Berharap Lebih

1028 Words
Hari ini Adel sudah memiliki rencana bersama Dion. Perempuan itu dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Dia bahkan sudah berpesan kepada Tere bahwa ia tidak bisa pulang terlambat hari ini. Tere tidak bertanya, hanya satu yang bisa membuat Adel melupakan lemburnya. Hanya Dion. “Ada yang kurang?” tanya Adel kepada Tere. Adel menanyakan penampilannya. Bahkan ia sudah memoles ulang bedak dan lipstiknya serta menata ulang rambutnya. “Sudah.” “Aku bau tidak, ya? Apa aku harus mandi dulu.” Mata Tere membulat. “Di sini?!” Adel mengangguk ragu. “Ide buruk, right?” Tere menggelengkan kepalanya tidak percaya. “Okay-okay. Aku pergi dulu. Dah! Sampai ketemu besok.” Adel melambai kepada Tere sambil berlari. “Selamat bersenang-senang!” seru Tere dari belakang dan mendapat acungan jempol dari Adel sebelum perempuan itu menghilang di balik pintu. *** Sudah hampir setengah jam Adel menunggu Dion di depan kantornya. Ia juga sudah mengirim pesan kepada lelaki itu kalau ia sudah menunggunya di lobi. Namun, Dion tak kunjung membalas pesan dia. Adel sudah hampir kesal dan memutuskan untuk pulang, sebelum sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di depannya. Dion keluar dari mobilnya. Ia menggaruk belakang kepalanya sambil berkata, "Sorry! Tadi sahabat kuliah gue dateng ke kafe. Kita keasyikan ngobrol sampe nggak liat waktu." "Nggak pa-pa, lanjutin aja ngobrolnya." Adel menarik kedua sudut bibirnya. "Kita bisa jalan besok, atau kapan-kapan." Dion menghampiri Adel dan membuka pintu sisi penumpang. "Masuk, yuk, kita atur rencana jalan malam ini mau ke mana." "Nggak usah, aku naik bis—" "Maaf." Dion memegang ujung baju bagian lengan Adel. "Masuk, ya," bujuk laki-laki itu lagi. Melihat raut menyesal Dion membuat Adel pada akhirnya masuk ke dalam mobil itu. Dion menghela napas lega kala Adel mau menurutinya. "Jadi kita udah telat berapa menit?" Dion melirik jam di ponselnya. "Setengah jam." "Pulang aja." Deg. Ini pertama kalinya bagi Dion melihat Adel tampak marah. Rasanya ia ingin mengutuk dirinya sendiri menjadi batu saja. "Jangan gitu, dong. Sumpah itu temen lama nggak pernah ketemu jadi—" "Setidaknya kamu bisa bales chat aku buat batalin." "Gue kan nggak rencana ngebatalin. Itu kesalahan nggak disengaja," tutur Dion kembali meyakinkan Adel. Dion menghela napasnya. Akan sulit mengajak ngobrol perempuan yang sedang marah. Untuk itu Dion memutuskan untuk menjalankan mobilnya tanpa bertanya lagi dengan Adel. *** Di sinilah mereka, jembatan Pon Des Art. Adel merapatkan jaketnya, matanya membulat dengan mulut yang sedikit terbuka. Ia tidak percaya bahwa Dion akan membawanya ke sini. Tapi, untuk apa? "Yuk, kita jalan aja. Sambil cerita-cerita," kata Dion. Seperti mengetahui isi kepala Adel saat ini. Adel mengikuti arah langkah kaki lelaki itu. "Dulu mama gue suka banget sama kota ini." Dion kembali bersuara. "Dari gantungan kunci, gambar layar hape. Sampe spreinya aja gambar menara eifel, jembatan yang ada gembok-gemboknya gini." Dion menghela napasnya, gumpalan asap keluar dari mulutnya. "Tapi sayangnya dia nggak pernah bisa ke sini." Lalu pandangan Dion beralih ke sampingnya. "Makanya gue sekarang di sini. Gue pengen ngunjungin tempat-tempat yang diimpikan mama gue." Kilatan kerinduan terpancar dari netra gelap milik Dion. Adel tersenyum ia mengangkat tanggannya untuk menepuk bahu Dion menguatkan. "Kamu keren!" Dion tersenyum tipis. "Lo mau nemenin gue?" Alis Adel mengangkat. Matanya mengerjap pelan. Apa maksud dari perkataan Dion? Adel