Bunga canola bermekaran seperti yang diharapkan. Hamparan berwarna kuning layaknya emas itu sama sekali tak menyilaukan bagi siapa saja yang melihatnya.
“Cantik sekali.” Yooshin tersenyum menatap bunga-bunga canola di depannya. “Kau benar. Mereka telihat begitu cantik di hari pertama musim semi,” lanjutnya. Ia lalu menoleh pada gadis yang berada di sampingnya.
“Kau … baik-baik saja? Apa kau merasa tak enak badan?” tanya lelaki itu begitu menyadari raut wajah Nara yang berbeda seperti biasanya.
“Ah, ya. Aku baik-baik saja.” Nara tersenyum, lalu menatap ke depan sana.
“Kurasa, aku mulai menyukai canola di musim semi.” Yooshin tertawa pelan.
“Begitukah?”
Lelaki itu mengangguk. “Karena ayah dan Kakek Seungmo sudah kembali, malam ini aku harus pulang ke rumah.”
“Hm. Tak apa. Terima kasih karena sudah menemaniku selama kakek pergi.”
“Aku sedikit bisa bernapas lega sekarang,” ujar Yooshin. “Tidak pernah lagi kudengar ada korban lagi. Apakah Moa sudah berhenti berbuat ulah? Apa dia menyerah?”
“Seperti apapun situasinya, kita tidak boleh lengah. Moa tetaplah ada, di sini.” Nara menatap ke arah lain, menatap sosok yang berdiri di antara canola. “Di umurku yang bahkan belum menginjak sepuluh tahun, aku sudah kehilangan banyak teman. Mereka pergi saat tahu kalau aku incaran monster seperti Moa. Aku tidak bisa pergi membaca buku, membeli sepatu bagus, atau bahkan bermain neolttwigi dan gongginori seperti anak-anak lain.Yang aku lakukan hanyalah berlatih memanah, pergi ke kuil, dan mencari tanaman obat bersama kakek. Ah, jangan lupa dengan ritual setiap purnama.” Nara tertawa pelan. Kedua matanya masih memandang lurus sosok tadi.
“Kau itu hebat. Apa kau tidak sadar? Kau masih berusia delapan tahun tapi kau begitu kuat.” Yooshin menyentuh bahu Nara saat gadis itu bergeming. “Kau, seperti bunga maehwa.”
“Bunga canola juga tak kalah kuat. Mereka ditanam di suhu dingin saat salju turun, lalu berbunga saat musim semi, dan mulai dipanen saat musim panas untuk dijadikan minyak oleh sebagian orang. Aku, ingin seperti mereka.”
Dan di saat itu, Moa menghilang dari pandangan Nara, hanya menyisakan canola yang menari karena sapuan angin.
***
“Kuharap kau menepati janjimu.”
Begitu kalimat yang tertera dalam secarik kertas itu. Moa menatap sebuket kecil canola yang tergeletak di bawah salah satu pohon ek.
Angin berembus, menerbangkan daun-daun ek yang sudah gugur ke permukaan tanah. Perjanjian itu terulang kembali, entah siapa yang nantinya akan mengkhianati, dan siapa yang pada akhirnya akan dikhianati.
***
Seungmo yang tengah membaca sebuah buku itu perlahan menoleh pada sang cucu yang tengah membuat kaligrafi. Dari samping wajah Nara semakin terlihat seperti Kiara, dan kegigihannya sama seperti Daehyun. Kepalanya lalu menengadah, menatap langit yang masih berwarna biru cerah dengan awan-awan yang melengkapinya di atas sana.
“Sudah musim semi … “ Seungmo menggantungkan kalimatnya. “Namun aku belum mendengar adanya korban berjatuhan lagi. Aku ragu Moa benar-benar menyerah.”
Gerakan tangan Nara terhenti. “Mungkin segel itu –“
“Kita tidak melakukan ritual kemarin karena hujan lebat. Mustahil jika Moa pergi begitu saja tanpa memperoleh hasil apa-apa selama ratusan tahun. Selama Kakek pergi, apa terjadi sesuatu?”
“Tidak ada. Semuanya baik-baik saja.” Nara kembali menggerakkan kuasnya di permukaan kertas. “Tidak ada yang salah. Sebulan selama Kakek pergi ke Qing, Moa tidak berbuat apa-apa. Dia mungkin ada, tapi dia tak melakukan apa-apa.”
Seungmo menatap Nara di detik berikutnya.
“Aku ingin pergi berjalan-jalan sebentar.” Nara beranjak dari posisinya. Ia membungkukkan badannya dan pergi dari sana. Entah benar atau salah jalan yang ia tempuh. Gadis itu hanya ingin orang-orang di dekatnya selalu dalam keadaan aman, sekalipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Dan jika semuanya berjalan seperti yang diharapkan, maka beberapa tahun lagi ia akan menyerahkan diri pada Moa secara suka rela. Entah apa nasibnya nanti, apakah dia masih akan diberi kesempatan hidup dan menjadi pelayannya atau justru langsung dibunuh di hari dia menyerahkan diri.
Buk!
“Akh! Maaf, aku tidak sengaja.” Nara membungkukkan beberapa kali tanpa berani menatap wajahnya. Pria yang mengenakan jubah berwarna hitam itu tampak bergeming bahkan ketika Nara pergi.
Nara melanjutkan langkahnya dan menatap barang-barang cantik yang ditawarkan para pedagang di sana. Ia melihat seorang gadis seumurannya tampak bahagia dibelikan sepasang sepatu cantik oleh sang ibu. Beruntung sekali, Nara hampir meneteskan air matanya. Gadis itu semakin menaikkan jangotnya ketika air matanya benar-benar lolos.
“Cengeng sekali.” Seseorang berujar.
Nara berhenti di saat itu juga. Gadis itu lalu berbalik dan menurunkan jangot-nya, namun tak ada seorang pun di sekitarnya yang mengajaknya bicara. Tak kunjung berhasil menemukan si pemilik suara, Nara memilih pergi. Namun sebelum ia melangkah, tanpa sengaja ia menemukan sebuket canola tepat di depan ujung sepatu miliknya. Keningnya mengerut, lalu mengambil benda itu.
“Ini … “
Nara kembali berbalik, namun lagi-lagi ia tak menemukan si pemilik suara tadi.
***
Joseon berubah seiring berjalannya waktu. Penduduk kembali hidup damai, tawa bahagia anak-anak terdengar menggema di seluruh jalanan. Mereka bermain, belajar, dan bercerita satu sama lain tentang banyak hal tanpa memudarkan senyuman.
Kehidupan di Yangdong berjalan seperti yang diharapkan, tanpa sosok yang beberapa tahun terakhir sempat membuat gempar dan memakan banyak korban.
“Jepit rambut ini cantik sekali, baru saja didatangkan dari Tiongkok. Ini akan membuat rambutmu tampak semakin cantik. Kau, akan jadi gadis tercantik di Joseon,” ujar salah seorang pedangang.
“Dia pasti sedang bercanda.” Seorang pria yang tengah memakan gukbap tanpa sengaja mendengarnya. “Padahal aku melihat dengan jelas beberapa bulan lalu kalau jepitan seperti itu dibuat di Jeolla,” tambahnya. Suapannya mendadak berhenti kala orang di depannya menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.
“Kenapa? Aku mengatakan yang sebenarnya.” Lelaki itu kembali berujar.
“Kau terlalu jujur, Orabeoni.” Gadis dengan hanbok berwarna merah muda itu berdecak seraya menggelengkan kepalanya.
Yooshin tertawa pelan. “Lihatlah, gadis ini. Sejak kapan kau memanggilku Orabeoni? Aku bahkan tidak pernah mendengarmu memanggil namaku.”
Gadis di depannya tersedak pelan. Ia lalu menatap Yooshin tajam. “Kau yang bayar makanannya.”
“A-apa?”
“Aku sudah selesai. Habiskan dulu makananmu sebelum kita pulang, aku akan pergi melihat-lihat ke sekitar sini.”
“Hei! Nara!”
Nara menjulurkan lidahnya pada Yooshin dan berlari kecil menjauh dengan peralatan memanahnya. Ia berjalan-jalan dan melihat-lihat keadaan di sekitarnya. Senang sekali bisa melihat tawa orang-orang. Kemudian ia melihat seorang gadis kecil dengan pakaian lusuh menatap sebuah norigae dengan mata berbinar.
“Pergilah! Kau membuat semua pelangganku kabur! Dasar pencuri!” Seorang pria mendorong gadis itu hingga terjatuh ke permukaan tanah.
“Dia bahkan tidak mengambil satu pun barang daganganmu, jadi kau tidak pantas menyebutnya sebagai pencuri.” Nara segera membantu gadis itu berdiri. “Kau tak apa?” tanyanya memastikan keadaan gadis kecil itu. “Pilihlah, akan aku belikan untukmu.”
“Benarkah?” Kedua mata gadis kecil itu menatap Nara dengan berbinar.
“Hm. Pilihlah yang kau suka.” Nara mengusap puncak kepala gadis itu.
Si penjual berdeham dan ia membantu sang gadis memilihkan norigae.
“Bisakah … kau membelikanku yang ini?” tanya anak itu seraya mengambil salah satu norigae berwarna biru.
“Tentu saja.” Nara tersenyum. “Berapa harganya?”
Sang penjual menatap penampilan Nara dari atas hingga bawah, lalu pandangannya tertuju pada sebuah norigae merah yang menggantung di pakaian gadis itu. Ia kembali berdeham. “Lima yang.”
Nara berkedip dua kali. “Li –“
“Bukankah harganya hanya 2 yang?”
Nara menoleh ke arah Yooshin yang entah sejak kapan berada di sana.
“Itu baru saja datang dan harganya memang mahal,” ujar si penjual.
“Ah, dia berbohong. Apa aku bisa melaporkannya pada pengawal kerajaan yang ada di sana?” tunjuk Yooshin ke salah satu arah.
Penjual itu terkejut saat melihat adanya beberapa orang penjaga berikut utusan istana datang memeriksa para pedagang.
“Melihat ekspresimu, kau pasti tidak pernah membayar pajak,” cibir Yooshin.
“Anak ini! Aish, baiklah! Dua yang! Tapi jangan melaporkanku pada mereka!”
Yooshin terkikih.
Nara yang masih terkejut segera memberikan sejumlah uang pada penjual itu. “Kau boleh pergi. Berhati-hatilah,” ujarnya pada anak tadi.
“Terima kasih banyak.” Anak itu membungkukkan badannya dan berlari dari sana.
“Dari mana kau belajar cara menawar seperti itu?” tanya Nara begitu ia dan Yooshin kembali melanjutkan langkah.
“Aku hanya membual. Siapa sangka kalau pria tua itu selalu melewatkan pajaknya?” Yooshin tertawa.
Terdengar kegaduhan di belakang sana, membuat orang-orang mengalihkan fokus.
“Ma-mayat!!”
Langkah Yooshin dan Nara langsung berhenti.