pada pria itu? "Kenapa bengong?" tanya Bara yang berhasil membuyarkan lamunan Nasya, membuat gadis itu mengejap lalu memperbaiki posisi duduknya. 'Okey stop mengkhayalnya, Nasya!' batin Nasya. "Si.. siapa yang bengong? Kan lagi lihatin kamu masak. Sekalian buat belajar," jawab Nasya gugup. Bara tersenyum tipis kemudian kembali asyik dengan pisau dan sayuran di kedua tangannya. 'Tangan dia aja lebih lincah ngirisin wortel dari pada tangan lo, Sya. Mana mau dia sama lo, yang masak nasi aja nggak pernah bisa pas airnya?' Nasya merengut setelah memikirkan hal itu. Terlalu banyak perbedaan antara dia dan Bara. Mungkin saja Bara dulu hanya khilaf saat berpacaran dengannya. "Khilafnya aja manis, ngangenin. Khilaf lagi aja dong!" gumam Nasya tanpa sadar. Bara menoleh dan menyerit bingung. Ia melempari Nasya dengan tatapan penuh tanya yang hanya perempuan itu balas dengan tatapan kosong. "Sya, kamu barusan ngomong apa?" tanya Bara ketika Nasya tak juga menyadari tatapannya. 'Dukkk' Dan suara Bara itu berhasil membuyarkan lamunan Nasya. Keterkejutannya membuat Nasya bergerak refleks sehingga membuat tangan yang ia gunakan untuk menopang pipinya kehilangan keseimbangan dan kepalanya hampir saja bertemu dengan kerasnya meja makan. "Kamu ini kenapa sih?" tanya Bara dengan tawa kecil yang tidak bisa ia tahan. "Ya kamu sih, nyebelin banget sih!" kesal Nasya. "Nyebelin kenapa coba?" bingung Bara masih dengan tawa gelinya melihat tingkah menggemaskan Nasya. "Badannya nggak usah dibagus-bagusin! Mukanya nggak usah diganteng-gantengin! Senyumnya nggak usah dimanis-manisin! Kan bikin gagal fokus," ucap Nasya seenaknya. Bara tak langsung menanggapi ucapan Nasya. Ia terlalu sibuk mencernanya. Dan sepertinya, Nasya juga belum sepenuhnya menyadari apa yang ia ucapkan tadi. Setelah hampir satu menit, barulah Nasya tampak seperti kaget akan sesuatu. Ia melotot lebar kemudian menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Matanya memejam menahan malu. Bibir bawahnya ia gigit hingga ia meringis sendiri pada akhirnya. 'Ini nih akibat jarang sedekah ke tunawisma yang sering lewat depan butik,' batin Nasya miris. Ia ingin bangkit dari duduknya lalu kabur dari Bara. Namun suara lelaki itu sudah lebih dulu mengintrupsinya. "Mau kemana?" tanya Bara sembari menahan tawa. Nasya mengurungkan niatnya. Ia menoleh sebentar, lalu melayangkan tatapannya ke arah lain. "Ha.. haus. Mau min.. uhukk minum," dustanya sambil coba berakting. Bara tersenyum kecil kemudian meraih gelas di rak yang ada di sampingnya. Oke. Nasya baru menyadari kebodohannya. Alasan macam apa yang baru saja ia gunakan? Jelas-jelas gelas dan dispensernya ada di ruangan ini. 'Makin ke sini gue kelihatan bodoh di depan Bara,' batinnya. "Ini," ucap Bara sambil menyodorkan segelas air. Nasya menerimanya dengan kaku lalu meminumnya beberapa teguk. Rasanya sangat tidak nyaman. Sebab, Bara masih saja menyorotnya dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. "Kenapa?" bingung Nasya. "Lain kali kalau kamu mau minum, gelasnya ada di sana, dan dispensernya di sana," jawab Bara sembari menunjuk satu persatu letak barang yang ia sebutkan. Nasya mengangguk kaku lalu meletakkan gelasnya di atas meja. Aneh. Bara masih saja memperhatikannya. Membuat Nasya sesekali harus menelan saliva untuk menyamarkan rasa gugupnya. "Ap.. apa lagi? Kenapa nggak dilanjut masaknya?" tanya Nasya berusaha memecah keheninhan. Bara tersenyum manis kemudian berlalu dari hadapan Nasya untuk melanjutkan kegiatannya tadi. Seperti ada magnet yang membuat Nasya tidak bisa berhenti menatap punggung tegap itu. Jantungnya juga seakan berdetak lebih kencang ketika ia menatap Bara. Apakah itu semua karena Nasya masih mencintai Bara dan mengharapkan pria itu? "Bar," panggil Nasya tanpa sadar. Bara menoleh sekilas lalu berdehem sebagai tanda jika ia mendengar panggilan Nasya. Tapi fokusnya masih tersita oleh panci di depannya. 'Masak iya sih, gue masih ada rasa?' batin Nasya bertanya-tanya. 'Kalau ternyata dia sudah punya pacar atau istri gimana? Nanti aku lagi yang kecewa.' 'Tapi masak iya, aku harus tanya langsung?' "Kenapa, Sya? Nggak iseng doang kan kamu manggil aku tadi?" tanya Bara. Nasya menghela napas panjang, kemudian berusaha memantabkan hatinya. 'Salah nggak sih kalau gue tanya langsung ke dia? Daripada endingnya gue sakit lagi kan, ya?' "Bar," "Hmm..." "Kalau ternyata aku masih cinta sama kamu, gimana?" tanya Nasya ragu. Bara menghentikan segala aktivitasnya. Dan Nasya bisa melihat itu. Apakah Nasya salah menanyakan hal itu? "Kayaknya, aku masih cinta kamu deh, Bar," lanjut Nasya dalam satu tarikan napas. Sunyi. Lelaki itu tak menjawab. Nasya mulai berpikir jika pertanyaan itu tidak seharusnya ia lontarkan. Ia khawatir malah akan terjadi kecanggungan setelah ini. "Itu hak kamu," jawab Bara pada akhirnya, kemudian ia kembali melanjutkan kegiatan memasaknya. Nasya menghela napas lega. Ternyata pria itu tidak marah karena ucapannya. "Jadi kamu tidak melarangku buat suka sama kamu kan?" tanya Nasya. Bara kembali terdiam. Padahal banyak pertanyaan lain yang sudah mengantre dalam benak Nasya. "Lalu kamu? Kamu suka aku juga nggak?" tanya gadis itu lagi. Beberapa detik berikutnya, Nasya menepuk mulutnya yang terlalu lancang bertanya demikian. "Tergantung. Kalau kamu bisa membuatku tertarik lagi, mungkin aku akan cinta juga sama kamu," jawab Bara santai, namun terdengar seperti sebuah tantangan bagi Nasya. "Maksudnya, masih ada kesempatan buat aku?" tanya Nasya antusias. "Ada, walau pun tipis," jawab Bara sambil tersenyum miring. "Setipis apa yang kamu pikir, kalau pada nyatanya kita tinggal di bawah satu atap yang sama?" ujar Nasya begitu optimis. Bara mematikan kompornya, lalu mengambil dua mangkuk kecil untuk tempat sup nya. Setelah itu ia menghampiri Nasya dan memberikan semangkuk sup buatannya untuk Nasya. "Kita lihat saja ke depannya!" tantang Bara. %%% Bersambung .....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD