03

1117 Words
"Clara kenalkan, ini namanya nak Lucas." Bu Laras tersenyum lembut. Wajahnya yang ayu tersenyum penuh keibuan menyambut kedatangan Clara sehabis pulang kerja. Clara melirik ke arah sofa kecil satu-satunya yang ada di ruangan bu Laras, seorang pria tampan dengan jas yang tampak mahal duduk dengan tenangnya di sana. Postur tubuhnya dapat membuat wanita manapun rela menyerahkan diri mereka secara sukarela, rahangnya tegas dan terasa menggiurkan saat bulu-bulu halus menghiasinya. Tatapan matanya hangat tapi juga terkesan tajam, bola matanya berwarna biru gelap. Cukup menilai penampilannya, karena tampaknya pria ini tidak akan membawa bencana bagi tempat tinggalnya. Clara mengulurkan tangannya ke arah Lucas. "Clara Marchelia," ucapnya sambil tersenyum manis. Lucas berdiri. Menyambut uluran tangan Clara. "Lucas Dobson." Clara kembali menilai. Suaranya ramah dan enak di dengar, jabatan tangannya kuat, menunjukkan bahwa Lucas adalah orang yang tegas. Setelah dilihat dari dekat, sepertinya ada roti sobek yang bersembunyi di balik jasnya Lucas. "Clara satu-satunya anak didik yang paling berbakti, Lucas." Bu Laras berbicara dengan bangga. Clara menyentuh lengan bu Laras. "Bu..." katanya malu. "Hingga sekarang hanya dia yang tersisa, yang lain ... yang lain pada ...." Bu Laras tertunduk sedih, tak dapat melanjutkan ucapannya. Clara mengusap bahu Bu Laras, tersenyum minta maaf ke arah Lucas. Begini jika sudah membahas kakak-kakaknya yang kabur. Bu Laras selalu menangis, masalahnya mereka bukan hanya kabur tapi juga mencuri uang simpanan Bu Laras dan juga uang sumbangan untuk anak-anak. Tidak tega melihat Bu Laras seperti itu, Clara mati-matian mencari kerjaan, apapun di kerjakannya untuk menutupi kekurangan mereka. Melihat adik-adik tidak dapat jatah makan yang layak membuat hati Clara teriris. Dan bersumpah akan membunuh kakak-kakanya jika secara tak sengaja berjumpa dengan mereka. "Tidak perlu di lanjutkan bu," kata Lucas pengertian. Bu Laras mengangguk lalu menoleh ke arah Clara. "Clara, bagikan adik-adik camilan, tadi kita dapat sumbangan dari Kepala Desa seberang," ucap Bu Laras dengan suara pelan. Clara mengangguk, tersenyum sopan ke arah Lucas lalu melangkah pergi. Itulah awal pertemuannya dengan Lucas, setelah itu mereka hanya pernah bertemu beberapa kali, tidak terbilang akrab, akan tetapi saat itu Clara menyimpulkan Lucas orang yang baik. Saat itu hari senin, dan Restoran tempat Clara bekerja ulang tahun yang ke 30. Untuk merayakannya, mereka buka hingga pagi, 24 jam, dan karena alasan itu Clara bekerja hingga pagi. Karena mendapat waktu untuk istirahat, Clara keluar dari Restoran, menghirup udara segar. Kepalanya menengadah menatap langit malam, lalu tersenyum lembut. Meskipun bandannya capek luar biasa, Clara tak pernah mengeluh sedikit pun. Mengingat uang yang di dapatnya untuk adik-adiknya, Clara merasa puas. Ketika sedang menikmati pemandangan malam, seseorang membekap mulutnya dari belakang, Clara memberontak. Tubuhnya diangkat dan di masukkan ke mobil. Clara tak mengenal mereka, tapi mereka tidak seperti penjahat yang memakai masker hitam seperti di tv-tv untuk menutupi identitas mereka. Orang yang membawanya pergi ini memakai jas, tampak seperti dari organisasi atau suruhan seseorang. Mereka menutup kedua mata Clara dengan kain hitam hingga sampai di tujuan. Saat Clara membuka mata, ia sudah berada di dalam kamar yang mewah, dan saat pintu terbuka, Lucas masuk dengan tatapan puas. "Lucas!?" jerit Clara antusias. Campuran rasa heran dan senang ketika melihat Lucas saat itu. Heran kenapa bisa ada Lucas di tempatnya sekarang, dan senang karena ada seseorang yang di kenalnya di tempat antah berantah ini. Lucas tersenyum manis. "Selamat datang, Clara." "Selamat datang? ini rumahmu?" Lucas mengangkat kedua bahunya 'begitulah'. Clara spontan tertawa renyah. "Ya ampun, seharusnya kau bilang kalau kau mau mengundangku ke rumahmu," katanya. "Aku takut tahu, kau membawaku dengan cara seperti tadi, ku pikir aku di culik," sambungnya lagi. Lucas berjalan menghampirinya. "Ku pikir kau tidak akan mau jika aku mengundangmu, jadi jalan satu-satunya memang harus seperti tadi." Clara nyengir. "Aku memang sibuk akhir-akhir ini, ku rasa aku memang bakalan menolak undanganmu." "Tunggu!" katanya seperti mengingat sesuatu. "Astaga, aku masih harus lembur, Lucas. Kau harus mengantarku sekarang," ucapnya panik. "Mulai saat ini kau akan tinggal di sini," kata Lucas santai. "Lah kenapa?" Clara bertanya polos. "Tidak ada alasan khusus. Yang terpenting mulai saat ini kau akan tinggal di sini dan harus menuruti kata-kataku." Clara berdiri. "Apa Ibu yang menyuruhmu untuk menampungku?" "Tidak. Sudahlah jangan banyak bertanya." Lucas menunjuk kening Clara. "Kau harus mematuhi apa kataku, itu yang harus kau ingat, hal-hal tidak penting yang lain, lupakanlah." Lucas mengeluarkan rokoknya. "Aku keluar dulu," ujarnya sembari melangkah keluar ruangan tempat Clara berada saat ini. Setelah kepergian Lucas, Clara mencoba berpikir dengan maksud untuk memahami setiap ucapan yang di katakan Lucas. Dan akhirnya buntu. Tetap saja pertanyaan-pertanyaan berseliweran di kepalanya. Kenapa Lucas membawanya ke sini? Apa yang akan dikatakannya dengan Ibunya nanti? Oh, bagaimana dengan pekerjaannya? Apa nanti ia akan di pecat? Tampaknya ia harus berbicara lagi dengan Lucas. Clara berdiri, dan berjalan ke arah pintu. "Lucas!" jeritnya ketika pintu di hadapannya tidak bisa di buka. "Lucas!" "Lucas!" "Lucas!" Tetap tak ada jawaban, Clara terduduk di lantai. Apa yang harus di lakukannya sekarang? Tidur di sini atau meneriakkan nama Lucas hingga pagi? sepertinya kamarnya kedap suara, sebaiknya tidur di sini saja. Besok, pasti Lucas menemuinya. Pikiran awal yang berada di kepalanya. Tetapi pikiran Clara salah. Karena hari esok, Lucas tak menemuinya, dan besoknya lagi, hingga satu minggu kemudian. Pintu kamar tempatnya berada hanya terbuka saat pagi, siang, dan malam, jadwal rutin para maid mengantar makanannya. Pintu itu juga terbuka ketika maid mengantarkan camilan atau membersihkan kamarnya, mengambil pakaian kotornya. Para maid akan mendadak bisu jika Clara bertanya keberadaan Lucas. Ada yang menjawab dengan wajah datar dan gelengan kepala, juga ada yang tidak menjawabnya, membiarkan pertanyaan Clara seperti angin lalu. "Kemana saja kau satu minggu ini, Lucas?" Clara bertanya dengan nada tinggi, campuran rasa frustasinya berada di dalam kamar selama seminggu. "Kau merindukanku?" Clara menggeleng kuat. "Sama sekali tidak. Aku ingin pulang, kau harus mengantarku pulang, sekarang. Aku bisa memafkanmu dan tidak melaporkanmu ke polisi karena telah membawaku secara kasar, atau bisa ku sebut sebagai paksa, jika kau menjelaskan alasanmu membawaku ke sini secara baik-baik dengan Ibu." Lucas duduk di kursinya. Mengambil sebatang rokok lalu menghisapnya. "Kan sudah ku bilang padamu, yang perlu kau lakukan adalah menurutiku," ucapnya santai. Clara menutup hidungnya ketika bau rokok memenuhi ruangan kamarnya. Emosinya naik melihat Lucas dengan santainya berbicara seperti itu. Dengan tangan terkepal, Clara berjalan menghampiri Lucas. Mengambil rokoknya lalu membuangnya. "Aku masih menyuruhmu baik-baik, Lucas," katanya dingin. "Tadinya aku mau memaafkanmu, tapi tidak jadi setelah melihat tingkahmu yang keterlaluan ini." Lucas mendongak. "Aku masih mau merokok, kenapa kau membuangnya?" Tatapannya beralih ke rokok yang di buang Clara. Melihat Lucas yang tampaknya sama sekali tak mendengarkan ucapannya, emosi dalam diri Clara naik ke permukaan ubun-ubunnya, di dorong dengan rasa frustrasi karena akibat terkurung selama seminggu di dalam kamar, Clara mengangkat tangannya di udara lalu... Plak Di tamparnya Lucas dengan kuat. Matanya menatap Lucas tajam, bibirnya merapat. Lucas menyentuh pipinya, ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman sinis. Saat Lucas berdiri, berhadapan dengan Clara, matanya menggelap. Dan di saat itulah awal penjara bagi Clara dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD