Nara berjalan kembali ke dalam setelah menyalakan api di luar.
"Kau baik-baik saja?" Ia membantu Moa berjalan ke luar dan mendudukkannya di bawah pohon.
"Hm."
"Udaranya dingin, dan bulan bersinar sangat terang." Nara menengadahkan kepalanya ke atas dan menatap bulan yang ada di atas sana. "Sekarang sedang purnama, jadi untuk beberapa hari kau tidak akan bisa pergi--" Kalimat Nara terputus saat gadis itu menatap rambut Moa yang berubah menjadi putih.
"Rambutmu--"
"Rambutku akan berubah warna setiap kali purnama."
"Kenapa aku tidak pernah melihatnya? Aku sudah cukup lama berada di sini," ujar Nara. Ia terkejut, untuk pertama kalinya melihat perubahan warna rambut milik Moa.
"Aku tidak pernah menunjukkannya di depanmu. Aku pergi ke tempat lain dan kembali begitu menjelang pagi tanpa sepengetahuanmu."
"Be-benarkah? Tapi kenapa kau melakukan itu?" Nara berkedip dua kali.
"Aku hanya tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman. Kau itu sangat penakut aku tidak ingin membuatmu ketakutan."
Nara berkedip polos, lalu gadis itu tersenyum tipis. "Padahal tanpa berubah pun kau memang menakutkan."
Moa berniat melayangkan protes namun ia urungkan saat Nara secara tiba-tiba merebahkan diri dan menggunakan pahanya sebagai bantalan. Moa terkejut, tidak biasanya Nara bersikap seperti itu. Salah satu tangannya pun tanpa diperintah langsung mengusap kepala Nara yang berada di atas pahanya. Kedua sudut bibirnya membentuk seulas senyuman.
"Lihatlah, bulan itu terlihat seperti sedang tersenyum." Nara menunjuk ke atas langit.
Moa ikut menatap ke atas dan terkikih pelan. "Tidak ada yang namanya bulan tersenyum. Mungkin dia itu sedang menertawakanmu," ujarnya.
Mendengar itu, Nara langsung menatap Moa tak terima. "Tapi dia indah, kan? Ah, iya. Jika kekuatamu hilang saat purnama, berarti pedangmu juga?" Nara melirik pedang yang ada di dekat Moa.
"Kekuatannya tidak menghilang, hanya berkurang. Hanya saja aku yang tidak bisa berbuat banyak karena tidak bisa banyak menggunakan kekuatanku. Hanya bisa menggunakan kekuatan fisik, bahkan saat purnama pun kuku tanganku pun tidak bisa tumbuh."
Kedua tangan Nara mengerjap dan ia langsung meraih tangan Moa yang berada di atas kepalanya. Gadis itu menatap satu per satu jemari milik Moa. "Benarkah? Apa itu artinya matamu juga tak bisa berubah warna?"
"Warna mataku berubah begitu aku menggunakan kekuatanku, namun ketika kekuatanku lemah, maka tak ada yang bisa aku lakukan seperti biasanya.
"Ah, begitu. Artinya, kau juga memiliki sisi lain yang lemah," ujar Nara.
Moa tersenyum tipis. Ia kembali menengadahkan kepalanya ke atas dan menatap bintang-bintang yang ada di atas sana. Terlihat indah, dan entah kenapa baru kali ini ia merasakan keindahannya secara nyata. Ia benar-benar menikmatinya. Kemudian ia menatap Nara yang terlihat sudah terlelap. Moa menatapnya selama beberapa saat, lalu tersenyum. Ia melepas jubah yang dikenakannya lalu ia gunakan untuk menyelimuti tubuh Nara, agar gadis itu tidak kedinginan di sana. Tangannya lalu kembali beralih mengusap kepala Nara membuat gadis itu semakin terlelap.
Moa semula berpikir kalau Nara akan pergi, namun nyatanya tidak. Gadis itu lagi-lagi bertahan di sana. Bahkan ketika langkah Nara sudah sampai di perbatasan hutan, gadis itu memilih berdiam diri dan membiarkan tubuhnya diguyur hujan. Padahal bisa saja dia langsung melompati pembatas dan berlari kembali ke desa, namu Nara melakukan hal sebaliknya. Ia bahkan tak berbuat apa-apa saat Moa datang dan membawanya kembali ke dalam hutan. Gadis itu justru melontarkan permintaan maaf.
Moa tersadar dari lamunannya saat Nara bergerak pelan. Ia lalu kembali mengusap kepala gadis itu agar ia tak terbangun dari tidurnya.
'Kau melangkah terlalu jauh,' batin Moa.
***
"Ayo pergi ke tempat itu dan memetik canolla yang banyak!" Gadis kecil dengan hanbok kuning cerah menarik seorang anak laki-laki yang ada di sebelahnya.
Anak laki-laki itu tampak terkejut. "Kita mau ke mana? Guru Son bisa marah! Kau kan masih harus latihan!" Ia berujar seraya menahan tangan gadis itu.
Gadis itu lalu menatapnya dengan bibir mencebik. "Tanganku sakit," ujarnya seraya menunjukkan tangannya yang memerah. "Hari ini aku sudah terlalu banyak menarik tali busur, tanganku jadi sakit. Ayo bolos1" Ia kembali bersemangat dan langsung menarik tangan anak laki-laki itu.
Mereka berdua pergi ke sebuah tempat di mana banyak tumbuh bunga canolla, dan gadis itu langsung berlari ke sana.
Si anak laki-laki hanya membuang napas pelan melihatnya. Di lain sisi, ia juga takut mereka akan dimarahi oleh Daehyun.
Sewaktu kecil, Nara dan Yooshin memang agak nakal dan beberapa kali membolos saat latihan. Namun Yooshin adalah anak yang baik, karena ia membolos untuk menuruti keinginan Nara sekaligus menemani gadis itu pergi.
"Nara, ayo kembali sebelum Guru Son menyadari kalau kita kabur," ujar Yooshin. Ia melangkah menyusul Nara yang berlarian di depan sana.
"Aku tidak mau. Aku hanya ingin di sini." Nara memutar tubuhnya seraya memejamkan kedua mata. Ia mengabaikan kalimat Yooshin, padahal anak lelaki itu terlihat sudah begitu cemas.
"Kau memangnya tidak lelah? Kita kan hanya bermain di sini, lagi pula tidak jauh, kan?" Nara lalu menarik tangan Yooshin agar bergabung dengannya. "Kemarilah, di sini anginnya segar sekali."
Yooshin membuang napas pelan. Ia akhirnya menurut saja karena tidak ingin membuat Nara kesal. Namun saat ia hendak menggenggam tangan Nara yang lain, sesuatu datang dari kejauhan dengan begitu cepat dan langsung membawa Nara pergi sehingga tautan tangan keduanya terlepas.
"Nara!" Yooshin berlari sekuat tenaga dan mengikuti kemana makhluk itu membawa pergi.
"Yooshin! Yooshin!"
"Naraaa!!" Yooshin berlari sekuat yang ia bisa namun ia berhenti saat ia tiba di sebuah tepi jurang. Ia menatap Nara yang kian menjauh, lalu menghilang dari padangannya. Anak itu menangis seraya meneriaki nama Nara, berharap gadis itu akan kembali padanya.
"NARA!!" Yooshin terbangun dan ia melihat ke sekitarnya. Napasnya memburu, dahinya terasa lembap karena keringat dengan jumlah yang cukup banyak. Pria itu mencoba mengatur napasnya yang memburu. Ia lalu beranjak dari tempat tidurnya dan menuangkan air ke dalam sebuah gelas lalu meminumnya dengan cepat.
Ia benci dengan mimpi buruk seperti itu. Yooshin kembali mendudukkan tubuhnya dan ia mengusap wajahnya kasar.
"Aku harus cepat membawa Nara kembali, sebelum dia pergi terlalu jauh. Aku tidak mau hal buruk itu benar-benar terjadi," gumam Yooshin. "Aku harus membawanya kali ini, apapun yang terjadi." Yooshin lalu mengambil pedang dan juga topinya. Secara diam-diam, lelaki itu berjalan keluar dari kamarnya.
"Aku akan membawa Nara."
Setelah memastikan tak ada yang melihatnya, Yooshin berlari melewati halaman rumahnya dan pergi ke perbatasan hutan di saat hari masih gelap. Ia pergi secara diam-diam, tanpa ada satu pun yang mengetahui tindakannya, tidak terkecuali dengan sang ayah.
Yooshin berlari memasuki hutan yang hanya diterangi oleh cahaya bulan. Ia menatap bulan yang ada di atas sana, lalu mempercepat laju kakinya. Waktu yang tepat untuk mengambil Nara, tentu saja saat purnama tiba. Pada saat itulah kekuatan Moa akan melemah dan Yooshin memiliki setidaknya kesempatan sedikit lebih besar untuk mengalahkan Moa dan mengambil Nara kembali ke desa.