Chapter 6

1471 Words
“Musim dingin sebentar lagi akan berakhir, kan?” Yooshin menolehkan kepalanya pada Nara. “Kau hanya ingin melihat maehwa mekar. Iya, kan?” balas Yooshin dengan kikihan pelan. Nara menggelengkan kepala. “Bunga maehwa bahkan masih bisa mekar saat musim dingin datang. Dia, bunga yang kuat. Ayo kita lihat bunga canola,” ujarnya. “Canola?” “Hm. Aku ingin melihat bunga canola.” Setelah memasukkan sebuah kayu ke perapian, Nara menatap Yooshin. “Kau, jangan pergi. Tinggalah di sini.” Kalimat itu sempat membuat Yooshin terdiam, seolah kehilangan jawaban. “Jika berlatih di luar sana hanya untuk membuatmu menjadi lebih kuat, kenapa tidak berlatih saja di sini? Kakekku juga ahli pedang, bahkan ayahmu juga. Berada di sisiku mungkin akan membawamu pada bahaya, tapi aku tidak akan bisa berbuat apa-apa jika terjadi sesuatu padamu di luar sana. Sekarang aku mungkin hanyalah anak-anak, tapi aku berjanji akan melindungimu jika sudah dewasa nanti, sama seperti kau yang selalu melindungiku selama ini.” “No-Nona … “ Nara tersenyum. “Bagiku, kau sekarang sudah cukup kuat. Sudah kubilang, ayahku beruntung memiliki murid sepertimu.” “Kau pasti sangat merindukanku sampai-sampai tidak membiarkanku pergi.” Kemudian Nara tertawa, membuat kedua matanya membentuk lengkungan bulan sabit. “Ia menggenggam tangan Yooshin lalu kembali berkata, “kau bisa mengajariku pedang. Mari belajar bersama.” “Kau tidak bisa menggunakan pedang, Nara. Itu terlalu berbahaya. “ Senyuman Nara memudar. “Kau ingin aku hanya fokus pada memanah? Aku ingin seperti ibu!” Ia mengerucutkan bibirnya. Ia berdiri dari posisinya dan berjalan meninggalkan perapian. Helaan napas terdengar. Yooshin menatap punggung Nara yang menjauh dan lelaki itu segera berjalan menyusulnya. “Kau ingin menjadi sekuat ibumu, memangnya apa yang akan kau lakukan? Kau tidak harus berlatih pedang jika itu untuk membunuh Moa.” “Aku melakukannya untuk semua orang, termasuk kau. Jika sesuatu terjadi, setidaknya aku bisa melindungi kalian. Aku dulu kehilangan kedua orang tuaku karena ketidakmampuanku. Saat itu aku hanya bisa menangis. Bahkan memegang anak panah saja aku tidak bisa.” Nara tersenyum kecut menatap kedua telapak tangannya. “Semua itu bukanlah kesalahanmu. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri.” Yooshin mengusap kepala Nara yang hanya mencapai bahunya. “Purnama akan membuat kekuatan Moa melemah, lantas kenapa kau tidak behasil membunuhnya? Bukankah dia secara terang-terangan menunjukkan dirinya ke hadapanmu?” Nara terdiam. Salah satu tangannya meremas kuat hanbok yang ia kenakan tanpa sepengetahuan Yooshin. “Dia pernah menolongku.” Nara menjawab lirih. “Apa? Tidak mungkin. Moa itu yang sudah membunuh ayah dan ibumu. Bagaimana mungkin dia bisa menolongmu?” “Aku bahkan tidak pernah berpikir kalau makhluk sepertinya akan menolongku di saat ia memiliki kesempatan besar melenyapkan nyawaku,” ujar Nara. “Apa dia luluh terhadap anak-anak?” “Aku tidak tahu. Tapi mengingat beberapa kali juga dia menghunuskan pedang padaku, kurasa makhluk seperti itu mustahil memiliki belas kasihan.” “Tapi aku bersyukur karena kau masih selamat. Kudengar luka yang disebabkan oleh pedang milik Moa itu akan sulit disembuhkan. Aku tidak mau hal buruk itu akan menimpamu.” Yooshin mengeratkan genggaman tangannya pada sarung pedang miliknya. Berteman bertahun-tahun membuatnya selalu ingin melindungi Nara, apalagi semenjak gadis itu ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. “Aku pasti akan melindungimu, Nara.” *** “Kau bisa mengambil apapun dariku. Kau bisa menghabisiku, kau bisa melenyapkanku. Tapi jangan sentuh putriku.” “Kalimatmu sudah tidak berguna. Semua manusia memang sama.” Moa menatap bulan yang sudah bersinar dengan terang. “Harusnya aku membunuh putrimu saat itu. Sayang sekali aku malah membiarkannya hidup.” Kepala Moa menoleh begitu mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia lalu berjalan ke arah sumber suara. “Apa gadis itu nekat kemari?” Salah satu sudut bibir Moa terangkat. Ia mempercepat laju langkahnya. Purnama sudah berakhir, akan jadi masalah besar bagi Nara jika ia nekat masuk ke dalam hutan terlarang itu. Meskipun gadis itu memiliki norigae Kiara, tapi pedang milik Moa jauh lebih kuat. Norigae itu hanya bisa menangkal aura jahat yang dipancarkan oleh makhluk itu. Namun tiba-tiba saja Moa memperlambat laju kakinya. Indra penciumannya menangkap bau yang berbeda, dan itu bukan berasal dari Nara. “Siapa kau?” Ia bertanya begitu melihat seseorang di dekat perbatasan, tidak jauh dari pohon ek. Kakinya dua langkah telah masuk ke dalam. “Kau … Moa?” Moa berdecak. “Menurutmu siapa lagi yang berada di sini?” Ia maju selangkah. Yooshin dengan cepat menarik pedangnya keluar. “Aku tidak tertarik denganmu, jadi pergilah selagi aku memberikan kesempatan.” Tanpa minat sama sekali, Moa berbalik dan berjalan menjauh. “Aku tidak tahu siapa kau jadi pergilah sebelum kau bernasib sama seperti para manusia yang nekat datang kemari.” “Sebenarnya apa tujuanmu mengincar Nara? Kau –tidak hanya membalaskan dendam para bangsamu. Kau memiliki tujuan lain.” Yooshin mengeratkan genggamannya pada pedang. Perlahan, ia berjalan selangkah demi selangkah menyusul Moa. “Pulanglah, Nak. Bukankah kau harus tetap berada di sisi gadis itu? Dia mencarimu.” Yooshin terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia membalikkan badannya . Kedua pupil matanya membulat saat melihat seorang gadis berdiri di balik pohon ek dengan air mata yang sudah berderai. “Pergilah. Hanya akan sia-sia jika kau melawanku.” Yooshin kembali mengalihkan atensinya pada Moa, namun makhluk itu sudah menghilang dari sana. Ia mengedarkan pandangannya ke sekuruh tempat di sana namun tak kunjung menemukannya. “Dari mana kau tahu aku di sini? Bukankah kau sudah tidur?” Yooshin memasukkan kembali pedangnya dan berjalan menghampiri Nara. “Aku tidak bisa tidur, lalu aku mengikutimu.” Nara menatap ke dalam hutan. “Bukankah sudah kubilang agar kau jangan pergi? Sesuatu bisa terjadi padamu! Kau tidak tahu makhluk seperti apa Moa itu! Jadi kumohon jangan lakukan ini lagi. Aku sudah cukup kehilangan ayah dan ibu, jangan membuatku harus merasakan kehilanganmu juga.” Ia menatap Yooshin dalam. “Jika kau ingin menghancurkan Moa, maka lakukanlah bersamaku. Akulah yang menjadi incarannya selama ini. Mari saling bekerja sama.” *** Pagi hari, sebelum matahari menampakkan diri, Nara diam-diam keluar dari kamarnya. Tidak ada tanda-tanda Yooshin atau pelayan di rumahnya sudah bangun. Kakeknya belum pulang, membuat Yooshin tetap tinggal di sana hingga sang ayah kembali. Nara menaikkan jangotnya hingga menutupi kepala dan mempercepat langkahnya. Gadis itu menatap ke sekitarnya untuk memastikan tidak ada orang yang melihat dan segera pergi dari sana. Kedua kakinya berjalan ke suatu tempat, bersamaan dengan degup jantungnya yang berpacu kuat. Udara pagi yang masih terasa dingin masuk ke dalam pori-porinya. Musim dingin juga belum sepenuhnya berakhir, membuat udara kian terasa semakin dingin. Tidak lama kemudian ia tiba di tempat tujuannya. Ditatapnya selama beberapa saat deretan pohon di depannya, sebelum ia benar-benar melangkah melewatinya. Hutan masih terasa lembap begitu ia berjalan semakin dalam. Beberapa binatang malam masih berterbangan karena sinar matahari yang belum menunjukan diri. “Mau apa kau kemari?” Langkah Nara terhenti dan ia dengan cepat berbalik. Ia lalu menengadah, menatap sosok yang entah sejak kapan duduk di salah satu dahan pohon dengan kedua mata yang tertuju padanya. “Hutan akan sangat berbahaya saat hari masih gelap. Jadi, Nak. Ada tujuan apa kau kemari?” Moa masih bergeming di posisinya. “Aku memiliki satu permintaan.” Nara menhrunkan jangot yang menutupi kepalanya. Tak ada balasan dari Moa menandakan kalau ia hanya ingin menunggu kelanjutan kalimat gadis itu tanpa bertanya. “Kau tahu, aku tidak suka terlibat perjanjian dengan manusia.” Moa dengan cepat turun hingga membuat Nara mundur satu langkah secara refleks. Gadis itu menatap pedang Moa yang tampak mengkilap. Moa menatap ke arah punggung Nara. “Kau tidak membawa panahmu sama sekali. Gadis seumuranmu terlalu berani untuk datang sendirian ke sini.” Kedua matanya lalu menatap norigae yang menggantung di pakaian milik Nara. Ia tersenyum miring. “Tapi kau masih memiliki rasa takut.” Ia mulai mengangkat pedangnya. Nara kembali mundur selangkah, sementara Moa melakukan hal sebaliknya. “Jangan pernah melukai keluargaku.” Moa berhenti. “Ja-jangan mendekati kakekku, ataupun Yooshin.” Nara menelan ludah. Ia bisa melihat pantulan dirinya di pedang milik Moa. “Jika aku menurut, apa aku akan mendapatkan nyawamu?” Moa menghunuskan pedang itu tepat ke arah leher Nara, membuat gadis itu mendongakan kepalanya. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia masih terlalu muda untuk bertaruh nyawa. “Kau tidak bisa menjawab. Jadi aku bisa mengambil nyawamu sekarang juga –“ “Aku akan berada di sisimu. Tolong tunggu saat aku sudah dewasa. Saat itu kau bisa membunuhku, atau apapun yang kau mau. Asalkan jangan sakiti lagi orang-orang.” Nara menelan ludah. Ia semakin mengangkat tinggi dagunya saat ujung pedang milik Moa mulai mencari posisi yang pas untuk merobek kulit lehernya. “Orang-orang? Ah, maksudmu, si tua bangka dan lelaki sok pahlawan itu?” Nara mengangguk pelan. “Kau rela jadi pelayanku hanya demi dua manusia menjijikkan seperti mereka? Menyedihkan sekali.” Moa menatap goresan yang terdapat di salah satu pipi milik Nara. Luka kecil itu masih terlihat kebiruan. “Tidak ada untungnya untukku. Manusia selalu pandai membuat kalimat-kalimat manis yang bisa membunuh kapan saja.” “Aku mohon!” pinta Nara dengan salah satu sudut mata berair. “Jika kau melanggar ucapanmu, apa aku boleh memenggal kepala lelaki itu?” Napas Nara tercekat. Y-Yooshin?! “Kau –kau bisa membunuhku. Tolong jangan pernah menyentuh Yooshin sedikit pun, bahkan sehelai rambutnya. Dengan begitu, aku pun tidak akan mencoba membunuhmu. Tapi tolong, rahasiakan ini. Jangan sampai ada orang yang tahu kalau aku melakukan ini.” Moa menurunkan pedangnya. — Note : Jangot adalah jenis pakaian luar yang dikenakan oleh wanita Korea pada masa Dinasti Joseon sebagai kerudung untuk menutupi wajah mereka. —
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD