Nara tersenyum lebar usai meminum air sungai yang begitu bening. Kerongkongannya terasa kembali segar, layaknya hujan yang turun di padang pasir yang gersang. Ia lalu menoleh pada lelaki yang berada di sebelahnya.
"Bagaimana? Bukankah airnya terasa segar?" ujar Nara.
Yooshin mengangguk. "Aku bersyukur hutan di sini masih sama, tak ada kerusakan sama sekali sejak terakhir aku ke sini."
"Apa ayahmu sering ke sini?" Nara bertanya. Ia dan Yooshin kembali melanjutkan perjalanan mereka.
"Ayah jarang ke sini semenjak ibuku meninggal." Yooshin membuang napas pelan. "Jadi aku yang ke sini sendirian. Yah, walaupun jauh tapi rasanya semua lelahku terbayarkan saat aku sampai di sini. Apalagi begitu sampai di kuil, aku serasa seperti bertemu dengan ibuku, walau aku tak bisa melihatnya." Lelaki itu tersenyum tipis.
Nara menatap Yooshin dari samping. "Kau adalah lelaki yang kuat, aku yakin itu. Aku mengenalmu sejak kita masih kecil dan aku tabu kalau kau bukanlah lelaki yang lemah dan gampang menyerah," ujarnya. "Aku penasaran dengan pemandangan di kuil itu. Gunung Seongju sangat indah, kan? Aku senang berada di sini. Seharusnya kau lebih sering mengajakku pergi bersamamu, jadi kau tidak sendirian."
Yooshin terkikih. "Kakekmu akan marah kalau cucu kesayangannya pergi ke hutan yang jauh. Apalagi kau waktu itu masih kecil. Meskipun kau pergi bersamaku, tapi tetap saja kita masih anak-anak. Jadi akan berbahaya."
"Tapi lebih berbahaya lagi kalau kau yang pergi sendirian. Bukankah lebih baik pergi berdua? Setidaknya jika ada sesuatu yang terjadi, kita bisa melakukannya secara bersama-sama, kan? Itu lebih baik," balas Nara.
"Haha, iya, iya. Sekarang kan kau sudah bersamaku, dan aku tidak lagi sendirian."
"Tapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana kau yang dulu masih kecil pergi ke sini sendirian, apalagi mungkin kau waktu itu belum mahir menunggangi kuda. Apa kau tidak takut?" tanya Nara.
Yooshin tersenyum tipis. "Satu-satunya yang aku takutkan adalah tak bisa lagi datang ke sini," ujarnya pelan.
Nara lalu menatap Yooshin. "Lalu bagaimana reaksi Tuan Hwang saat tahu kalau kau pergi ke sini sendirian? Tidakkah dia khawatir terhadap keselamatanmu selama di perjalanan? Kau masih sangat muda, dia sudah pasti merasa khawatir."
"Ayah tak pernah berkomentar apa-apa setiap kali aku pergi ke Gunung Seongju sendirian. Mungkin dia bisa memaklumi, kalau aku hanyalah anak yang merindukan sosok ibunya dan masih merasa kehilangan sampai kapan pun, bahkan hingga detik ini."
"Hidupmu pasti berat sekali. Kau sangat kuat, Hwang Yooshin. Aku bangga bisa mengenalmu yang begitu hebat ini."
Tawa renyah keluar dari bibir Yooshin. "Aku juga merasa beruntung bisa mengenalmu, Son Nara. Kau adalah gadis paling kuat yang pernah aku temui dan aku kenal. Kau tahu? Kau juga sangat mengagumkan. Kau harus bertaruh nyawa bahkan sejak kau masih kecil. Di saat anak-anak seusiamu sibuk bermain, kau sudah harus pergi ke hutan-hutan, berlatih memanah bahkan menggunakan pedang. Kulitmu juga tidak jarang terluka, tapi kau tak pernah menangis."
"Hei, aku menangis sesekali saat tanganku tergores pedang, atau setiap kali jatuh di hutan. Kau tahu? Itu rasanya sakit hingga semua air mataku keluar," ujar Nara. Ia dan Yooshin lantas tertawa.
Tidak lama setelahnya mereka pun sampai di sebuah kuil. Kedua mata Nara berhenti berkedip begitu ia melihatnya. Gadis itu terkagum-kagum, begitu ia melihat pemandangan Joseon dari atas sana.
"Ini benar-benar terlihat menakjubkan," pujinya, hingga Yooshin yang berada di sebelahnya pun terkikih pelan dengan reaksi gadis itu.
"Ah, lihat! Itu ladang canolla yang ada di desa kita, kan? Terlihat seperti hamparan emas dari sini, kupikir awalnya ladang itu tak akan terlihat, tapi aku salah. Bahkan dari kejauhan, ladang itu masih bisa terlihat begitu indah."
Yooshin tertawa. "Kau diam saja di sini, aku mau ke dalam." Ia berjalan meninggalkan Nara yang masih berdiri mengagumi keindahan alam dari sana. Gadis itu lalu tersadar dari lamunannya dan mengejar Yooshin.
Tidak jauh dari posisi mereka, seseorang memperhatikan dari balik sebuah pohon.
"Kau terlihat begitu senang ... Nara."
***
Seungmo menatap salah satu tangannya yang masih menunjukkan bekas luka. Bekasnya tak hilang bahkan setelah bertahun-tahun. Kekuatan yang dimiliki Moa memang patut ia puji, karena memang kekuatan yang dimiliki itu benar-benar luar biasa, terlebih mahluk itu benar-benar seperti abadi selama dia bisa menghisap setiap jiwa manusia beserta sisi gelapnya.
"Bahkan jika aku sampai mengorbankan Nara kepada mahluk itu, Moa tak akan musnah. Nara sudah dipastikan memiliki sisi gelap yang malah akan menambah kekuatan Moa. Aku bisa merasakannya, sejak kematian Kiara waktu itu. Aku yang semula berpikir kalau Kiara tak memiliki sisi gelap dalam hidupnya, ternyata memiliki sisi gelap yang besar. Aku tak pernah terpikir kalau putriku akan saling jatuh cinta dengan mahluk itu. Dan pengkhianatan yang aku buat itu malah menambah sisi gelapnya dan itu semakin kuat. Kiara bahkan mencintai mahluk itu saat ia sudah menikah dengan Daehyun dan menyandang sebagai istrinya. Aku masih tak mempercayainya," lirih Seugmo.
"Jadi, kau berencana mengorbankan orang lain lagi?" ujar seseorang.
Seungmo tersentak dan ia refleks membalikkan tubuhnya ke belakang. Pria tua itu terkejut begitu mendapati Moa yang entah kapan sudah berada di halaman rumahnya, tepat di belakang dirinya.
Seungmo langsung meraih pedangnya dan ia hunuskan tepat ke arah mahluk itu. "Apa yang sedang kau lakukan di kediamanku?!"
"Mendengarkan segala pengakuanmu." Salah satu sudut bibir Moa terangkat. "Setelah mengorbankan putrimu sendiri, sekarang kau berencana mengorbankan cucumu? Anak Kiara satu-satunya?"
"Tutup mulutmu!!"
"Ah, aku tidak bisa membayangkan jika orang-orang mengetahui sifat busuk manusia yang selama ini mereka sanjung. Mereka pasti akan berbalik menyerangmu, melakukan hal yang lebih keji daripada apa yang pernah kau lakukan terhadap cucumu waktu itu."
Seungmo menelan ludah. "Sebenarnya apa yang kau inginkan?!"
Moa tersenyum miring. "Tidak ada. Awalnya aku hanya berjalan-jalan di sekitar sini, lalu tidak sengaja merasakan adanya aura mengerikan dan ternyata aura mengerikan itu berasal dari sini. Dari seorang kakek yang berencana membunuh cucunya sendiri. Harusnya aku yang bertanya padamu, Kim Seungmo. Sebenarnya apa yang kau inginkan? Kau terlalu egois untuk disebut sebagai kakek yang melindungi putri dan cucunya. Kau selalu mementingkan dirimu sendiri. Kau mungkin bisa mengelabui semua orang termasuk cucumu, tapi aku tidaklah bodoh," jelasnya.
Seungmo mengeraskan rahangnya dan semakin mengeratkan pegangannya pada pedang di tangannya. "Apa saja yang sudah kau katakan pada Nara? Apa yang sudah kau katakan pada cucuku?!"
Moa tertawa pelan, lalu berjalan ke sebuah pohon yang ada di sana. "Kenapa? Kau takut aku akan membongkar semua sifat mengerikanmu di hadapan cucumu sendiri?" ujarnya. "Tidak banyak. Aku hanya berkata kalau kakek yang selama ini terlihat begitu mempedulikannya itu tidak lain adalah monster." Moa tersenyum miring.
Seungmo kian naik darah. Pria itu sudah berlari ke arah Moa dengan pedang yang sudah dilayangkan ke udara, namun Moa sudah menghilang dari pandangannya dalam sekejap.