tidak berani bertanya, jantungnya kian berdegup kencang. Ia tidak berani berpikiran ke arah sana. Adel belum siap untuk jatuh cinta. Maka dari itu ia membalas dengan wajah semringah. "Mau donggg! Sekalian refreshing sehabis kerja. Ya, kan?" Adel kembali berjalan. Tak menghiraukan perubahan ekspresi dari lelaki di belakangnya. Terdengar suara kekehan dari belakang. "Iya-lah. Jangan sampe gila gara-gara kerjaan dong. Makanya gue ajak jalan-jalan!" sahut Dion dan berjalan selangkah di belakang Adel. Adel berharap Dion tidak menyejajarkan langkah mereka. Karena Adel, benar-benar belum siap. *** "Gimana kemaren?" Tere tahu-tahu saja sudah berada di depan mejanya. Padahal seingat Adel tadi hanya ada dia ruangan itu. "Kapan kamu masuk?" tanya Adel bingung. Tere berdecih sambil berlalu ke mejanya. "Segitunya sampai tidak sadar keberadaanku." Adel terkekeh. "Aku tadi lagi mikir rancangan untuk desain ke tiga." Tere mengayunkan tangannya. "Jangan bohong padaku. Kamu lagi mikirin dia, 'kan?" "Dia? Di-dia siapa? Aku lagi memikirkan pekerjaan!" elak Adel. "Ya, ya, aku percaya," goda Tere sambil mengerlingkan matanya. Membuat pipi Adel memerah seketika. Sial, Tere! *** Tere benar, seharian ini Adel memikirkan maksud perkataan Dion kemarin. Adel berpikir bagaimana jadinya jika kemarin ia bertanya maksud kalimat itu. Mungkin saja Dion akan mengatakan suka padanya. Atau opsi lain, Dion mengatakan hal yang sama dengan yang dibicarakan Adel kemarin. Jika jawabannya yang pertama, Adel tidak yakin apakah sudah siap menjalani hubungan yang seperti itu lagi. Kalau opsi ke dua, bisa dipastikan Adel akan memukul kepalanya tujuh hari tujuh malam. Maka dari itu, Adel berencana mengunjungi kafe Dion lagi. Mungkin perlahan Adel harus berani menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang belakangan ini menghantui pikirannya. Sebelum mengunjungi tempat kerja Dion, Adel menyempatkan diri mampir di salah satu toko kue. Membeli tart kesukaan lelaki itu. Adel menenteng belanjaannya dan berjalan santai menuju kafe milik Dion. Sepanjang jalan ia bersiul untuk menghilangkan gugup. Namun, siulannya berhenti kala mata bulatnya menangkap sosok laki-laki memeluk erat seorang wanita berambut gelombang berwarna pirang. Laki-laki itu memunggunginya. Adel tidak langsung mempercayai. Ia berdiri di tempatnya sampai wajah dari lelaki itu dapat ia pastikan orang yang sama. Orang yang sama yang beberapa hari ini mengganggu benaknya. Lelaki itu melepas pelukannya, tangannya ia taruh di pinggang perempuan itu untuk mengajaknya masuk ke dalam kafe. Saat itulah Adel dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dion menangkap sosok Adel dalam jarak sekitar lima puluh meter. Adel menunduk, lalu berbalik. Langkahnya yang lebar dan cepat membuat Dion secara naluri mengejar perempuan itu. "Ada apa?" tanya Alexa menahan Dion. "Perempuan itu, yang sering aku ceritakan." "Dia ada di sini? Di mana?" Dion tidak menjawab, ia langsung berlalu. Dari ekspresi yang ia tangkap tadi, Dion yakin bahwa kali ini ia tidak salah. Lelaki itu memutuskan untuk berhenti menjadi pengecut dan tidak akan kehilangan Adel untuk kedua kalinya. "Adel!" Dion menahan pergelangan tangan cewek itu. Napasnya tersengal-sengal karena habis berlari. Adel membuang wajahnya. Tangannya yang satu meremas kantong plastik yang ia bawa. Untuk kedua kalinya, Adel merasakan sesak itu lagi. Adel merutuki dirinya sendiri, seharusnya ia tidak berharap lebih pada hubungan pertemanan apa pun lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD