Enam

1370 Words
%%% Sudah genap tiga hari Nasya menumpang di apartemen Bara. Bahkan, ibu dan kakaknya yang ingin mengirimkan uang untuk beli tiket pulang pun ia abaikan. Ia terlalu nyaman di sini. Ia terlalu senang bisa melihat wajah damai itu setiap malam, ketika ia terbangun dari tidurnya. Seperti malam ini misalnya. Nasya sengaja memiringkan tubuhnya ke arah kanan agar bisa melihat Bara yang tengah tertidur lelap, menampakan wajah yang damai seperti tidak punya beban. Bibir Nasya terangkat membentuk senyum. Meski cahaya ruang cukup remang, namun ia masih bisa melihat wajah itu dengan jelas. Wajah yang selalu ia rindukan selama delapan tahun terakhir. Wajah yang ia pikir tidak akan dapat ia lihat lagi. Nasya merenggangkan tubuhnya yang terasa mulai pegal. Ia mengubah posisinya menjadi terlentang kemudian menutup matanya. Sudah cukup ia melihat wajah tampan itu hari ini. Besok ia masih harus bangun pagi untuk menyiapkan teh hangat dan pakaian kerja Bara. Namanya juga lagi PDKT. * Sebuah suara bising memaksa Bara untuk membuka matanya. Nyawanya belum terkumpul semua. Namun ia sudah dipaksa untuk mengayunkan kakinya ke arah nakas. Mematikan sumber suara berisik itu. Selang beberapa detik, suara itu berhenti. Namun sayang, Bara sudah terlanjur bangun dan sulit tertidur kembali. Ia duduk di ujung tempat tidur sambil melihat Nasya yang masih terlelap sambil memeluk guling. "Kenapa akhirnya selalu aku yang matiin alarmnya?" gumam Bara. Tangan pria itu terangkat untuk menyingkirkan anak rambut Nasya yang menutupi wajah cantik gadis itu. "Benar-benar seperti orang mati kalau tidur, dasar," lanjut Bara sembari tertawa kecil. Keinginan Nasya untuk bangun lebih pagi dari Bara hanya bisa menjadi wacana hingga kini. Karena nyatanya, Bara selalu sudah siap dengan kemejanya ketika Nasya bangun. Dan setiap pagi pula, Bara yang harus mematikan alarm Nasya. Karena gadis itu seperti tidak mendengarnya sama sekali. Jangankan bangun, bergerak saja tidak. Padahal jarak alarm itu dengan telinga Nasya tak sampai satu meter. Sementara jarak alarm itu dengan sofa tempat Bara tidur lebih dari dua meter, dan Bara bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Melihat Nasya yang masih terlelap, Bara pun segera beralih ke kamar mandi. Ia tidak tega jika harus mengusik tidur Nasya. Lima menit berlalu. Nasya menggeliat lalu membuka matanya secara perlahan. Titik pertama yang menjadi pusat perhatiannya adalah sofa dekat pintu yang sudah kosong. "Hoamm.. aku telat bangun lagi ya?" gumamnya dengan suara serak khas orang bangun tidur. Nasya menoleh ke arah jam. Belum genap sepuluh menit dari alarm yang ia pasang. Jadi ia pikir Bara pasti belum berangkat. Hal itu didukung juga dengan suara gemercik air dari kamar mandi. Membuat Nasya tersenyum puas, kemudian segera bangkit dari posisinya. Nasya menuju lemari pakaian Bara untuk mengambilkan pakaian untuk pria yang ia cintai itu. Pilihannya jatuh pada kemeja biru laut dan jas hitam yang tampak serasi. Sebenarnya tidak terlalu sulit memilih pakaian untuk Bara. Sebab, isi lemari pria itu cukup oligochrom. Hampir semuanya berwarna hitam dan putih, ditambah beberapa kemeja berwarna kalem lainnya. Bahkan celananya pun hampir sama semua. Memang Bara nggak malu apa, kalau dikira nggak pernah ganti celana? "Memang apa lagi yang bakal dipakai pengusaha kayak Bara?" gumamnya cuek. Nasya mengambil semua keperluan Bara dengan cepat lalu menyusunnya di tangannya. Baru saja Nasya menutup lemari, terdengar pintu terbuka dari arah belakangnya. Nasya pun tersenyum lebar dan segera berbalik badan menghadap Bara. "Ngapain kamu-" "Nyiapin baju kerja buat kamu," potong Nasya sebelum Bara menyelesaikan pertanyaannya. Bara tersenyum lalu menerima sodoran Nasya. Nasya pun sedari tadi senantiasa memasang senyum manisnya pada Bara. Setelah itu, Bara kembali beralih ke kamar mandi. "Pekerjaan pertama, selesai. Sekarang harus apa dong?" pikir Nasya. Gadis itu berpikir keras dengan otaknya. Sebenarnya ia ingin membuatkan Bara teh hangat. Tapi bahkan Nasya belum pernah melihat Bara minum teh selama di Jogja ini. "Waktu SMA juga aku nggak pernah lihat dia minum teh. Apa aku buatkan kopi saja ya? Kan kebanyakan laki-laki suka kopi," pikirnya. Akhirnya, Nasya beralih ke dapur untuk membuat dua cangkir kopi. Untung saja ia sempat membawa serenteng kopi instan di kopernya. Karena dia sendiri sangat suka dengan kopi. Sebab, Nasya tidak dapat menemukan kopi di apartemen Bara. Nasya selesai menyiapkan dua cangkir kopi bertepatan dengan keluarnya Bara dari kamar. "Sengaja pengen ambil hati aku?" tanya Bara tanpa canggung sedikitpun. Nasya menoleh, lalu mengangguk mantab. Tidak ada yang harus ia tutup-tutupi lagi sekarang tentang perasaannya. "Sini dasinya aku bantu pakaikan!" ujar Nasya kemudian merebut kain panjang itu dari tangan Bara. Bara hanya bisa pasrah menyerahkannya. Namun satu alisnya terangkat, bingung dengan sikap Nasya. "Yakin kamu bisa?" tanya Bara memastikan. "Yakin. Kalau pun belum, biar sekalian belajar dong," jawab Nasya santai. Bara tersenyum tipis kemudian mulai mengalihkan pandangannya ke arah tangan Nasya yang sedang bergerilya di area lehernya. Sesekali Bara merasakan tubuhnya tertatik ke depan ketika Nasya kembali membongkar hasil kerjanya. "Katanya bisa?" goda Bara melihat Nasya yang begitu kesusahan dan berkali-kali melakukan kesalahan. "Kan tadi aku udah bilang, kalau belum bisa biar sekalian latihan," jawab Nasya sedikit kesal. Dia merasa Bara mulai menyepelekannya. Dan Nasya tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. "Awww.. kamu mau nyekik aku?" pekik Bara ketika Nasya terlalu kuat menarik dasinya. "Eh, maaf. Beneran nggak sengaja," ujar Nasya merasa bersalah. "Duh, gimana sih?" gumam gadis itu selanjutnya. Tangannya masih menari kesana-kemari berusaha memasang dasi itu dengan sebaik mungkin. Bara menjadi gemas dibuatnya. Ekspresi Nasya yang kesal memiliki daya tarik tersendiri untuknya. "Bisa nggak? Sini aku aja!" ucap Bara mencoba mengambil alih pekerjaan Nasya. Nasya menghempaskan tangan Bara kasar. Ia tidak ingin menyerah sekarang. 'Masak pasang dasi aja nggak bisa?' pikirnya. "Masak nggak bisa, pasang dasi nggak bisa, lalu kamu bisanya apa sih, Sya? Katanya pengen rebut hati aku, tapi kok hal-hal sepele gitu aja nggak bisa?" goda Bara dengan nada bercanda. Nasya semakin kesal mendengar ucapan Bara yang terdengar seperti ejekan di telinganya. Nasya menarik dasi itu semakin kuat karena kesal hingga Bara terbatuk-batuk. "Sya.. uhukk.. Sya," Bara. "Hina aja terus! Sampai kamu puas." kesal Nasya kemudian melepaskan tangannya dari dasi Bara.. Nasya hendak berbalik, namun Bara segera menahan tangannya. Bara mendekatkan wajahnya. Membuat Nasya terkejut dan membeku seketika. 'Cup' Nasya dapat merasakan kecupan hangat di puncak kepalanya. Sayang, kecupan itu hanya singgah beberapa detik di sana. Membuat Nasya harus menghela napas kecewa saat bibir itu mulai menjauh darinya. "Nggak usah marah!" ujar Bara lembut, setengah gemas. Bak terhipnotis, Nasya mengangguk dengan mudahnya. Ia membiarkan Bara memperbaiki dasi yang ia pasang seadanya. Ia pun menyadari jika dasi yang ia pasang tidak bisa disebut layak untuk Bara. "Hmm.. aku buatkan kamu kopi. Aku juga sudah ambil roti dan selai sebelum bikin kopi. Biar rotinya nggak terlalu dingin saat akan kamu makan," ujar Nasya. Bara membalasnya dengan senyuman kemudian segera berjalan ke arah meja makan. Nasya pun mengikutinya dengan penuh semangat. Nasya begitu senang saat Bara mau menikmati sarapan sederhana yang ia siapkan. Meskipun akhirnya Bara hanya makan dua lembar roti, dan kopinya pun masih tersisa sedikit. "Gimana kopinya? Enak? Kamu lebih suka roti tanpa selai ya? Tadinya mau aku kasih selai sekalian. Tapi kan aku nggak tahu kamu suka selai rasa apa," terang Nasya. "Kopinya enak. Tapi lain kali tidak usah buatkan aku kopi, kecuali ketika aku lembur!" jawab Bara. Tubuh Nasya merosot. Terbesit kekecewaan pada dirinya sendiri setelah mengetahui jika pilihannya untuk membuatkan Bara kopi ternyata kurang tepat. "Lalu kamu suka minum apa pas sarapan?" tanyanya sembari berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Ia tidak ingin salah lagi esok hari. "Teh hangat, tanpa gula," pinta Bara. Nasya mengangguk paham. "Dan soal makanan, tidak usah kamu pikirkan. Aku masih memiliki cukup waktu untuk memasak sarapan," imbuh Bara. Nasya mengangguk lagi. Ia benar-benar menyesal sekarang. Kenapa dari dulu ia tidak pernah bergabung dengan ibunya dan Nisa di dapur? Dengan begitu sedikit demi sedikit ia pasti akan pandai memasak sama seperti mereka. "Nggak usah cemberut!" ujar Bara membuyarkan lamunan Nasya. Nasya pun memaksakan senyumnya untuk Bara. "Lagi pula aku lebih suka kamu duduk diam dan banyak istirahat daripada repot-repot masak. Kamu lupa pesan dokter beberapa hari lalu?" tanyanya. "Kaki aku udah sembuh kok," kilah Nasya. "Bahkan kamu masih sedikit pincang. Apa kamu tidak takut akan jadi semakin parah?" Bara. Nasya menunduk. Nasya merasa, ia selalu salah di mata Bara. "Sya, aku bukan mau ngomelin kamu dan bikin kamu sedih. Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa hanya demi bisa ngambil hati aku. Ingat, selama di sini, kamu adalah tanggung jawabku!" terang Bara. %%% Bersambung .....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD